Kualitas mahasiswa ilmu kimia perguruan tinggi di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh tatap muka di dalam kelas, tetapi juga kegiatan penunjang seperti praktikum. Tema dan pola praktikum yang jarang mengalami perubahan setiap tahunnya menyebabkan mahasiswa-mahasiswi kerap mencari informasi laporan praktikum yang diunggah secara daring, yang biasanya tanpa filter dari pihak manapun. Oleh karenanya, pada artikel ini, penulis ingin mengupas salah satu praktikum kimia anorganik yang dilaksanakan hampir di seluruh pergurun tinggi di Indonesia yang memiliki program studi kimia, yakni kompleks beberapa logam transisi dengan ion klorida.
Pembahasan praktikum ini akan dibagi menjadi dua sesi, yaitu penjelasan prosedur kerja yang disertai dengan paparan mengenai fenomena yang terjadi dan karakterasi ion komplek logam yang mungkin dapat dilakukan pada masa yang akan datang. Tujuan utama praktikum ini adalah memisahkan campuran ion logam transisi 3d, seperti: Fe3+, Co2+, dan Ni2+, secara kualitatif. Perangkat lain yang digunakan adalah kolom berisi resin penukar anion, seperti Amberlite® IRA-400 pabrikkan Merck. Struktur resin IRA-400 ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Resin penukar anion jenis ini memiliki sisi aktif berupa ion trimetil ammonium kuartener yang bermuatan positif (+NR4). Pasangan anion penukar yang umum digunakan adalah ion klorida yang ditambahkan sebagai larutan HCl dan diikuti reaksi netralisasi menggunakan air. Ion klorida inilah yang akan dipertukarkan dengan ion logam transisi yang membentuk kompleks. Proses pertukaran antara ion klorida (bermuatan negatif) dengan ion logam transisi (bermuatan positif) seyogianya tidak dapat dilakukan dalam resin penukar anion.
Ion logam yang terlarut dalam H2O akan membentuk ion kompleks seperti ion heksaakuobesi(III), [Fe(OH2)6]3+ untuk ion Fe3+; ion tetraakuokobalt(II), [Co(OH2)6]2+ untuk ion Co2+; dan ion tetraakuonikel(II), [Ni(OH2)6]2+ untuk ion Ni2+. Penambahan larutan HCl dengan konsentrasi tinggi sesaat setelah campuran ion logam transisi berada dalam kolom akan mengganti jenis ligan yang terikat pada ion-ion logam transisi tersebut. Reaksi pergantian ligan dapat dituliskan:
[M(OH2)x]n+ + yCl– à [MCly](n-y)- + xH2O
M : Fe (n = 3; x, y = 6); Co (n = 2; x = 6; y = 4); Ni (n = 2; x = 6; y = 4)
Berdasarkan deret kekuatan ligan atau spektrokimia, reaksi substitusi tersebut tidak akan berlangsung karena H2O adalah ligan yang lebih kuat dibandingkan ion klorida. Hal ini dapat dipahami menggunakan teori asam-basa Lewis dan lebih tepatnya kekuatan ligan sebagai basa Lewis. Suatu ligan dapat dikategorikan sebagai spesies basa Lewis yang kuat apabila ligan mampu mempertahankan parsial muatan negatif dari pasangan elektron bebasnya (PEB) untuk didonorkan kepada spesies asam Lewis.
Kemampuan untuk mendonasikan PEB berkaitan erat dengan elektronegativitas sebuah atom dan keberadaan gugus pendonor elektron pada struktur ligan itu sendiri. Besarnya keelektronegatifan dapat diketahui dari skala Pauling (SP) atomnya. Jika kedua ligan tersebut dibandingkan, atom klorida (SP = 3.16) memiliki skala keelektronegatifan yang lebih rendah dibandingkan dengan atom oksigen (SP = 3.44) pada ligan H2O. Akan tetapi, keberadaan dua atom hidrogen (SP = 2.44) sebagai atom elektropositif pada ligan H2O menyebabkan keelektronegatifan ligan tersebut berkurang.
