Pendidikan Karakter: Berkaca dari Jepang

Para penggagas kebijakan pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini gencar menggaungkan pendidikan karakter sebagai penawar masalah pendidikan kita yang dinilai telah salah arah. Dengan memprioritaskan pendidikan karakter, mereka beharap komunitas pendidik dan masyarakat akan menggali sisi afektif siswa, dan pendidikan tidak melulu ditekankan pada sisi kognitif untuk mengejar nilai semata. Dengan lebih memperhatikan karakter, diharapkan sekolah bisa menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia, cerdas, dan kreatif.

Ketika gempa besar menghantam bagian timur laut Jepang, dunia dibuat kagum dengan kekuatan mental masyarakat Jepang. Mereka menempatkan kepentingan umum dan keselamatan bersama jauh di atas kepentingan pribadi. Kita juga sering mendengar tentang tertibnya budaya antre mereka, kisah dompet hilang yang selalu kembali, dan hal semacamnya. Karakter mental dan kepribadian masyarakat Jepang itu tentu bukan datang begitu saja. Pendidikan dan sekolah memiliki peran besar di dalamnya, berjalan dinamis dengan tradisi dan nilai-nilai yang ditanamkan keluarga.

Pembinaan karakter merupakan salah satu pilar utama pendidikan yang dilakukan sejak dini di Jepang. Hoikuen atau setingkat penitipan anak merupakan yurisdiksi Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Jepang, sedangkan yochien atau TK, diawasi oleh Kementrian Pendidikan Jepang. Meski dilaksanakan oleh kementerian yang berbeda, aktivitas di dua jenis sekolah ini sama-sama ditekankan pada pengembangan kecerdasan sosial dan emosional, serta keseimbangan tubuh dan daya pikir.

Siswa TK di Hiroshima merapikan alas bermain tanpa instruksi ataupun bantuan guru.
Siswa TK di Hiroshima merapikan alas bermain tanpa instruksi ataupun bantuan guru.

Bersama dengan sekolah, keluarga merupakan faktor utama pengembangan karakter di Jepang. Kerja sama dan komunikasi antara pihak keluarga dan sekolah dilakukan sangat intensif melalui buku sekolah, surat elektronik, atau telepon. Penulis berkesempatan mengikuti upacara hari pertama di salah satu TK di Hiroshima. Upacara berjalan khidmat dan sederhana namun sangat berkesan. Para orangtua mengenakan pakaian terbaiknya, dan mayoritas kedua orangtua datang bersama-sama.

Meski orang Jepang terkenal sangat sibuk, mereka merasa “wajib” menghadiri upacara hari pertama sekolah putra-putri mereka. Hal ini menunjukkan perhatian orangtua terhadap pendidikan anak-anaknya serta komitmen mereka terhadap budaya sekolah. Dari sinilah kerjasama, komunikasi serta harmoni antara sekolah dan keluarga demi pendidikan anak mulai terbangun.

Para orang tua berfoto bersama dengan kepala sekolah dan guru-guru di hari pertama masuk TK.
Para orang tua berfoto bersama dengan kepala sekolah dan guru-guru di hari pertama masuk TK.

Di TK, anak-anak menghabiskan waktu dengan beragam permainan yang ditujukan untuk menumbuhkan kepekaan sosial serta semangat kebersamaan, karakter yang kemudian kita lihat melekat pada bangsa Jepang. Guru-guru maupun siswa TK sering memperdengarkan yel-yel seperti ‘tomodachi ni naro’ (mari berteman), ‘saigo made gambaru’ (berusaha sampai selesai), atau ‘kokoro kara otagai o tasukete mimashou’ (mari saling menolong dengan tulus).

Seluruh aktivitas sekolah selalu dilakukan dengan semangat kebersamaan (tomodachi, shinsetsu, nakayoku), semangat kerja keras (gambaru), antusiasme (genki), dan tanggung jawab (jibun no koto o jibun de suru). Pada akhir pendidikan TK, ketika anak harus memberikan kesan singkat seusai menerima diploma, banyak dari mereka, bahkan hampir semuanya, akan berbicara tentang gambaru, tomodachi, dan jibun no koto o jibun de suru tersebut. Proses internalisasi hasil pendidikan karakter terlihat sangat jelas.

Seorang wisudawan TK menyampaikan kesannya di hadapan banyak tamu undangan.
Seorang wisudawan TK menyampaikan kesannya di hadapan banyak tamu undangan.

Pendidikan karakter tidak bisa sekadar digaungkan di tengah kondisi masyarakat yang seolah sedang hidup di ruang kedap suara. Perlu kesepakatan bersama mengenai pentingnya pendidikan karakter sebelum langkah konkret dapat dilakukan. Memperhatikan dan membina karakter para pendidiknya juga merupakan langkah awal yang tidak dapat diabaikan. Langkah selanjutnya adalah keseriusan membenahi sistem pendidikan.

Sistem pendidikan sekarang, yang memaksa sekolah mengejar angka semu melalui jalan pintas dengan mengabaikan proses pembinaan karakter siswa, perlu kita renungkan kembali. Jika pendidikan karakter benar-benar menjadi titik penting pendidikan bangsa, kita tak perlu lagi takut diusir warga sekampung hanya karena menolak praktik menyontek massal.

Bahan bacaan:

  • National Guidelines for Preschool Education (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jepang, MEXT).
  • C. C. Lewis, Educating Hearts and Minds: Reflections on Japanese Preschool and Elementary Education, Cambridge University Press (1995).

Penulis:
Dian Harnita, menyelesaikan program magister di Graduate School of Education, Hiroshima University, Jepang. Saat ini mengajar di SMPN 2 Jatinangor. Kontak: luvlydheeann22(at)yahoo(dot)com.

Back To Top