Menjadi Guru Idola

Bagaimana seorang pendidik bisa dikatakan sebagai pendidik yang baik, bahkan idola bagi siswanya? Apa karakter dan kriteria yang harus dimiliki pendidik yang baik? Untuk menemukan jawabannya, penulis sebagai calon pendidik mencoba menulis artikel ringan ini. Hitung-hitung sebagai selingan artikel pendidikan yang kebanyakan berfokus pada teori dengan pembahasan yang “berat”. Ide artikel ini mengacu pada pengalaman pribadi ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Bukankah sebenarnya para siswa yang tahu bagaimana guru yang mampu membuat mereka mudah paham dan menyenangi proses pembelajaran?

Untuk setiap orang yang pernah mengenyam proses pendidikan, baik itu formal, informal ataupun nonformal, tentunya pembimbing dan pengajar yang disebut dengan guru pernah hadir di tengah kehidupannya. Tidak dapat dipungkiri, dalam proses tersebut seorang siswa acap kali memberikan gelar “guru favorit” atau “guru idola” kepada satu-dua orang guru meskipun sikap ini seolah-olah seperti memberi kasta tertentu pada para guru. Namun, hal itu bisa saja terjadi dikarenakan guru tersebut mempunyai cara mendidik yang menarik dan unik, sikap yang baik, atau bahkan bisa dijadikan teladan oleh si murid.

Penulis sendiri menjadikan dua orang guru yang mengampu pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar sebagai guru idola dengan sebab betapa apiknya beliau berdua mengemas pelajaran yang notabene sering dianggap sulit oleh kebanyakan murid menjadi program unik dan disenangi oleh siswa pada masa itu. Beliau adalah Bu Endah dan Bapak Syahrial. Keduanya membuat penulis tergila-gila pada mata pelajaran bahasa Inggris sampai kala itu sempat terbesit pikiran untuk mengikuti jejak mereka menjadi seorang guru bahasa Inggris dengan teknik mengajar yang menarik bagi anak sekolah dasar.

Di sebuah sekolah dasar di Cimahi, tepatnya SDN Cempaka, adalah kali pertama saya bertemu dan diajar oleh Ibu Endah. Saya ingat sekali beliau selalu memakai setelan simpel tetapi elegan, serta sopan yang tetap memberi kesan bahwa beliau adalah seorang pengajar profesional. Sifatnya yang baik hati, humoris, tetapi tegas jika diperlukan, menjadi salah satu yang akan coba penulis terapkan jika menjadi seorang pendidik di masa yang akan datang.

Momen sikap tegas beliau ditampakkan adalah saat suasana kelas kami tidak kondusif. Kalau tidak salah ingat, penulis dan teman-teman saat itu duduk di sekitar kelas dua atau kelas tiga. Sebuah hal yang wajar jika kadang anak-anak sekolah dasar membuat keributan di kelas, bahkan bisa jadi itu menjadi kebiasaan yang paling sering dilakukan siswa ketika bosan dengan suatu pelajaran. Namun, sepertinya kebisingan kelas kami saat itu melewati ambang batas sabar Bu Endah, sehingga beliau harus meninggikan intonasi suaranya saat menegur kami.

Tak butuh waktu lama, siswa di kelas langsung terdiam dan secara otomatis menunduk berpura-pura membaca buku paket bahasa Inggris yang sejatinya sudah berada di depan pandangan kami sejak awal pelajaran dimulai. Memang sebuah momen yang menggelitik jika harus kembali diingat oleh penulis dan mungkin juga teman sekelas yang lain.

Bu Endah sering kali menggunakan games atau permainan dan sing a song atau bernyanyi dalam proses pembelajarannya sehingga murid-murid tidak merasa bosan. Bagi penulis, metode bernyanyi sangat efektif jika digunakan dalam mata pelajaran bahasa Inggris, terutama untuk mengingat banyak kosa kata baru. Itulah yang membuat penulis terkesan dengan Bu Endah sehingga metode bernyanyi tersebut masih penulis gunakan untuk menghafal kosa kata.

Lain hal dengan Pak Yal, begitu Pak Syafrial biasa disapa. Beliau mempunyai metode pembelajaran semacam metode read aloud atau membaca lantang, yang membuat setiap siswanya mendapat kesempatan untuk berbicara dalam bahasa Inggris dan melatih pengucapan kata bahasa Inggris. Penulis diajar oleh Pak Yal ketika duduk di kelas lima sebuah sekolah yang menjadi sekolah dasar kedua penulis, yakni saat pindah ke Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Suara Pak Yal yang lantang dan cara mengajarnya yang merata, baik terhadap siswa dengan kemampuan memahami cepat atau lebih lambat, membuat beliau disukai para murid. Nyatanya, adalah hal yang sangat jarang kala itu di daerah saya yang termasuk desa, untuk mempelajari bahasa Inggris di sekolah dasar, apalagi dengan guru yang menyenangkan seperti Pak Yal. Maka, pelajaran baasa Inggris menjadi salah satu pelajaran favorit bagi sebagian siswa di kelas saya. Namun, sangat disayangkan hanya sebentar kami merasakan asyiknya belajar dengan beliau disebabkan beliau harus pindah tugas. Setelah itu, kami tidak pernah belajar bahasa Inggris lagi, entah karena kebijakan kurikulum atau kebijakan dari sekolah pada masa itu.

Sesungguhnya setiap guru yang pernah mendidik dan membimbing penulis adalah idola penulis, karena tanpa beliau semua mungkin penulis takkan bisa menapakkan kaki di perguruan tinggi. Namun, alasan penulis menjabarkan sedikit kenangan tentang Bu Endah dan Pak Syahrial dikarenakan berkat merekalah penulis tidak pernah membenci pelajaran bahasa Inggris dan selalu ingin mempelajari bahasa asing lainnya.

Karakter yang mereka miliki seperti tegas, tetapi menyenangkan, kreatif, dan tidak pilih kasih menjadi karakter yang sebaiknya dimiliki oleh setiap pendidik beriringan dengan karakter lainnya. Dengan karakter tersebut, siswa bisa merasakan nikmatnya belajar meskipun belum paham. Cepat atau lambat, kecintaan belajar akan menumbuhkan rasa ingin tahu dan tidak mudah menyerah dalam proses pembelajaran sehingga akhirnya ia menjadi paham.

Bagaimana dengan teman-teman, seperti apakah kriteria guru yang baik dan membuat kalian menyukai proses belajar? Apakah seperti Bu Endah dan Pak Yal, atau seperti yang disampaikan anak-anak dari seluruh dunia di laman UNICEF (https://www.unicef.org/teachers/teacher/teacher.htm)? Apapun itu, semoga negara ini selalu membuat nama guru-guru terkenang di benak siswanya, seperti saya mengenang guru idola pada masa sekolah dulu.

 

Catatan:

Artikel ini merupakan adaptasi dari esai penulis dalam tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan dan Bimbingan.

 

Bahan bacaan:

 

Penulis:

Afifah Rizqika Alfiandri, Mahasiswi Prodi Pendidikan Masyarakat, Universitas Pendidikan Indonesia.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top