Semakin besar nilai SP, semakin besar pula keelektronegatifannya. Hal tersebut berdampak pada menurunnya sifat basa ligan karena tidak mampu mempertahankan muatan parsial negatif PEB untuk didonorkan pada spesies asam Lewis. Berdasarkan penjelasan teoretis ini, ligan H2O lebih kuat dibandingkan dengan ligan ion klorida. Oleh karena itu, penggunaan asam atau HCl dengan konsentrasi tinggi (9 M) bertujuan untuk menggeser ligan H2O dari kompleksnya yang telah ditunjukkan pada persamaan kimia di atas. Setelah reaksi substitusi ligan selesai, ion komplek logam berubah muatan dari positif menjadi negatif. Hal inilah yang mendasari reaksi pertukaran anion antara ion klorida dengan ion kompleks logam dalam kolom menggunakan polimer resin.
Hal menarik yang sangat jarang dibahas dalam praktikum ini adalah kemungkinan pembentukan isomer senyawa kompleks saat reaksi substitusi ligan dari H2O menuju ion klorida berlangsung. Isomer Λ dan Δ akan terbentuk jika ion pusat mengadopsi geometri oktahedral dan dalam kasus ini hanya ion kompleks besi saja. Fenomena ini sangat sulit untuk dideteksi dengan peralatan yang sederhana. Oleh karena itu, hanya pendekatan teoretis-lah yang dapat mendeskripsikannya. Pembentukkan isomer Λ dan Δ ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Sebelum mengupas lebih jauh mengenai kestabilan ion kompleks secara kuantitatif, fenomena yang terjadi saat proses elusi berlangsung mungkin menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan ion kompleks manakah yang akan terelusi terlebih dahulu. Hal ini sangat penting karena banyak praktikan yang kurang teliti untuk mengambil benang merah dari beberapa teori dasar yang saling berkaitan. Kita perlu memahami ion kompleks logam setelah direaksikan dengan HCl, yaitu [FeCl6]3-; [CoCl4]2-; dan [NiCl4]2-.
Dalam percobaan ini, ion besi yang digunakan adalah Fe3+, bukan Fe2+, karena Fe2+ mudah teroksidasi menjadi Fe3+. Selain itu, ion Co2+ mempunyai kemungkinan untuk teroksidasi menjadi Co3+ jika ion Co2+ secara terus-menerus terpapar oksigen bebas. Hanya ion Ni2+ saja yang memiliki tingkat kestabilan yang sangat tinggi atau rentan teroksidasi atau tereduksi. Interaksi kimia antara resin dengan ion kompleks ini faktor penting untuk memprediksi spesies manakah yang akan terelusi atau keluar dari kolom berisi resin terlebih dahulu. Interaksi keduanya adalah ikatan ionik antara muatan positif dari resin dan muatan negatif dari masing-masing ion kompleks. Semakin negatif muatan dari ion kompleks menyebabkan spesiesnya banyak terikat dengan sisi aktif resin sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terelusi dari resin.
Berdasarkan beberapa informasi yang telah disebutkan, urutan ion komplek logam berdasarkan besar muatan negatifnya adalah [FeCl6]3-; [CoCl4]2-; dan [NiCl4]2-. Apabila ion Co2+ mengalami oksidasi menjadi Co3+, urutannya menjadi [FeCl6]3-; [NiCl4]2-; dan [CoCl4]–, sehingga asumsinya ion [CoCl4]– akan keluar terlebih dahulu. Penentuan kestabilan ion kompleks dalam resin melalui pendekaran interaksi ionik ini perlu diperkuat dengan teori lain yang lebih bersifat kuantitatif.
