Perang Dunia I: Kabut Maut Senjata Kimia

Bagi teman-teman pembaca yang pernah menerima uraian sejarah tentang peperangan, tentu tidak asing lagi dengan Perang Dunia (PD) I yang terjadi pada tahun 1914-1918. Namun, apa kaitan antara perang yang menewaskan setidaknya 14 juta tentara ini dengan kita yang notabene peminat atau penggelut ilmu kimia? Mungkin saja di antara teman-teman pembaca menduga bahwa ilmu kimia berperan penting dalam perang besar di sekitaran benua Eropa ini.

Prajurit Jerman di tengah serangan gas pada Pertempuran Ypres, Belgia.
Prajurit Jerman di tengah serangan gas pada Pertempuran Ypres, Belgia.

Benar, ilmu kimia memang memegang peranan penting di dalam PD I. Untuk pertama kalinya di dalam sejarah peperangan, industri juga terlibat dalam proses peperangan dengan memproduksi obat-obatan dan persenjataan, seperti mesiu, dinamit, baju pelindung, dan gas beracun. Bahkan, gas beracun ini diberi predikat khusus sebagai senjata kimia. Selain itu, karena peristiwa PD I ini pula istilah “senjata kimia” digunakan sebagai rujukan mengenai gas beracun. Ketika teman-teman mengatakan kosa kata “senjata kimia”, orang mungkin otomatis berpikir, “Oh gas beracun, ya!” Begitu pula sebaliknya.

Rasanya tidak adil ya, menjadikan para anggota kelompok studi ilmu kimia terkesan sebagai “terdakwa” atas kekejaman di masa lalu? Namun, bila direnungkan lebih mendalam, ada makna bahwa ilmu kimia telah menjadi komponen utama di dalam perindustrian selama perang karena mampu menghasilkan senyawa produk akhir yang dapat digunakan langsung sebagai pemusnah, tanpa embel-embel sebagai sekadar pembuat bahan mentah belaka. Walau demikian, harus kita akui juga bahwa dengan ilmu kimia, manusia dapat menciptakan gas yang membentuk kabut maut bagi banyak orang.

Tunggu dulu! Apakah hal ini menyiratkan bahwa dahulu ada orang yang memicu pemakaian gas beracun sebagai senjata kimia? Memang ada! Orang itu bernama Fritz Haber, kimiawan ulung dari Kekaisaran Jerman (waktu itu), peraih anugerah Nobel tahun 1918 untuk bidang kimia. Ia mendapat anugerah tertinggi dalam sains atas jasanya menemukan proses sintesis NH3 (amonia) dari gas nitrogen dan hidrogen, yang sekarang kita kenal sebagai proses Haber-Bosch. Pada sekitar abad ke-18 dan 19, amonia sangatlah esensial bagi industri pupuk dan bahan-bahan baku (feedstocks).

Fritz Haber (hidup pada 9 Januari 1868 s.d. 29 Januari 1934) memelopori penggunaan gas klorin dalam PD I dengan dalih agar perang dapat segera diakhiri, mengingat para serdadu dari negara-negara yang bertikai terjebak di dalam parit-parit pertahanan yang minim kemajuan. Klorin, gas beracun pertama yang digunakan dalam perang, mulai digunakan ketika Pertempuran Ypres II, Belgia (22 April-25 Mei 1915) pecah. Selain memelopori penggunaan gas klorin, Haber juga mengembangkan gas beracun lain: fosgen dan mustard.

Anehnya, ketika selesai perang, pihak Sekutu menghapus nama Haber dari daftar penjahat perang. Padahal, gas-gas beracun tersebut tidak hanya digunakan oleh peserta perang di Eropa Barat, tetapi juga di Eropa Timur. Tidak ada catatan penggunaan senjata kimia di medan Timur-Tengah dan Asia.

