Secuil Kisah Angka dan Bilangan

Dalam kehidupan kita sehari-hari, angka dan bilangan adalah dua istilah yang sering dipertukarkan satu sama lain. Akan tetapi, angka dan bilangan adalah dua hal yang berbeda dalam matematika. Secara sederhana, angka dapat dikatakan sebagai suatu tanda atau lambang yang digunakan untuk melambangkan bilangan.

Perbedaan antara definisi angka dan bilangan dapat kita lihat melalui contoh berikut ini. Bilangan lima dapat dilambangkan menggunakan angka Hindu-Arab “5” (sistem angka berbasis 10), “101” (sistem angka biner), maupun menggunakan angka Romawi ‘V’. Lambang “5”, “1”, “0”, dan “V” yang digunakan untuk melambangkan bilangan lima itu disebut sebagai angka. Tahukah teman-teman dari mana asalnya sistem angka dan bilangan semacam itu? Mari kita simak secuil kisah singkatnya!

Sekitar 12 ribu tahun yang lalu, manusia menghabiskan banyak waktunya dengan berburu hewan dan mengambil tanaman di sekitar mereka untuk dimakan. Semua makanan mereka diperoleh dari alam bebas. Mereka belum memiliki hewan-hewan ternak ataupun kebun-kebun tumbuhan yang dikelola dengan baik. Namun, hingga sekitar 7 ribu tahun yang lalu, peradaban manusia mulai membentuk komunitas-komunitas kecil sehingga mereka mampu beternak dan bercocok tanam.

Sekitar 5 ribu tahun yang lalu, komunitas-komunitas kecil itu mulai terorganisasi dengan lebih baik sehingga menjadi awal mula dari berbagai peradaban manusia yang kita ketahui saat ini. Masih terkait dengan kebutuhan makanan, mereka mulai berpikir bagaimana cara mengukur waktu dan cara mengetahui periode siklus alam tahunan sehingga dapat mengoptimalkan produksi sumber kehidupan sehari-hari. Mereka menggunakan fase-fase bulan, matahari, dan bintang-bintang untuk membantu mereka mengetahui perjalanan waktu. Misalnya, orang-orang Mesir saat itu mempelajari bintang Sirius untuk memprediksi kapan Sungai Nil meluap.

Perhitungan waktu sangatlah krusial untuk keberlangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, peradaban manusia di masa lampau yang menyadari pentingnya hal tersebut segera memikirkan simbol-simbol yang dapat digunakan untuk menghitung hari, mengetahui fase-fase bulan, dan bahkan dapat membantu komunikasi dengan orang lain. Selain itu, keberadaan konsep perhitungan yang baik dan mudah tentunya akan sangat membantu dalam mengelola hewan-hewan ternak dan kebun-kebun yang mereka miliki saat itu.

Nah, cara berhitung mula-mula yang paling mudah di masa lalu adalah dengan menggunakan simbol turus. Hitungan turus dibuat dengan garis-garis lurus tegak yang masing-masingnya menandakan satu buah objek yang dihitung. Berhitung dengan turus ini cukup berguna untuk jumlah objek yang sedikit. Namun, lama kelamaan, seiring semakin besarnya jumlah objek yang perlu dihitung, peradaban manusia memikirkan simbol lain yang dapat merepresentasikan bilangan yang besar secara efisien.

Ilustrasi turus.
Ilustrasi turus.

Sebelum melanjutkan kisah perjalanan manusia menciptakan berbagai simbol bilangan ini, perlu diperhatikan bahwa dalam kehidupan sehari-hari sekarang pada dasarnya kita berhitung menggunakan basis 10. Dalam basis ini, kita membutuhkan 9 digit beserta angka 0 untuk menulis setiap bilangan. Namun, sebenarnya basis bilangan itu tidak perlu 10, boleh saja 20, atau 16, atau mungkin 60. Kok bisa? Ada lho contohnya dari para pendahulu kita.

