Teknologi Modifikasi Cuaca

Hujan, Hujan, Pergilah… Hujan, Hujan, Datanglah…

Hujan adalah fenomena alam yang menguntungkan pada suatu kondisi dan dapat merugikan pada kondisi yang lain. Mengapa begitu?

Sebagai contoh, pada peristiwa banjir yang menggenangi sebagian wilayah Indonesia, hujan yang turun membuat banjir semakin parah (lihat artikel teknologi 1000 guru edisi 34), serta banyak petani gagal panen karena sawahnya rusak terendam banjir (lihat artikel teknologi 1000 guru edisi 31). Contoh lainnya, pada daerah pengeboran minyak, jika hujan turun pada saat pengeboran, perusahaan akan mengalami kerugian besar. Nah, hujan biasanya ingin dihindari pada kondisi-kondisi demikian. Di sisi lain, pada daerah yang memiliki tanah yang gersang, masyarakat sangat berharap hujan akan menyuburkan tanaman dan mengisi aliran sungai yang telah lama kering. Di tempat gersang seperti itu hujan menjadi sebuah berkah.

Kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh turun atau tidaknya hujan membuat manusia terus berpikir bagaimana agar hujan dapat turun hanya pada waktu dan tempat yang mereka inginkan. Di masa lalu, orang melakukan tarian-tarian, pembacaan mantra, ritual-ritual, ataupun berdoa untuk mencegah maupun berharap turunnya hujan. Namun, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, pada tahun 1946 sejarah modifikasi cuaca dimulai. Vincent Schaefer dan Irving Langmuir memimpin percobaan pembenihan es kering. Satu tahun kemudian, perak iodide (AgI) ditemukan oleh Vonnegut sebagai suatu bahan yang dapat bertindak sebagai inti es dan menyebabkan air kelewat dingin membeku pada suhu di bawah titik beku normal, yakni pada suhu $latex -4~^\circ{\rm C}$ atau lebih rendah.

Indonesia juga memiliki sejarah modifikasi cuaca sendiri. Sejarah modifikasi cuaca di Indonesia dimulai pada tahun 1977, yakni saat ujicoba hujan rangsangan di Bogor oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Teknologi modifikasi cuaca di Indonesia hingga kini masih terus dikembangkan untuk kebutuhan komersial maupun non komersial. Contoh kebutuhan komersial yang dilayani oleh BPPT dalam bidang modifikasi cuaca adalah menghalau hujan agar tidak turun di lokasi pengeboran daerah pertambangan, sedangkan kebutuhan nonkomersialnya adalah seperti mengisi waduk Riamkanan dengan hujan rangsangan. Aplikasi lain yang terkait banjir ialah BPPT bertujuan untuk menghalau hujan agar dapat mengurangi intensitas curah hujan yang turun di Jakarta.

Pada dasarnya, konsep hujan buatan dengan teknologi modifikasi cuaca ini hanya sebuah upaya untuk mempercepat terbentuknya tetes awan dan hujan. Hujan buatan dilakukan dengan penyemaian garam-garam yang merupakan ‘bibit’ awan, atau dalam bahasa ilmiahnya disebut dengan inti kondensasi, pada awan target pembenihan. Istilah hujan buatan yang lebih dikenal masyarakat dengan demikian lebih tepat disebut sebagai hujan rangsangan.

Bibit awan dan presipitasi

Atmosfer yang menyelimuti bumi kita tidak hanya terdiri dari molekul-molekul gas, tetapi terdapat juga partikel-partikel mikroskopis padat (debu) yang tersuspensi di dalamnya. Partikel ini disebut dengan aerosol. Aerosol dapat bersumber dari asap, garam dari percikan air laut, dan tepung. Aerosol yang bersifat higroskopis akan menyerap uap air yang berada di sekitarnya dan  menjadi inti kondensasi.

Ketika inti-inti kondensasi bergabung, kita akan melihatnya sebagai awan putih yang biasa kita lihat di langit. Inti-inti kondensasi tersebut akan terus menyerap uap air. Dalam proses ini, awan akan tumbuh semakin besar, berbanding lurus dengan jumlah uap air yang diserap dan jumlah inti kondensasi yang membentuk awan tersebut. Inti-inti kondensasi memiliki kapasitas dalam menyerap uap air. Sebelum mencapai titik jenuhnya, inti kondensasi dengan uap air yang menempel pada permukaannya disebut sebagai tetes awan.

