Tulisan ini merupakan kritik atas permasalahan pendidikan sains atau ilmu alam di Indonesia yang sering menjadi momok menakutkan bagi siswa di tingkat sekolah menengah bahkan mahasiswa di perguruan tinggi. Faktor utama yang sering menghambat kesuksesan proses pendidikan sains adalah penekanan dan pemahaman konsep yang lemah, kurangnya eksperimen, serta tidak tuntasnya materi.
Permasalahan pendidikan sains
Akar permasalahan tampaknya terletak pada standar operasi atau kurikulum pengajaran yang bersifat terlalu umum. Sistem tersebut terlanjur berharap banyak bahwa guru akan kreatif mengembangkan caranya sendiri dalam mengajar, padahal tidak semua guru juga dosen di Indonesia mampu meluangkan waktunya untuk menciptakan kegiatan belajar mengajar sains yang sesuai harapan.
Dalam hal ini, peran pemerintah maupun lembaga independen yang peduli pada pendidikan sains sangatlah diperlukan untuk membuat serta menetapkan standar operasi yang lebih lengkap, sistematis, dan mengarah pada pemecahan akar masalah pendidikan sains yang telah disebutkan. Sungguh aneh, kita dapat lihat sendiri betapa banyak siswa yang kini sering lari dari pelajarannya sekolah, tidak memperhatikan guru sekolahnya ketika belajar, dan mungkin lebih mengerti jika berada di tempat bimbingan belajar swasta, terutama untuk mata pelajaran killer seperti matematika, fisika, dan kimia.
Sungguh aneh pula, ketika Indonesia dianggap menjadi salah satu kekuatan utama dalam olimpiade sains internasional, lantas mengapa hanya proses pendidikan olimpiade yang dapat mencetak siswa-siswi yang lebih memahami konsep sains seperti itu? Kita justru tidak melihat ada di mana peran ribuan sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia untuk menghasilkan generasi yang kelak akan mengangkat derajat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang maju dan mandiri.
Kesan yang diperoleh dari fenomena tersebut adalah hanya sedikit insan pendidikan yang serius dalam kegiatan belajar mengajar. Misalnya untuk kasus bimbingan belajar, banyak guru yang baru serius mengajar jika sedang mengajar di bimbingan belajar, tetapi tidak di sekolahnya. Sebagai akibatnya, siswa pun akan mengekor melakukan hal serupa, tidak serius belajar di sekolah dan baru serius belajar di bimbingan belajar.
Untuk fenomena olimpiade sains, dapat dilihat bahwa sistem yang memadukan seluruh aspek positif dari kegiatan belajar mengajar disertai perencanaan fasilitas penunjang yang matang akan menghasilkan keluaran yang terbaik. Fenomena ini berlanjut pula pada tingkat perguruan tinggi. Mahasiswa cenderung akan sukses jika dibimbing oleh dosen atau profesor yang mampu mengelola sistem pendidikannya dengan baik, bukan pada dosen yang malas ataupun yang jenius tapi tidak pandai bergaul.
Jika diusut, tampaknya standar operasi atau kurikulum pendidikan di Indonesia memang cenderung terlalu terbuka. Maksud awalnya mungkin baik, yaitu membebaskan guru dan dosen untuk kreatif sesuai seleranya masing-masing. Yang jadi masalah, di Indonesia ini jumlah guru kreatif dan berkualitas sangatlah timpang dengan jumlah guru yang bersifat sebaliknya.
Dengan demikian, pemerintah maupun lembaga yang berwenang sebenarnya perlu untuk menetapkan standar operasi yang lebih lengkap, terpadu, realistis, dan menyentuh sisi yang lebih mendasar dari pendidikan sains, yaitu untuk membuat manusia memahami mekanisme kerja alam semesta dan menghargai setiap komponen yang berperan bagi keberlangsungan hidup.
Kalau mau disebutkan seluruh masalah pendidikan sains yang ada di Indonesia, rasanya tidak akan beres disebutkan sekalipun dalam ratusan makalah. Sebagai contoh, untuk masalah miskonsepsi siswa saja ternyata sudah sekitar tiga kali seminar internasional diselenggarakan di Cornell University, Amerika, dengan menampilkan 600 judul makalah yang bertolak dari penelitian maupun teori bagaimana membantu menghilangkan miskonsepsi sains pada siswa dan mahasiswa.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya akan disebutkan tiga macam saja faktor utama yang sering menghambat kesuksesan pendidikan sains di Indonesia, yaitu (1) penekanan dan pemahaman konsep yang lemah, (2) kurangnya eksperimen, dan (3) tidak tuntasnya materi. Ketiganya dapat teramati dengan mudah setelah proses pendidikan dalam periode tertentu selesai diselenggarakan, misalnya untuk satu semester atau caturwulan.
