Api Dingin (“Cool Flame”): Tidak Hanya Dingin, Tetapi Juga Keren

Sekitar tahun 1810-an, Sir Humphry Davy, seorang ilmuwan kebangsaan Inggris, tak sengaja mengalami fenomena aneh dalam eksperimennya. Ia menemukan bahwa api yang dibuatnya tidak membakar tangannya dan tidak menyalakan korek api. Ia juga mengemukakan bahwa api unik ini dapat berubah menjadi api biasa dengan komposisi bahan bakar dan suhu tertentu serta tidak memerlukan sumber penyalaan dari luar sistem. Lebih dari satu abad kemudian, Harry Emeléus menyebut api jenis ini dengan nama ‘api dingin’ (cool flame).

Apabila dikaitkan dengan parameter suhu, api dingin merupakan api yang terbentuk saat suhu sistem kurang dari 400 °C atau kurang dari 650 K (Foster dan Pearlman, 2007). Api dingin bukan berarti tidak mengeluarkan panas. Hanya saja panas yang dihasilkan api dingin relatif jauh lebih rendah daripada api biasa yang suhunya dapat mencapai lebih dari 1000 °C.

Fenomena api dingin ini menarik diperbincangkan karena pengaruh waktu penyalaan pada proses pembakaran (combustion). Lebih jauh lagi, Yamada dkk. (2008) menyebutkan bahwa proses pembakaran api dingin ini cukup kompleks serta dipengaruhi struktur dari bahan bakar yang digunakan. Salah satu bahan yang sering digunakan adalah formaldehida yang ketika terbakar membentuk warna api kebiruan.

Sekalipun bahan yang dipakai berkontribusi pada proses yang disebut oksidasi suhu rendah ini, menurut Da Silva dkk. (2004), keadaan awal bahan bakar (hidrokarbon) tidak memengaruhi proses tersebut. Reaksi keseimbangan antara radikal hidrokarbon dengan oksigenlah yang memegang peran penting. Rendahnya stabilitas oksigen ketika reaksi terjadi serta kontribusi suhu yang lebih tinggi membuat keseimbangan reaksi kimia akan kembali bergeser ke arah reaktan:

R + O2 ↔ RO2

Proses pembakaran pada api dingin tentu berbeda dengan api biasa. Secara umum, pembakaran pada api biasa berlangsung dengan molekul hidrokarbon yang terpecah menjadi bagian-bagian kecil kemudian berkombinasi dengan oksigen menghasilkan karbon dioksida (diasumsikan pembakaran sempurna) dan molekul air.

Pada api dingin, molekul reaktan tidak terpecah menjadi bagian yang begitu kecil dan mudah untuk kembali saling berkombinasi sehingga panas yang dihasilkan tidak terlalu banyak sekalipun pancaran cahaya dan pembentukan karbon dioksida tetap terjadi. Namun, kabar baiknya adalah pembakaran api dingin bersifat osilatoris berkenaan dengan kecenderungan reaksi yang terus bergeser ke arah reaktan sehingga dapat bertahan untuk durasi yang lama.

Pada proses pembakaran, dikenal istilah titik nyala. Titik nyala memberikan informasi mengenai pada suhu berapa reaksi pembakaran suatu bahan menimbulkan nyala api. Titik nyala api dingin hanya berkisar pada puluhan derajat celsius sementara api biasa membutuhkan suhu minimal sekitar 1000 derajat celsius.

Api dingin yang terbentuk pada ruang mesin dapat berkontribusi pada efek ketukan (knocking). Ketukan pada ruang mesin termasuk masalah klasik pada perancangan ruang mesin dan proses pembakaran. Ketukan ini secara umum dapat diartikan sebagai akibat dari pembakaran bahan bakar dengan kadar oktan yang rendah ataupun dari proses pembakaran yang buruk.

Ketukan dapat menimbulkan gelombang kejut yang merambat melalui ruang bakar. Karena adanya tekanan tinggi yang tiba-tiba, ketukan biasanya diiringi dengan suara yang keras. Selain itu, ketukan juga dapat merusak permukaan piston yang berpotensi menghilangkan tenaga dari mesin. Kabar baiknya, ketukan pada pembentukan api dingin dimungkinkan pada tekanan tinggi sedangkan api dingin lebih sering teramati pada tekanan rendah.

Saat ini, penelitian yang dilakukan NASA pada api dingin yang disebut Cool Flame Investigation (CFI) berfokus pada pengembangan pembentukan api dingin sebagai metode pembakaran baru pada mesin berdasarkan ragam bahan bakar ramah lingkungan serta peningkatan efisiensi pembakaran yang diharapkan mampu menggantikan sistem pembakaran konvensional. Api dingin, bukan hanya menarik untuk dipelajari, tetapi juga keren untuk dijadikan eksperimen!

Bahan bacaan:

  • Da Silva, J.M., Hermann, I., Mengel, C., Lucka, K., dan Köhne, H., 2004, Autothermal Reforming of Gasoline Using a Cool Flame Vaporizer, AIChE Journal, 50 (5), 1042-1050.
  • Foster, M., dan Pearlman, H., 2007, Cool Flame Propagation Speeds, Sci. and Tech., 179, 1349–1360.
  • Yamada, H., Suzaki, K., Tezaki, A., dan Goto, Y., 2008, Transition from cool flame to thermal flame in compression ignition process, Combustion and Flame, 154, 248–258.

 

Penulis:

Viny Alfiyah, Mahasiswi Departemen Kimia, FMIPA, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kontak: alfiyahviny(at)gmail(dot)com.

Back To Top