Perhitungan kuantitatif yang memungkinkan sebagai pembanding kestabilan dari ketiga ion transisi logam tersebut adalah Ligand Field Stabilization Energy (LFSE). Pembahasan secara mendalam mengenai LFSE dimuat pada artikel berjudul “Pendekatan Senyawa Koordinasi dari Diagram Orbital Molekul” yang terbit di Majalah 1000guru Edisi ke-95. Hal yang perlu diperhatikan untuk menghubungkan LFSE dengan kestabilan ion kompleks logam dalam resin penukar anion adalah jenis ligan yang berikatan sebelum dan sesudah reaksi substitusi. Faktor lainnya adalah konfigurasi elektron ion pusat, hibridisasi, dan bentuk geometri ion kompleks yang terbentuk.
Berdasarkan deret spektrokimia, jenis medan ligan antara ligan H2O dan ion klorida berbeda. Ligan H2O bermedan ligan kuat sehingga pengisian elektron dengan orientasi spin tinggi lebih disukai, sedangkan ligan ion klorida berlaku kebalikannya. Penjelasan mendetail mengenai medan ligan dan orientasi spinnya dapat ditemui pada artikel lain yang berjudul “Filosofi Kimia Koordinasi” dan di di Majalah 1000guru Edisi ke-61. Di sini, penulis mengasumsikan tidak ada reaksi oksidasi yang terjadi pada ion Co2+ menjadi Co3+ sehingga ion-ion logamnya adalah Fe3+; Co2+; dan Ni2+ saja. Berdasarkan informasi tersebut, konfigurasi elektron ketiga ion-ion logam dapat dituliskan sebagai berikut:
26Fe3+ : [Ar] 3d5 4s0
27Co2+ : [Ar] 3d7 4s0
28Ni2+ : [Ar] 3d8 4s0
Berdasarkan konfigurasi elektron dan jenis medan ligan sebelum dan sesudah reaksi substitusi, bentuk geometri dan hibridisasi ion pusat secara berurutan dituliskan sebagai berikut:
Fe3+: [Fe(OH2)6]3+ (hibridisasi d2sp3, oktahedral) à [FeCl6]3- (hibridisasi sp3d2, oktahedral)
Co2+: [Co(OH2)6]2+ (hibridisasi sp3d2, oktahedral) à [CoCl4]2- (hibridisasi sp3, tetrahedral)
Ni2+: [Ni(OH2)6]2+ (hibridisasi sp3d2, oktahedral) à [NiCl4]2- (hibridisasi sp3, tetrahedral)
Penentuan bentuk geometri tidak serta-merta ditentukan melalui pendekatan teori ikatan valensi, teori medan kristal, atau teori orbital hibridisasi saja, tetapi beberapa senyawa sejenis yang telah ditemukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Secara teoretis, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan jenis geometri ion pusat ini, tetapi data-data pendukung lain dari hasil eksperimen menjadi salah satu faktor penentu untuk dipertimbangkan. Penentuan nilai LFSE ion kompleks logam-logam tersebut berbeda-beda. Medan ligan yang berbeda berpengaruh pada pengisian elektron ion pusat pada subkulit d-nya. Di sisi lain, bentuk geometri ion pusat yang berbeda berpengaruh pada pemecahan kelima subkulit orbital d-nya ( ; ; ; ; ). Khusus untuk ion Co2+ dan Ni2+, perubahan geometri ion pusat setelah reaksi substitusi ligan disebabkan ukuran (jari-jari) ligan ion klorida yang sangat besar. Pemecahan subkulit d ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
Cara pengisian elektron pada sub-kulit orbital d secara mendetail telah dijelaskan di Rubrik Kimia Majalah 1000guru Edisi ke-61 yang berjudul “Filosofi Kimia Koordinasi”. Berdasarkan ilustrasi pemecahan subkulit orbital d dan beberapa informasi-informasi di atas, nilai LFSE ion-ion kompleks logam tersebut dicantumkan di bawah ini:
