Bangsa Indonesia sering dicitrakan sebagai bangsa yang sopan, ramah, dan bersahabat. Namun, belakangan ini kita sering melihat kerusuhan dan tawuran sudah menjadi fenomena yang lazim ditemui di negeri kita. Faktor-faktor apa saja yang sebenarnya menjadi penyebab munculnya permasalahan tersebut? Ada banyak faktor yang bisa dianalisis, seperti kondisi lingkungan, pendidikan, ekonomi, agama, dan faktor-faktor lainnya.
Melakukan analisis serius untuk seluruh faktor tersebut tentu tidak mudah. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas analisis mengenai faktor kondisi lingkungan terhadap perilaku manusia. Lebih spesifik lagi, perilaku seorang anak manusia, yang baik maupun yang buruk, bisa jadi sangat dipengaruhi oleh suhu (temperatur) lingkungan tempat ia tinggal dan seberapa mampu ia beradaptasi dengan suhu lingkungan tersebut.
Isu pemanasan global
Berdasarkan pengamatan para ahli lingkungan, permukaan bumi telah mengalami peningkatan suhu secara signifikan dalam satu abad terakhir. Hal ini didukung data pemantauan satelit yang menunjukkan peningkatan kadar gas rumah kaca pada atmosfer Bumi.
Informasi pertama disampaikan beberapa peneliti Inggris pada tahun 2001 dengan melihat spektrum gas-gas di atmosfer selama hampir 30 tahun terakhir. Mereka membandingkan data yang diperoleh satelit ADEOS milik Jepang selama sembilan bulan pada tahun 1997 dengan data dalam rentang waktu yang sama antara April 1970 hingga Januari 1971 yang dikumpulkan satelit Nimbus-4 milik NASA. Dari hasil perbandingan data ini mereka menyatakan, penumpukan gas yang terperangkap efek rumah kaca telah menekan jumlah radiasi infra merah yang seharusnya lolos ke ruang angkasa.
Sebuah laporan lain di Cina pada 2001 menyatakan ramalan bahwa suhu global Bumi bisa meningkat sampai 5,8 derajat Celcius pada akhir abad ini. Pernyataan ini diperkuat pula oleh laporan lain dari NASA, Goddard Institute for Space Studies yang mengatakan, kadar karbon dioksida meningkat dari angka satuan 280 ppmv (parts per million by volume) pada tahun 1850 menjadi 360 ppmv pada tahun 2001. Padahal, dalam kajian lain dikatakan, kadar karbon dioksida di atmosfer harus dicegah untuk tidak melebihi 450 ppmv.
Sayangnya, aksi kepedulian penduduk Bumi (berbagai bangsa) terhadap fenomena pemanasan global ini tampaknya masih kurang terasa. Sebagai contoh, pada tahun 1990 emisi karbon dioksida Bumi sebesar 1,34 miliar ton, hanya berselang 7 tahun saja pada 1997 angkanya sudah 1,47 miliar ton. Emisi buang gas pembakaran bahan bakar fosil 30 negara maju, yang berpenduduk sekitar 20 persen penduduk dunia, menyumbang dua pertiga emisi gas rumah kaca ini. Sementara itu, 80 persen lainnya yang merupakan penduduk negara berkembang menyumbang sepertiga emisi karbon dioksida.
Penelitian Prof. Wili Dansgaard dari Universitas Kopenhagen, Denmark dan Prof. Hans Oeschger dari Universitas Bern, Swiss, mungkin menjadi landasan bagi mereka yang berpendapat bahwa perubahan iklim global terjadi secara alamiah. Kedua peneliti ini menyebutkan bahwa penelitian siklus iklim purba yang mereka lakukan menunjukkan Bumi telah berulangkali mengalami fenomena pemanasan global tanpa campur tangan aktivitas manusia.