Representasi bilangan dengan gambar

Orang Mesir merasakan kesulitan dengan perhitungan turus untuk jumlah objek yang besar. Oleh karena itu, sekitar 3.000 tahun sebelum Masehi, mereka membuat sistem angka hieroglif (hieroglyphs) dengan basis 10 yang dibentuk dalam gambar-gambar tertentu. Dengan menggunakan sistem hieroglif ini, setidaknya mereka bisa berhitung sampai beberapa juta objek tanpa perlu menghabiskan lahan penulisan. Bahkan, urutan penulisan dalam sistem hieroglif ini tidaklah penting. Kita bisa menulis secara acak karena setiap elemen gambar sudah pasti merepresentasikan bilangan tertentu.

Simbol-simbol dasar pada hieroglif Mesir.
Simbol-simbol dasar pada hieroglif Mesir.
Bilangan 276 dituliskan dalam angka hieroglif.
Bilangan 276 dituliskan dalam angka hieroglif.

Sementara itu, di Babilonia, sekitar tahun 2.600 SM, orang-orang menggunakan sistem yang serupa dengan Mesir, tetapi basisnya adalah kombinasi 10 dan 60. Orang-orang Babilonia pun memperkenalkan pentingnya penempatan posisi gambar yang memberi makna tertentu terhadap bilangan yang direpresentasikan. Misalnya kalau dalam basis 10 kita mengenal posisi satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya, maka dalam basis 60 orang-orang Babilonia mengenal posisi satuan, enam-puluhan, tiga-ribu-enam-ratusan, dan seterusnya. Dengan cara ini mereka bisa lebih “menghemat” lahan penulisan dibandingkan orang-orang Mesir.

Elemen mendasar pada sistem angka Babilonia.
Elemen mendasar pada sistem angka Babilonia.
Ed57-matematika-5
Angka 1 dan 10 digunakan untuk berhitung hingga 60. Selanjutnya untuk bilangan yang besar, orang-orang Babilonia menggunakan konsep posisi angka untuk merepresentasikan satuan, enam-puluhan, tiga-ribu-enam-ratusan, dan seterusnya (dalam basis 60).
Contoh penulisan bilangan 7659 dalam sistem angka ala Babilonia.
Contoh penulisan bilangan 7659 dalam sistem angka ala Babilonia.

Sistem Angka Romawi: Tanpa Nol!

Saat ini kita menggunakan angka 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan dengan menggunakan angka-angka ini kita dapat menuliskan bilangan apapun. Posisi angka (terinspirasi dari cara orang Babilonia) juga menunjukkan bilangan tertentu seperti misalnya posisi angka 1 pada bilangan 10, 100, 1000, dan seterusnya, yang memiliki nilai berbeda-beda. Nah, hal yang menarik di sini, keberadaan simbol angka nol (0) itulah yang menjadi penanda nilai berbeda pada 10, 100, 1000, sehingga angka 0 adalah angka yang sangat penting. Namun, tahukah teman-teman? Meskipun kekaisaran mereka sebegitu kuatnya, ternyata orang-orang Romawi dulu tidak punya angka nol!

Orang-orang Romawi dulu hanya memiliki simbol yang terbatas seperti I, V, X, C, L, D, M, dan dari simbol-simbol ini mereka menuliskan bilangan yang mereka butuhkan dengan cara yang mirip sistem turus. Perhatikan angka 1 sampai dengan 10 dalam sistem Romawi adalah:

I, II, III, IV, V, VI, VIII, IX, X

Sekali lagi, dalam sistem angka Romawi ini tidak dikenal simbol khusus untuk angka 0. Selanjutnya, bilangan-bilangan yang lain dapat dituliskan dengan mengombinasikan I, V, X, dan huruf-huruf seperti  L (menyatakan angka 50), C (100), D (500), M (1000). Sebagai contoh, kita bisa menuliskan CXI untuk bilangan 111.

