Sel Diploid Manusia dalam Produksi Vaksin

Di Indonesia belakangan ini gencar dilakukan vaksinasi massal untuk berbagai jenis penyakit, seperti meningitis, campak, dan rubella. Sudah dapat dipastikan, para antivaksin, gerakan menolak vaksinasi, merongrong program pemerintah ini dengan melemparkan berbagai isu. Mulai dari isu haramnya vaksinasi, padahal para pemuka agama termasuk MUI telah menyatakan kebolehan penggunaan vaksin yang ada sekarang (silakan simak salah satu pembahasannya di laman muslim.or.id), hingga akhir-akhir ini kelompok antivaksin melemparkan isu baru tentang penggunaan sel diploid manusia (human dipoid cell), yang berasal dari janin yang diaborsi.

Dengan memanfaatkan ketidaktahuan publik tentang penggunaan sel manusia ini, para antivaksin menggambarkan seolah-olah ada ratusan bahkan ribuan janin yang sengaja digugurkan hanya untuk pembuatan vaksin. Kenyataannya sama sekali tidak begitu. Dalam riset biomedis, penggunaan hewan dalam percobaan harus melalui audit dan persetujuan komite bioetik, apakah percobaan betul-betul hanya bisa dilakukan kepada hewan, apakah perlakuan yang akan dialami para hewan betul-betul diperlukan, karena jangan sampai hewan tersiksa untuk hasil yang sia-sia (salah satu contoh kode etik penelitian biomedis bisa dilihat di laman nuffieldbioethics.org). Ketatnya standar percobaan menggunakan hewan ini dapat menjadi gambaran lebih ketatnya lagi standar percobaan yang melibatkan manusia.

Sebelum kita melihat di mana asal dan letak penggunaan sel manusia dalam pembuatan vaksin, kita harus tahu dulu apa itu vaksin. Vaksin adalah produk biologis yang dapat memicu tubuh untuk menghasilkan imunitas spesifik terhadap suatu penyakit. Vaksin mengandung antigen, partikel yang merangsang sistem imun, yang dapat berupa virus hidup yang sudah dilemahkan, virus yang sudah mati, bagian permukaan virus, atau toksin bakteri. Untuk memproduksi vaksin yang ditargetkan pada penyakit yang disebabkan virus, terlebih dahulu virus diperbanyak di dalam sel hewan dalam skala pabrik karena virus tidak dapat “hidup” di luar sel. Jangan heran, di pabrik vaksin bisa ditemukan banyak telur (sel hewan) yang digunakan untuk “menanam” virus, yang kemudian hasil panennya adalah antigen.

Sayangnya, penggunaan sel hewan tidak ideal karena proses penjagaan hewan agar tetap hidup dan sehat memerlukan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, hewan yang hidup juga masih berpotensi terkena penyakit dari sumber lain sehingga hasil akhir ekstraksi antigen dapat terkontaminasi dengan penyakit yang menyerang hewan tersebut.  Namun, masalah yang utama adalah memang ada virus yang tidak dapat hidup selain dalam sel manusia karena sel manusia itu inang alaminya. Di sinilah letak penggunaan sel diploid manusia sebagai tempat hidup virus yang nantinya digunakan untuk produksi vaksin.

Ini bukan foto pabrik kue, melainkan di dalam pabrik vaksin Commonwealth Serum Laboratories (CSL).

Sel hewan, termasuk sel manusia, yang besarnya tidak lebih dari titik di akhir kalimat ini, dapat tetap hidup di luar tubuh ketika ditumbuhkan pada medium yang tepat. Medium ini bisa berupa cairan atau berbentuk gel seperti agar-agar, yang mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan sel untuk tetap hidup seperti gula, garam, asam amino, dan vitamin. Sel-sel yang ditumbuhkan dalam medium ini disebut kultur sel.