Dansgaard dan Oeschger meneliti perubahan iklim masa purba dengan melakukan pengeboran hingga kedalaman tiga kilometer di Greenland dan Kutub Utara, serta kedalaman hampir empat ribu meter di stasiun penelitian kutub Vostok milik Rusia. Hasilnya, mereka menyimpulkan bahwa setiap 1.500 tahun sekali, iklim Bumi turun beberapa derajat. Namun kemudian, dalam 5-15 tahun kemudian suhu Bumi naik lagi hingga enam derajat Celcius. Selain itu, mereka menemukan bahwa dalam rentang waktu 70.000 tahun silam telah terjadi 22 siklus semacam ini.
Panas vs. dingin
Terlepas dari fakta apakah suhu Bumi ini dipengaruhi oleh aktivitas manusia ataupun berubah secara alami, yang pasti manusia selalu mengindrakan suhu di alam sekitarnya. Suhu lingkungan bervariasi dari panas terik di daerah khatulistiwa sampai di bawah titik beku di kutub. Pengindraan suhu lingkungan itu sendiri bersumber pada dua komponen, yaitu:
- Komponen fisik, berupa kadar suhu udara lingkungan yang diukur langsung dalam skala suhu semacam Celcius, Fahrenheit, ataupun Kelvin.
- Komponen psikis, yang terdiri dari suhu dalam tubuh (suhu internal), suhu inti (core temperature), suhu tubuh (body temperature), dan reseptor suhu di kulit (thermoreceptor) yang peka terhadap perubahan suhu lingkungan.
Karena adanya komponen psikis, hasil pengindraan manusia terhadap suhu lingkungan tidak identik dengan suhu lingkungan itu sendiri (yang diukur dengan skala Celcius atau Fahrenheit misalnya). Pengindraan manusia terhadap suhu lingkungan merupakan ukuran perbedaan antara suhu sebelumnya dan suhu sekarang serta keseimbangan antara suhu lingkungan dan suhu tubuh.
Reaksi tubuh sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Suhu tubuh manusia idealnya harus tetap sekitar 37 derajat Celcius. Jika suhu tubuh lebih rendah dari 25 derajat Celcius atau lebih tinggi dari 55 derajat Celcius, manusia bisa mati dengan mudah. Karena itu, dalam tubuh ada organ tertentu yang bertugas mempertahankan suhu tubuh ini. Organ itu adalah hypothalamus. Ketika suhu lingkungan meningkat, hypothalamus merangsang pembesaran pori-pori kulit, percepatan peredaran darah, pengeluaran keringat, dan reaksi-reaksi tubuh lainnya yang bertujuan untuk mengurangi panas tubuh yang berlebihan.
Jika upaya reaksi tubuh gagal mempertahankan suhu tubuh, kemungkinan akan terjadi hal-hal sebagai berikut:
- Heat exhaustion: Rasa lelah yang sangat kuat akibat panas disertai dengan rasa mual, mau muntah, sakit kepala dan gelisah.
- Heat stroke: Delirium (mengigau), koma (tidak sadar), dan akhirnya meninggal dunia akibat otak terserang panas berlebihan.
- Heat aesthenia: Jenuh, sakit kepala, gelisah, mudah tersinggung, nafsu makan kurang dan tidak bisa tidur (insomnia) dengan sebab yang tidak jelas.
- Serangan jantung: Jantung bekerja terlalu kuat mengedarkan darah ke seluruh tubuh untuk menurunkan suhu.
Reaksi penyesuaian diri dari satu lingkungan dengan suhu tertentu ke lingkungan lain yang suhunya berbeda disebut dengan aklimatisasi (acclimatization). Penyesuaian ini bukan hanya terhadap suhu lingkungan itu sendiri, melainkan juga terhadap faktor-faktor lain yang mempengaruhi pengindraan suhu, seperti tekanan udara, kuatnya angin, dan kelembapan.
Dampak Suhu
Di antara para peneliti sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai bagaimana efek suhu terhadap tingkah laku manusia. Eksperimen-eksperimen di laboratorium menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Misalnya, peningkatan suhu kadang-kadang dapat menghasilkan kenaikan prestasi kerja, tetapi kadang-kadang malah menurunkan.