Perhatikan bahwa cara penulisan angka 4 di dalam sistem angka Romawi adalah dengan menganggap angka 4 sebagai satu nilai (I) kurang dari 5 (V) sehingga huruf I dituliskan sebelum V, yakni IV. Sementara itu, angka 6 adalah satu nilai lebih dari 5 sehingga dituliskan VI. Dengan cara yang serupa, angka 9 adalah satu nilai sebelum 10 sehingga dituliskan IX. Kita bisa tebak tentunya XC adalah simbol untuk 90. Contoh-contoh lainnya:

20 → XX, 25 → XXV, 29 → XXIX, 75 → LXXV, 2007 → MMVII, 1999 → MCMXCIX

Dengan sistem ini, orang-orang Romawi pada akhirnya mengalami kesulitan untuk berhitung bilangan yang lebih besar. Bahkan, mereka tidak mampu melakukan operasi penjumlahan ataupun perkalian dengan mudah seperti halnya yang biasa kita lakukan saat ini. Selain masalah tidak adanya angka 0, mereka pun tidak mengenal pentingnya posisi angka sehingga menyulitkan operasi bilangan.

Ilustrasi sulitnya melakukan operasi penjumlahan dalam sistem angka Romawi.
Ilustrasi sulitnya melakukan operasi penjumlahan dalam sistem angka Romawi.

Pentingnya Angka Nol

Orang-orang Babilonia sudah menyadari pentingnya keberadaan angka nol dalam sistem perhitungan mereka meskipun dalam sistem angka yang mereka gunakan tidak ada simbol khusus untuk nol. Sekitar 2.300 tahun yang lalu, orang-orang India membuat sistem angka seperti yang kita kenal saat ini dan secara khusus memberi simbol tersendiri untuk bilangan nol (yakni angka 0). Orang-orang Arab kemudian menyebarkannya ke daerah-daerah lain melalui perdagangan hingga ke Eropa Timur.

Angka nol ini sedemikian pentingnya setidaknya untuk dua hal. Pertama, angka nol dapat merepresentasikan ketiadaan. Kedua, angka nol memungkinkan kita untuk membuat ruang kosong di dalam suatu bilangan. Misalnya, pada bilangan 750049, dua buah angka nol di tengah menyatakan bagian ratusan dan ribuan yang bernilai kosong. Bayangkan kalau tidak ada angka nol di situ, kita tidak akan bisa membedakan nilai 750049 dan 7549.

Selain itu, angka nol dalam cabang ilmu lain sangat bermanfaat untuk menjadi titik acuan awal. Sebagai contoh, jika kita mengukur ketinggian tanah, biasanya kita menjadikan permukaan laut sebagai acuan. Ini berarti ketinggian permukaan laut dapat didefinisikan bernilai nol. Kisah angka nol lebih lanjut dapat disimak di rubrik matematika Majalah 1000guru Edisi Desember 2011.

Dari uraian di atas, kita bisa lihat bahwa sistem angka dan bilangan perlahan-lahan berubah mengikuti kebutuhan dan perkembangan peradaban manusia. Saat ini kita merasa “nyaman” dengan sistem angka dalam basis 10 dan biasa menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, bagi komputer dan peralatan elektronik, perlu digunakan basis 2 (biner) atau basis 16 (heksadesimal) untuk kemudahan “berkomunikasi” dengan mesin. Jadi penggunaan sistem angka tertentu ini disesuaikan kebutuhan dan kesepakatan juga. Mungkin saja di masa depan kita tidak lagi menggunakan basis 10 dalam kehidupan sehari-hari.

Catatan: Tulisan ini merupakan saduran bebas dari salah satu artikel dari Jennifer Piggott di nrich.maths.org yang berjudul “A Story about Absolutely Nothing”.

Bahan bacaan:

Penulis:
Ahmad Ridwan T. Nugraha, peneliti fisika, alumnus ITB dan Tohoku University.
Kontak: art.nugraha(at)gmail(dot)com.

Back To Top