LFSE [Fe(OH2)6]3+ = -2.0 Δoct ; LFSE [FeCl6]3- = 0.0 Δoct
LFSE [Co(OH2)6]2+ = -1.8 Δoct ; LFSE [CoCl4]2- = -1.2 ΔTd
LFSE [Ni(OH2)4]2+ = -1.2 Δoct ; LFSE [NiCl4]2- = -0.8 ΔTd
Δoct = (4/9) ΔTd
Hal yang perlu dicermati untuk membaca nilai LFSE adalah semakin kecil atau negatif LFSE-nya maka ion atau senyawa kompleks yang terbentuk semakin stabil. Faktor yang mengurangi besar kestabilannya adalah jumlah elektron yang menempati subkulit orbital anti-bonding (*). Selain itu, nilai LFSE di atas Δoct atau ΔTd disubstitusi oleh sebuah angka. Angka tersebut berasal dari besarnya energi yang dibutuhkan untuk mengeksitasi satu elektron dari subkulit orbital menuju pada geometri oktahedral. Lebih lanjut lagi, Δoct atau ΔTd setiap ion atau senyawa kompleks sangat berbeda-beda. Beberapa nilai Δoct atau ΔTd diberikan di bawah ini:
Δoct [Fe(OH2)6]3+ = 14.300 cm-1 ; Δoct [FeCl6]3- = (tidak ada informasi)
Δoct [Co(OH2)6]2+ = 9.300 cm-1 ; ΔTd [CoCl4]2- = 3.300 cm-1
Δoct [Ni(OH2)4]2+ = 8.500 cm-1 ; ΔTd [NiCl4]2- = (tidak ada informasi)
Informasi tentang LFSE dan beberapa nilai Δoct atau ΔTd menunjukkan bahwa reaksi substitusi ligan menyebabkan seluruh ion kompleks logam mengalami destabilisasi yang ditunjukkan dengan meningkatnya nilai LFSE. Kesimpulan dari hasil-hasil tersebut, ion Fe3+ merupakan ion kompleks yang paling stabil jika berikatan dengan ligan H2O sehingga [Fe(OH2)6]3+ membutuhkan energi yang besar untuk mendestabilisasinya. Jika ditinjau dari selisih nilai LFSE, energi yang dilepaskan untuk mendestabilkan ion kompleks logam secara berurutan diantara lain: Fe3+, Co2+, dan Ni2+. Dengan demikian, ion kompleks logam yang lebih dulu terelusi secara berurutan adalah Ni2+, Co2+, dan kemudian Fe3+.
Beberapa reagen dapat mendeteksi ion kompleks logam tertentu secara spesifik dengan mengatasi perubahan senyawanya. Contohnya, reagen KCNS selektif untuk ion [FeCl6]3–, reagen NH4CNS selektif untuk [CoCl4]2-, dan reagen NH3(aq) dan dimetilglioksin (DMG) selektif untuk [NiCl4]2-. Reagen tersebut tidak akan berpengaruh jika direaksikan pada ion kompleks yang berbeda. Reaksi kimia dan struktur senyawa komplek yang terbentuk antara ion kompleks logam dengan masing-masing reagennya ditunjukkan pada gambar di bawah.
Kesimpulan final dari praktikum ini adalah ion kompleks Ni2+ secara teoretis akan terelusi terlebih dahulu oleh larutan asam dengan konsentrasi yang tinggi (9 M). Terelusinya ion kompleks Ni2+ dapat dibuktikan dengan eluen yang mengalami perubahan warna menjadi merah saat direaksikan dengan reagen NH3(aq)/DMG. Di sisi lain, reaksi antara ion kompleks [CoCl4]4– dan reagen NH4CNS akan menghasikan warna biru sedangkan reaksi antara ion kompleks [FeCl6]3– dan reagen KCNS akan menghasilkan warna merah. Pembahasan dalam artikel ini diasumsikan sebagai keadaan yang ideal dan berkesesuaian beberapa teori yang ada. Akan tetapi, keadaan riil di laboratorium mungkin berbeda dengan kondisi ideal ini. Hal itu disebabkan oleh banyak faktor yang tidak dapat dikendalikan.