Menurut hukum Dodson dan Yerkes, kenaikan suhu sampai batas tertentu menimbulkan gairah yang merangsang prestasi. Akan tetapi, setelah melewati ambang tertentu, kenaikan suhu ini sudah mulai mengganggu suhu tubuh yang mengakibatkan terganggunya pula prestasi kerja. Sementara itu, penelitian Nummenmaa dkk. baru-baru ini (akhir 2013) menyatakan bahwa persepsi emosi seperti marah, takut, bahagia, sedih, dan semacamnya, dapat dipetakan menjadi warna-warna yang terkait dengan aktivitas tubuh saat itu, termasuk di dalamnya adalah yang dipengaruhi oleh faktor suhu tubuh pada bagian tertentu.
Ditinjau dari jumlah beban yang menghinggapi pikiran manusia, suhu lingkungan yang terlalu tinggi menyebabkan meningkatnya beban psikis (stres) sehingga akhirnya akan menurunkan kemampuan fokus. Suhu lingkungan yang terlalu tinggi akan menyebabkan menurunnya persepsi kontrol terhadap lingkungan sehingga bisa menurunkan prestasi pula.
Selanjutnya, efek suhu lingkungan yang terlalu tinggi terhadap tingkah laku sosial adalah peningkatan agresivitas. Kita bisa ambil contoh kota-kota besar di Indonesia (seperti Jakarta dan Bandung), peningkatan jumlah kerusuhan dan kekacauan yang terjadi tampaknya berbanding lurus dengan peningkatan suhu kota tersebut. Di saat cuaca sedang panas-panasnya, emosi mudah tersulut, hal-hal sepele pun bisa menjadi masalah besar yang memicu kerusuhan dan tawuran.
Di sisi lain, jika temperatur tubuh terlalu rendah, reaksi tubuh adalah mengaktifkan mekanisme yang membangkitkan dan mempertahankan panas, yaitu dengan meningkatkan metabolisme, menggigil, dan menyempitkan pori-pori. Tujuannya menjaga agar panas tubuh sebanyak mungkin tinggal di dalam tubuh sendiri. Secara naif, efek suhu dingin ini terhadap perilaku sosial bisa kita lihat di tempat-tempat yang suhunya rendah, orang-orang cenderung bersikap “dingin” juga. Alih-alih melakukan kerusuhan ataupun tawuran, mungkin energi mereka sudah tercurahkan untuk mempertahankan suhu tubuh agar tetap hangat.
Dari paparan ini sebenarnya satu hal yang sangat jelas adalah bahwa keadaan lingkungan yang tidak nyaman sangatlah mempengaruhi perilaku manusia. Manusia akan beradaptasi dengan perilakunya disesuaikan kondisi lingkungan saat itu. Suhu lingkungan memang hanya salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku, namun ada baiknya kita mulai memikirkan mengatur adaptasi suhu tubuh kita terhadap lingkungan dalam bentuk adaptasi yang konstruktif, tidak destruktif.
Dengan demikian, andai saja suatu saat kita kepanasan, hindarilah interaksi sosial yang bisa menimbulkan gesekan yang berujung pada konflik. Cukup tinggal saja di rumah, pasang kipas angin, dan lakukan aktivitas positif yang bermanfaat bagi diri kita.
Terakhir, mungkinkah peningkatan suhu lingkungan telah membuat agresitivas masyarakat Indonesia turut meningkat? Mungkin saja. Jadi, marilah atur sikap diri kita masing-masing untuk lebih berkompromi dengan kondisi lingkungan kita.
Bahan bacaan:
- http://en.wikipedia.org/wiki/Global_warming
- L. Nummenmaa dkk. 2013. Bodily maps of emotions. Proceedings of the National Academy of Sciences vol. 111, pp. 645-651 (2013): http://www.pnas.org/content/early/2013/12/26/1321664111.full.pdf
- K. Santosa. 2004. Pengantar Ilmu Lingkungan. Semarang: Unnes Press
- S. W. Sarwono. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Gramedia.
Penulis:
Retno Ninggalih, ibu rumah tangga, alumnus Fakultas Psikologi Undip, saat ini bertempat tinggal di Sendai, Jepang.
Kontak: r.ninggalih(at)gmail(dot)com.