Pertama, tentang penekanan dan pemahaman konsep yang lemah. Faktor ini sering berakibat fatal pada kesalahan konsep (miskonsepsi) siswa dalam memahami fenomena fisis tertentu. Selain itu, lemahnya pemahaman konsep akan mengakibatkan siswa hanya sekadar hafal rumus tanpa tahu maksud ilmiah di balik rumus-rumus tersebut. Ini banyak terjadi pada tingkat SMP dan SMA, guru sering memulai pelajaran sains langsung dengan rumus tanpa memberikan pembukaan cerita konsep yang mudah dicerna.
Kalaupun ada yang menyampaikan konsep, masih banyak yang terlalu sering membeberkan analogi yang tidak tepat. Misalnya, guru mengajarkan listrik dimisalkan dengan aliran air sehingga siswa akhirnya menganggap aliran elektron selalu sama dengan aliran air dari potensial tinggi ke potensial rendah, dan kemudian mereka menggeneralisasi seluruh cara partikel mengalir pastilah seperti cara air mengalir, padahal tidak selalu begitu.
Kedua, tentang kurangnya eksperimen. Ini terutama disebabkan masalah klasik dari pendidikan di Indonesia, yaitu dana. Pemerintah memang masih menganggarkan dana yang cukup kecil untuk sektor pendidikan, tetapi kekurangan dana ini tidak bisa dijadikan alasan untuk membuat eksperimen alternatif yang murah biayanya dan mudah dibuat.
Eksperimen sangat diperlukan dan tidak bisa dipisahkan dari pendidikan sains karena dengan eksperimen inilah siswa bisa mengetahui aplikasi sains secara luas dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, yang paling penting adalah bagaimana paket eksperimen ini bisa terintegrasi secara baik dengan materi teoretis. Keseimbangan keduanya merupakan modal utama untuk memahami sains secara menyeluruh.
Ketiga, yaitu faktor tidak tuntasnya materi sebagai penghambat kesuksesan pendidikan sains. Kurikulum yang ada saat ini memang sangat memaksakan (memforsir) seluruh materi sains untuk masuk diajarkan, mulai dari SMP dan SMA, sehingga waktunya tidak memadai. Seharusnya ada bagian materi yang baru layak diajarkan ketika masa kuliah. Celakanya lagi, saat kuliah pun dosen seringkali tidak memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, seperti bolos dengan berbagai alasan, tanpa memberikan waktu tambahan untuk memberikan materi yang belum dibahas tuntas.
Pada tingkat kuliah, penilaian sering dilakukan hanya dengan sedikit ujian tanpa pemberian pekerjaan rumah untuk latihan lebih lanjut. Dosen sering menganggap bahwa materi yang tidak tuntas itu seharusnya dipelajari sendiri oleh mahasiswa, dengan alasan mahasiswa sudah dewasa dan harus bersikap mandiri. Idealnya memang begitu, tapi mengapa kita tidak meniru langkah beberapa universitas terkemuka di dunia yang tetap rutin memberikan tugas rumah disertai silabus yang lengkap, meski sudah jelas mahasiswa mereka jauh lebih mandiri dibandingkan mahasiswa di Indonesia.
Solusi integrasi multimedia
Untuk menangani tiga masalah utama ini, integrasi multimedia sangat diperlukan melalui pemanfaatan demonstrasi/eksperimen sains yang menarik, pemanfaatan situs web (website), kemudian buku teks utama, buku suplemen, catatan kuliah, pekerjaan rumah, dan proyek ilmiah. Sepintas terlihat sepele dan dapat dikatakan semua pendidik pun tahu tentang itu. Namun, justru karena saking standarnya, banyak yang melupakan aspek-aspek tersebut dan tidak memanfaatkannya secara optimal.
Untuk memudahkan, kita coba bagi membagi penggunaan multimedia tersebut berdasarkan tingkatan SMP, SMA, dan universitas.
Tingkat SMP
Pada tingkatan ini kemampuan penalaran siswa sedang dalam proses pertumbuhan awal. Sebaiknya materi sains lebih banyak dibawakan dalam tataran kualitatif. Kalaupun ingin memasukkan rumus, maka rumus yang diberikan cukuplah melibatkan hitungan aritmetika sederhana saja, yaitu dengan memberikan soal latihan yang bisa diselesaikan dalam satu langkah. Setidaknya dengan cara ini kepercayaan diri siswa dapat tumbuh bahwa dia mampu menyelesaikan masalah sains dengan mudah.