Jika praktikum ini dilanjutkan, “Bagian manakah yang akan mengalami perubahan perkembangan?”. Jawabannya adalah karakterisasi terhadap ion kompleks tersebut. Karakterisasi ion kompleks ini sangatlah mahal sehingga hasil yang didapatkan tidak sebanding dengan biaya dikeluarkan serta waktu yang digunakan. Pada artikel ini, penulis akan mengupas lebih mendalam mengenai potensi karakterisasi apa sajakah yang dapat berpotensi untuk menganalisisnya.
Hal pertama kali sebelum dilakukannya karakterisasi dan analisis ion kompleks tersebut adalah proses rekristalisasi ion kompleks atau dengan kata lain mengkristalkan ion kompleks yang terbentuk. Rekristalisasi ini dapat dicapai dengan beberapa cara. Dengan mempertimbangkan prosedur kerja praktikum dan beberapa metode rekristalisasi, cara yang paling mudah adalah menampung beberapa mililiter eluen yang keluar dari kolom resin pada konsentrasi tertentu. Setelahnya, eluen tersebut ditambah dengan kation penyeimbang agar total muatannya menjadi netral. Misalnya, ion [FeCl6]3– ditambah dengan larutan NaCl agar membentuk senyawa Na3[FeCl6] dan begitu juga dengan ion kompleks logam yang lain.
Selanjutnya, larutan Na3[FeCl6] dikurangi volume pelarutnya dengan cara menutup wadah menggunakan plastik parafin serta membuat beberapa lubang kecil dengan jarum. Lubang-lubang tersebut berfungsi sebagai akses bagi pelarut yang menguap. Beberapa hari atau satu minggu kemudian, kristal-kristal tunggal yang muncul dapat dikarakterisasi menggunakan instrumen untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan.
Kristal tunggal yang terbentuk dapat dikarakterisasi dan dianalisis untuk mengekstrak informasi tertentu. Pertama, x-ray kristal tunggal atau single-crystal x-ray. Karakterisasi kristal dengan instrumen ini akan menghasilkan output berupa difraksi-difraksi elektron yang terekam di setiap frame-nya. Kemudian, frame–frame tersebut diproses menggunakan perangkat lunak yang terkoneksi dengan instrumen untuk mendapatkan informasi-informasi penting seputar parameter cell, seperti sistem kristal; space group; parameter kisi kristal (a, b, c); sudut-sudut dari sistem kristal (α, β, γ); dan volum kristal. Jika ditelaah secara kasar, ion kompleks [FeCl6]3– memiliki grup titik D4d sedangkan ion kompleks [CoCl4]2– dan [NiCl4]2– memiliki grup titik Td. Pengolahan menggunakan perangkat lunak pendukung lainnya, seperti Yadokari® dan OLEX®, akan menghasilkan struktur kristal secara visual.
Kedua, analisis untuk menentukan rasio antara atom ion pusat dan atom ligan menggunakan x-ray fluorescent (XRF). Output dari XRF ini akan memberikan informasi berupa prosentase (%) atom dalam senyawanya. Jika merujuk pada teori yang telah dipaparkan, kristal Na3[FeCl6] murni akan menghasilkan rasio atom Fe : atom Cl = 1 : 6. Hal tersebut juga berlaku untuk senyawa yang lain. Keberadaan atom Na pada kristal tersebut tidak akan terdeteksi oleh alat karena massa atomnya sangat ringan. Akan tetapi, jika kation penyeimbang memliki massa atom yang lebih berat dari atom Na maka instrumen tersebut akan mendeteksi pula keberadaanya. Apabila rasio atom Cl kurang dari jumlah idealnya maka adanya kemungkinan bahwa ligan Cl– tidak sepenuhnya mengganti H2O.