Inti kondensasi bersifat higroskopis dan menjadi tetes-tetes awan (gambar dari: http://www.cmmap.org)
Inti kondensasi bersifat higroskopis dan menjadi tetes-tetes awan (gambar dari: http://www.cmmap.org).

Ketika inti-inti kondensasi mencapai titik jenuhnya, kita akan melihat awan yang berwarna kelabu. Kecenderungan inti-inti kondensasi tersebut untuk menyerap uap air menyebabkan suatu kondisi inti-inti kondensasi akan mengalami kondisi lewat titik jenuh. Pada kondisi tersebut akan dihasilkan endapan yang turun ke permukaan bumi karena gaya gravitasi. Proses ini disebut dengan presipitasi. Presipitasi dapat berupa air hujan, gerimis, virga, salju, dan batu es.

Hujan rangsangan

Teknologi hujan rangsangan memanfaatkan konsep pembentukan awan oleh inti-inti kondensasi. Garam-garam yang sangat halus seperti tepung dan bersifat higroskopis disemai ke dalam awan target penyemaian untuk mempercepat pertumbuhan dan penjenuhan awan.

Penyemaian awan (cloud seeding). Gambar dari: http://cr4.globalspec.com.
Penyemaian awan (cloud seeding). Gambar dari: http://cr4.globalspec.com

Seperti apakah kegiatan perangsangan hujan? Berdasarkan kegiatan perangsangan hujan yang pernah dilakukan di Indonesia, sebelum dilakukan penyebaran benih pada awan (cloud seeding), perlu dilakukan pengukuran tekanan (p), suhu (T), dan kelembapan nisbi (RH) pada setiap ketinggian dengan menggunakan radiosonde. Kemudian, pesawat berisi pilot dan beberapa awak akan diterbangkan untuk menyemai garam ke dalam awan yang memasuki tingkat dewasa. Garam ini bertindak sebagai inti kondensasi dan jika ditabur ke dalam awan akan bertindak sebagai tetes larutan yang dapat merangsang mekanisme benturan dan penggabungan menjadi lebih giat sehingga tetes hujan akan lebih cepat terbentuk.

Sebenarnya perak iodide (AgI) lebih sering digunakan untuk merangsang hujan di belahan dunia lainnya. Akan tetapi, kondisi Indonesia yang mendapat lebih banyak radiasi matahari menyebabkan perak iodida menjadi tidak efektif. Oleh karena itu, di Indonesia lebih sering digunakan garam dapur (NaCl) sebagai salah satu alternatif pengganti AgI.

Hujan, hujan, pergilah…

Konsep untuk mencegah turunnya hujan di suatu wilayah pada dasarnya sama dengan hujan rangsangan. Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang. Di tanah pertanian yang gersang, awan yang berada di atas tanah tersebut dan berpotensi hujan akan dibuat cepat jenuh sehingga hujan turun di atas tanah gersang tersebut sebelum awan bergerak pergi ke tempat lain. Sementara itu, ketika sebuah perusahaan pertambangan ingin mencegah turunnya hujan di lokasi pertambangan, awan “dewasa” di suatu tempat yang berpotensi menurunkan hujan dan bergerak ke lokasi pertambangan akan dibuat lebih cepat jenuh sehingga hujan turun sebelum awan mencapai lokasi tersebut. Metode ini disebut juga sebagai jumping process.

Perlu diperhatikan bahwa teknologi perangsangan maupun pencegahan turunnya hujan ini tidak selalu berhasil sesuai yang diharapkan. Cuaca merupakan suatu sistem kompleks yang bersifat probabilistik. Teknologi perangsangan hujan hanya merupakan upaya “memperbesar” peluang turunnya hujan. Sebaliknya, teknologi pencegahan hujan sekadar upaya “memperkecil” peluang turunnya hujan. Manusia sudah berupaya, Tuhan pula pada akhirnya yang menentukan. Meski demikian, dengan keberadaan teknologi ini, kita diharapkan dapat memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah untuk masa depan yang lebih baik.

Bahan bacaan:

Penulis:
Madam Taqiyya, mahasiswi Jurusan Meteorologi, Institut Teknologi Bandung.
Kontak: madamtaqiyya(at)live(dot)com.

Back To Top