Setiap kegiatan belajar mengajar perlu dibuka dengan memberikan pertanyaan konseptual yang mengajak siswa berpikir kritis-ilmiah dan diakhiri dengan demonstrasi sains yang menjawab pertanyaan pembuka tersebut. Oleh karena itu, buku teks utama yang dijadikan sebagai referensi pengajaran haruslah buku yang sederhana dan menghindari ciri khas tebalnya buku teks. Namun, buku teks tersebut juga harus mencakup materi sains secara utuh dan tanpa kesalahan konsep.
Guru kemudian memberikan pekerjaan rumah dalam jumlah yang wajar untuk dikerjakan siswa SMP. Untuk buku suplemen, guru dapat menyarankan siswanya membaca buku-buku sains populer yang menghibur, tetapi hindari buku-buku science-fiction karena dapat membawa kesalahapahaman konsep. Upaya positif untuk mengembangkan buku suplemen misalnya pada beberapa komik sains yang belakangan bisa ditemukan di pasaran.
Penggunaan situs web belum terlalu penting untuk tingkat SMP ini karena siswa masih cenderung lebih senang bermain secara motorik di rumah atau sekolahnya sehingga desain kegiatan pendidikan pun perlu disesuaikan dengan perkembangan aspek tersebut. Kegiatan eksperimen sebaiknya dilakukan minimal 1 kali setiap 2 pekan. Eksperimen di sini berbeda dengan demonstrasi sains di kelas dalam hal adanya kegiatan pengukuran dan pengolahan data.
Siswa perlu dilatih mengembangkan metode ilmiah untuk menguji kebenaran sebuah teori melalui eksperimen, dan sebaliknya, untuk menyusun suatu teori dari fakta-fakta eksperimen. Untuk meringankan beban pembelian peralatan eksperimen, pembuat kurikulum perlu menyusun daftar eksperimen murah yang bisa dibuat sendiri oleh guru dan siswa.
Pada akhir periode tertentu (misalnya 1 semester), siswa kemudian melaporkan seluruh eksperimen yang telah dilakukannya dalam sebuah proyek ilmiah dan memberikan contoh aplikasi lain yang tidak lazim tetapi berhasil direalisasikan. Proyek ilmiah itu kemudian dapat dipamerkan pada kegiatan expo di sekolah. Dari segi alokasi waktu, semua komponen ini sangat mungkin untuk dioptimalkan karena jumlah jam belajar efektif mencapai 5 bulan (20 pekan), dengan setiap pekannya belajar sains selama total 3 kali 45 menit.
Tingkat SMA
Tidak berbeda jauh dengan tingkat SMP, pada tingkatan ini juga perlu dikembangkan semua komponen yang telah disebutkan sebelumnya. Secara khusus, siswa SMA dapat diberikan porsi kuantitatif (berhitung) yang lebih besar dibandingkan tingkat SMP sebagai persiapan menghadapi masa-masa kuliah yang akan lebih menantang. Oleh karena itu, pekerjaan rumah dapat dibagi menjadi dua, yaitu pekerjaan wajib yang mudah untuk diselesaikan dan pekerjaan tambahan yang lebih sulit untuk diselesaikan, tentunya bagi yang bisa menyelesaikannya akan diberikan penghargaan lebih dibanding siswa lain yang hanya menyelesaikan pekerjaan wajib.
Untuk buku teks, siswa SMA dapat diberikan buku setingkat mahasiswa tahun pertama, tetapi tanpa kalkulus. Tentunya, guru juga harus menyiapkan fondasi matematik yang cukup kuat bagi siswa. Dari segi alokasi waktu, tingkat SMA ini memungkinkan untuk penelaahan sains yang intensif karena waktu belajar setiap pekannya mencapai 5 kali 45 menit dengan jumlah pekan satu semester yang sama seperti SMP.
Komunitas guru sains dengan dibantu pemerintah juga seharusnya mampu mengembangkan situs sains khusus SMA secara nasional yang berisi seluruh materi standar SMA, baik segi teoretis maupun eksperimen. Situs tersebut dapat dilengkapi dengan forum diskusi untuk siswa dan guru sehingga ke depannya menunjang pembelajaran yang lebih efektif.