Ketiga, keberadaan ion logam transisi dalam komplek akan menghasilkan berwarna tertentu yang terdeteksi menggunakan UV-Visible spectrophotometer atau juga dikenal sebagai absorption spectrophotometer dengan cara melarutkan kristalnya. Kristal dalam fase padatnya juga dapat dikarakterasi menggunakan solid-state diffuse-reflactant spectrometer dengan cara menggiling atau ‘melarutkan’nya dalam padatan MgSO4 anhidrat yang bebas dari molekul air. Tujuan analisis ini adalah mengamati puncak serapan ion logam transisi sebagai respon terjadinya fenomena transisi elektron dari sub-kulit orbital d ( ) menuju sub-kulit orbital d dengan energi yang lebih tinggi ( ). Informasi berupa panjang gelombang serapan (λ) akan memberikan data mengenai besar LFSE senyawa kompleks sesuai rumus E (Δ) = h.c/λ, dengan h merepresentasikan konstanta Planck yang setara dengan 6,626×10-34 joule detik (J⋅s), sedangkan c merepresentasikan kecepatan cahaya yang setara dengan 3×108 meter/detik. λ merepesentasikan bilangan gelombang yang diperoleh dari instrumen.
Keempat, cyclic voltammeter. Analisis ini diperlukan guna memastikan apakah ion Co(II) mengalami kemungkinan untuk teroksidasi menjadi Co(III) atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, larutan ion [CoCl4]2– dioksidasi dengan kondisi tertentu. Jika hasil cyclic voltammogram menunjukkan puncak separan yang bersesuaian dengan reaksi oksidasi spesies Co2+ à Co3+ maka Co2+ memang stabil dalam ion kompleks logamnya. Sebaliknya, jika puncak serapan tidak muncul pada cyclic voltammogram setelah dilakukan perlakuan yang sama, maka Co3+ benar-benar terbentuk dan reaksi oksidasi terjadi dari ion kompleks [CoCl4]2– menjadi [CoCl4]–. Hal tersebut tentu akan mengubah nilai LFSE-nya.
Penjelasan lebih lengkap mengenai karakterisasi fasa padatan dan larutan pada senyawa-senyawa koordinasi dapat ditemui pada dua artikel Majalah 1000guru lainnya yang berjudul “Metalloligan dan Senyawa-Senyawa Koordinasi” (Edisi ke-91) dan “Analisis Senyawa Koordinasi pada Fase Larutan” (Edisi ke-92). Terakhir dari penulis, pembahasan laporan praktikum ini mungkin tidak seutuhnya dijelaskan secara sempurna. Oleh karena itu, saran yang membangun dari pembaca yang ditinggalkan di kolom komentar akan lebih memperkaya ilmu pengetahuan di bidang kimia dan kaitannya.
Bahan bacaan:
- Efendy, 2007, Teori VSEPR Kepolaran, dan Gaya Antarmolekul, Edisi 3, Bayumedia Publishing, Malang Jawa Timur.
- Efendy, 2011, Perspektif Baru Kimia Koordinasi, Edisi 2, Jilid 1, AIP Publishing, Malang Jawa Timur.
- http://majalah1000guru.net/2016/04/filosofi-kimia-koordinasi/
- http://majalah1000guru.net/2018/10/metalloligan/
- http://majalah1000guru.net/2018/11/analisis-senyawa-koordinasi/
- http://majalah1000guru.net/2019/02/senyawa-koordinasi/
- https://chem.libretexts.org/Bookshelves/Inorganic_Chemistry/Supplemental_Modules_(Inorganic_Chemistry)/Crystal_Field_Theory/Introduction_to_Crystal_Field_Theory
- https://chem.libretexts.org/Bookshelves/Inorganic_Chemistry/Supplemental_Modules_(Inorganic_Chemistry)/Crystal_Field_Theory/Crystal_Field_Theory
Ucapan Terima kasih
Penulis mendedikasikan artikel ini kepada Haryadi Nugraha Putra (Program Master Kimia di Prince of Songkla University)
Penulis:
Benny Wahyudianto, Mahasiswa Master di Osaka University, Jepang.
Kontak: benny.wahyudianto.a(at)gmail.com