Para peneliti dapat menumbuhkan virus liar berbahaya dalam kultur sel, kemudian melemahkannya (attenuated virus). Virus harus memperbanyak diri sampai jumlah tertentu sehingga baru dapat menyebabkan penyakit. Namun, ketika ditumbuhkan berulang-ulang di dalam kultur sel pada suhu di bawah temperatur normal tubuh, virus kehilangan kemampuannya untuk memperbanyak diri sehingga tidak lagi dapat menyebabkan penyakit. Meskipun demikian, virus tersebut masih tetap dapat dikenali oleh sistem imun tubuh dan dapat memicu produksi imunitas spesifik.

Sayangnya, tidak semua sel di tubuh manusia dapat membelah untuk memperbanyak diri terus-menerus sehingga dapat digunakan dalam skala produksi (ingat, kita bicara tentang jutaan dosis vaksin). Selain itu, sebagaimana yang telah diterangkan di atas, penggunaan sel manusia tidak dilakukan sembarangan sehingga miliaran dosis vaksin yang menggunakan sel diploid manusia dalam produksinya (semacam MR, MMR, varicella) sesungguhnya hanya berasal dari dua sumber sel saja.


Produksi vaksin menggunakan galur sel (dalam botol). Sel-sel ini merupakan turunan satu dari dua sumber sel yang berasal lebih dari 50 tahun yang lalu. Luar biasa, bukan? Produksi vaksin sangatlah steril. Oleh karena itu, pekerja menggunakan penutup maksimal supaya tidak mengontaminasi produk vaksin.

Pada pertengahan 1960-an, terjadi wabah besar rubella di Eropa dan Amerika Serikat. Infeksi rubella kepada perempuan yang sedang mengandung dapat menyebabkan congenital rubella syndrome (CRS) yang manifestasinya bisa berupa kelainan jantung, tuli, enchepalitis, kemunduran mental, hingga kerusakan janin. Saat itu, banyak perempuan yang kemudian menggugurkan janinnya secara sukarela setelah terinfeksi rubella, mengingat risiko berat CRS.  Salah satu dari janin yang digugurkan itulah yang merupakan sumber sel diploid manusia (galur sel) bernama WI-38 (https://www.atcc.org/products/all/CCL-75.aspx).

Sel WI-38 kemudian diperbanyak di dalam medium, terus-menerus membelah lebih dari jutaan kali, digunakan sejak lebih dari 50 tahun yang lalu, tidak hanya untuk produksi vaksin, tetapi juga untuk penelitian biomedis lainnya. Selain WI-38, hanya ada satu galur sel lain yang digunakan dalam pembuatan vaksin, yaitu MRC-5 (https://www.atcc.org/Products/All/CCL-171.aspx), yang diisolasi pada tahun 1966.

Sebagaimana tanah dan pupuk yang digunakan untuk menumbuhkan tomat tidak ikut serta ketika kita sedang makan, sel-sel dalam proses pembuatan vaksin pun tidak terdapat di dalam hasil akhir vaksin. Produksi vaksin melibatkan proses ultrapurifikasi, pembersihan di tingkat molekul, untuk memastikan hanya partikel virus atau antigen lain yang terambil. Vaksin adalah salah satu produk farmasi dengan pengujian kualitas tertinggi. Dengan demikian, apabila terjadi kontaminasi, satu gelombang produksi vaksin langsung dianggap tidak layak edar, yang kemudian menyebabkan kelangkaan vaksin pada beberapa waktu, karena proses produksi vaksin harus diulang dari awal, sejak “menanam” virus atau bakteri, hingga proses akhir yang membutuhkan waktu berbulan-bulan.

Tidak salah apabila vaksin disebut temuan terbesar abad ini, karena vaksin rubella saja sedikitnya telah mencegah 11 juta kematian dan 4,5 miliar kejadian penyakit akibat infeksi virus rubella. Oleh karena itu, sayangi diri dan orang di sekitar anda dengan melakukan vaksinasi.

Bahan bacaan:

Penulis:
Ajeng K. Pramono, mahasiswi S-3 Jurusan Biologi, Tokyo Institute of Technology, Jepang.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top