Komunitas kimia di Indonesia pernah memberikan contoh yang baik dengan situsnya chem-is-try.org. Sayangnya, belakangan situs tersebut tidak terurus dengan baik. Kita juga dapat menemukan beberapa situs komunitas guru sains internasional. Untuk pelajaran fisika, situs yang sangat menarik dan lengkap untuk menunjang pembelajaran SMA adalah situs demo fisika dan kumpulan pertanyaan menantang dari University of Maryland. Situs-situs seperti itu seharusnya dapat kita kembangkan sehingga kegiatan belajar mengajar sepanjang tingkat menengah ini bisa berlangsung lebih ceria, namun tetap efektif.
Tingkat Universitas
Di tingkat perguruan tinggi, jadwal kuliah cenderung tidak teratur dan merepotkan mahasiswa (juga dosen). Namun, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tetap menyusun silabus materi yang lengkap dan sistematis. Seringnya ketiadaan silabus ini yang terutama menjadi masalah tidak tuntasnya berbagai mata kuliah di perguruan tinggi. Banyak dosen yang baru menyiapkan materi sesaat sebelum kuliah dimulai, padahal seharusnya mereka sudah menyusun silabus sebelum awal semester.
Lebih naas lagi, banyak kelas paralel yang tidak mendapatkan materi secara merata, ada kelas yang bisa tuntas materinya dengan kualitas pengajaran yang tinggi, tetapi ada pula kelas yang diajar seadanya oleh sang dosen. Untuk kasus kelas paralel, tim dosen mata kuliah yang paralel itu perlu sering berkumpul bersama dalam menyamakan materi. Sebagai tambahan, jurusan sains setiap universitas secara lokal pun perlu membuat situs khusus untuk setiap mata kuliah sehingga mahasiswa dapat mengakses tanpa perlu selalu berkonsultasi dengan dosen yang, misalnya, sering sibuk. Beberapa situs yang dapat dikatakan sangat sempurna untuk contoh ini adalah OpenCourseWare dari MIT, Coursera, dan EdX.
Selain hal-hal standar yang telah disebutkan, kegiatan eksperimen sains pada perguruan tinggi di Indonesia sudah saatnya diintegrasikan dengan kuliah teoretis, bukan hanya suatu kuliah terpisah seperti paket kuliah eksperimen sains yang selama ini diselenggarakan di beberapa universitas. Misalnya, untuk jurusan fisika, akan lebih baik jika kuliah Mekanika, Listrik Magnet, Sains Modern, dan beberapa kuliah lainnya yang tidak murni teoretis untuk dibuatkan eksperimen yang tercakup SKS-nya bersama SKS mata kuliah tersebut.
Dengan demikian, mahasiswa akan mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang teori dan eksperimen sains dari mata kuliah tersebut, tidak tersekat oleh ruang dan waktu dari mata kuliah khusus eksperimen. Ini terutama diperlukan untuk kuliah-kuliah dasar yang belum memasuki spesialisasi atau keahlian peneliti eksperimen atau peneliti teori.
Penutup
Untuk menunjang proses pendidikan sains yang efektif, yaitu dalam rangka mencetak generasi ilmuwan dan pendidik sains yang berkualitas di masa yang akan datang, tentu sangat perlu dikembangkan berbagai komponen media pendidikan secara terintegrasi. Keseriusan pengembangan setiap komponen pendidikan sangat diperlukan karena ada cukup banyak bagian yang harus ditangani. Namun, solusi integrasi multimedia yang disebutkan dalam tulisan ini bersifat sangat sederhana dan telah dikenal banyak orang sehingga seharusnya kita mampu mewujudkannya.
Mungkin permasalahan yang tersisa adalah kemauan kita untuk berubah jadi lebih baik dan sesegera mungkin menyingkirkan mental birokratis yang selama ini banyak menghambat. Tentunya tulisan ini sekadar kritik dan konsep belaka, tetapi mudah-mudahan dapat menjadi masukan yang berharga bagi kita semua.
Bahan bacaan:
- Suparno, Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Pendidikan Fisika, Penerbit Grasindo Jakarta, 2005.
- Standar Kompetensi Kurikulum 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- http://www.chem-is-try.org
- http://www.physics.umd.edu/lecdem/
- http://ocw.mit.edu
- http://coursera.org
- http://edx.org
Penulis:
Ahmad Ridwan T. Nugraha, peneliti fisika, alumnus Institut Teknologi Bandung dan Tohoku University.
Kontak: art.nugraha(at)gmail(dot)com.