Perlu teman-teman ketahui bahwa istri pertama Haber, Clara Immerwahr, bunuh diri karena depresi mengetahui perbuatan suaminya ini. Fritz Haber sendiri menyiratkan kegalauan dan dilemanya (dalam bahasa kekinian biasa disebut baper) antara sebagai warga negara yang setia atau ilmuwan dengan mengucapkan, “Seorang ilmuwan ialah kepunyaan dunia pada masa damai, tetapi ia milik negaranya saat peperangan terjadi.”

Fritz Haber (kiri) dan Clara Immerwahr (kanan).
Fritz Haber (kiri) dan Clara Immerwahr (kanan).

Lalu, gas beracun apa saja yang digunakan dalam PD I? Sebenarnya ada banyak gas beracun yang diaplikasikan sebagai senjata di dalam perang ini. Hanya saja, ada 4 senyawa yang paling banyak dikembangkan, seperti ditunjukkan pada tabel.

Ed63-kimia-3

Para serdadu dilengkapi dengan masker gas khusus. Alat ini memiliki tiga komponen penting: bubuk arang aktif (active charcoal) sebagai penyerap molekul-molekul senyawa beracun, basa kuat (NaOH atau Ca(OH)2) guna menetralisasi gas-gas beracun yang semuanya bersifat asam (ingat teori asam-basa!), dan oksidator seperti KMnO4. Hanya saja, kekacauan akibat perang membuat ketersediaan alat tersebut terganggu sehingga para prajurit harus membuat masker gas dengan seadanya. Bagaimana caranya? Para serdadu membasahi sapu tangan mereka dengan urin alias air seni mereka sendiri! Kandungan amonia hasil degradasi urea di dalam urin diharapkan mampu menetralkan gas-gas beracun agar udara yang lebih aman dihirup dapat diperoleh.

Akibat penggunaan senjata kimia dalam bentuk gas beracun ini, tercatat setidaknya 1,3 juta tentara menjadi korban dan 90 ribu di antaranya tewas, terhitung sejak kali pertama serangan gas dilancarkan hingga gencatan senjata pada tanggal 11 November 1918. Terdapat pula korban dari rakyat di sekitar medan pertempuran karena angin menghembuskan gas-gas beracun hingga tempat permukiman. Di sisi lain, warga sekitar tidak siap menghadapi serangan gas dan tentu tidak menduganya. Teman-teman bisa membayangkan sendiri penderitaan akibat serangan senjata kimia berdasarkan perincian dalam tabel di atas.

Karena memiliki potensi sebagai senjata pemusnah massal, pelarangan atas penggunaan senjata kimia resmi diberlakukan sejak Protokol Jenewa disepakati dan ditandatangani pada tahun 1925 oleh negara-negara yang terlibat dalam PD I. Akan tetapi, secara diam-diam Fritz Haber sampai ajalnya masih mengembangkan senjata kimia dan mengupayakannya di dalam kemungkinan peperangan selanjutnya.

Teman-teman pembaca sekalian, peristiwa yang kita diskusikan ini merupakan bahan renungan kita sebagai orang-orang yang mempelajari ilmu alam, khususnya kimia. Mau kita bawa ke mana ilmu dan pengetahuan yang kita miliki ini, membangun atau justru menghancurkan kita sendiri beserta dunia kita? Akan tetapi, hendaknya kita tidak terburu-buru menilai ilmu kimia sebagai ilmu untuk memusnahkan alam.

Sebaliknya, sisi negatif yang bisa jadi terkandung ilmu kimia dapat dikendalikan dan dipertanggungjawabkan dengan terus mempelajarinya secara tekun dan cermat. Dalam hal ini, Fritz Haber sebagai cendekiawan unggul memberikan contoh bagaimana seorang cerdas dapat memandang potensi baik dan buruk sekaligus dalam suatu ilmu. Semoga kita bisa berbuat lebih baik daripada apa yang dilakukan Haber.

Bahan bacaan:

Penulis:
Langit Cahya Adi, alumnus Departemen Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kontak: langit.cahyadi(at)gmail.com

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top