Fields Medal 2018: Scholze Si Matematikawan Muda yang Brilian

Pada tahun 2010 seorang mahasiswa pascasarjana membuat suatu makalah matematika yang membuat Prof. Jared Weinstein, ahli teori bilangan dari Boston University, terkagum-kagum. Mahasiswa ini telah menurunkan ulang teori bilangan Harris Taylor yang aslinya dibukukan ke dalam 288 halaman menjadi hanya 37 halaman. Peter Scholze, sang mahasiswa itu, telah menyelesaikan suatu permasalahan matematika yang menghubungkan teori bilangan dengan geometri dengan pendekatan lebih sederhana. Usianya saat itu masih 22 tahun. “It was just so stunning for someone so young to have done something so revolutionary,” kata Weinstein.

Scholze segera diangkat menjadi profesor matematika di Universitas Bonn dua tahun kemudian. Namanya semakin dikenal dunia setelah ia memenangkan penghargaan tertinggi untuk matematika, Fields Medal 2018, bersama Caucher Birkar, Alessio Figalli, dan Akshay Venkatesh. Usianya masih 30 tahun ketika menerima penghargaan ini. Scholze diberikan penghargaan dengan alasan telah menemukan sebuah kelas struktur fraktal yang disebut ruang perfectoid yang menjembatani teori bilangan dan geometri.

Pada usia 14 tahun, Scholze mempelajari matematika level universitas secara mandiri di Heinrich Hertz Gymnasium, sebuah SMA di Berlin yang fokus pada sains dan matematika. Di SMA tersebut, orang yang memiliki minat pada matematika tidak akan dianggap aneh dan nerd. Pada usia 16 tahun, Scholze mempelajari teorema terakhir Fermat yang merupakan permasalahan di abad ke-17. Persamaan ini menyatakan bahwa untuk x, y, dan z bilangan bulat, persamaan xn + yn = zn tidak memiliki solusi tak nol. Pembuktiannya baru ditemukan oleh Andrew Wiles pada tahun 1993.

Mempelajari bagaimana cara membuktikan teorema Fermat telah membuat Scholze sangat antusias pada mister-misteri matematika. Walaupun permasalahan yang diangkat sangat sederhana, untuk membuktikannya memerlukan teknik matematika yang tinggi. “I understood nothing, but it was really fascinating,” katanya.

Scholze biasanya mengerjakan suatu masalah secara terbalik, mencari tahu apa saja yang dibutuhkannya supaya pembuktian tersebut dapat dimengertinya. Itulah teknik yang sampai saat ini dipakainya. Dia suka belajar sendiri. Dia tidak belajar hal-hal mendasar di kelas seperti soal aljabar linear dari awal. Dia dapat memahami aljabar linear karena berurusan dengan masalah yang membutuhkan teknik tersebut. Jadi, secara otomatis ilmu aljabar linear terasimilasi ketika ia mengerjakan permasalahan yang sedang ditekuninya.

Saat Scholze mempelajari pembuktian teorema tersebut, banyak objek matematika seperti struktur modular dan kurva eliptik yang secara misterius menghubungkan dua ilmu matematika yang tampaknya tidak saling terkait seperti teori bilangan, aljabar, geometri, dan analisis. Aktivitas ini membuat Scholze tercengang pada keindahan berbagai objek matematika. Mempelajari objek matematika itu pada akhirnya tampak lebih menarik daripada menyelesaikan masalah itu sendiri.

Setelah lulus SMA, Scholze mengikuti minatnya untuk mempelajari teori bilangan dan geometri di Universitas Bonn. Di kelas, Hellmann, temannya, bercerita bahwa Scholze tidak pernah mencatat selama pelajaran. Scholze dapat memahami pelajaran secara langsung dengan tingkat penguasaan yang dalam sehingga dia tidak akan lupa.

Scholze memulai riset di bidang geometri aritmetik yang menggunakan teknik geometri untuk memahami solusi bilangan bulat terhadap persamaan polinomial seperti xy2 + 3y = 5. Untuk menyelesaikan permasalahan ini biasanya digunakan sistem bilangan yang disebut bilangan p-adic, yaitu bilangan seperti bilangan riil yang mengisi celah antara dua bilangan bulat dengan pecahan. Akan tetapi, sistem bilangan ini memiliki basis yang tidak standar terhadap posisi celah dan seberapa dekat kedua bilangan bulat tersebut. Di dalam sistem bilangan  p-adic dua bilangan dinyatakan dekat bila “beda” di antara kedua bilangan bernilai kecil, tetapi “beda” tersebut haruslah dapat dibagi berkali-kali oleh bilangan prima p.

Kriteria tersebut sangat aneh tetapi bermanfaat. Misalnya, sistem bilangan 3-adic dapat digunakan untuk mempelajari persamaan seperti x2 = 3y2. Dengan sistem bilangan p-adic, dia kemudian membuat struktur ruang perfectoid untuk struktur matematika yang berbeda. Ruang perfectoid ini dapat menggeser masalah polinomial dari dunia p-adic ke dalam dunia matematika yang lain seperti aritmetika yang lebih sederhana.

Tulisan ini merupakan saduran bebas dari Quanta Magazine
https://www.quantamagazine.org/peter-scholze-and-the-future-of-arithmetic-geometry-20160628/

Penulis:
Eddwi Hesky Hasdeo, Peneliti di Pusat Penelitian Fisika LIPI. Kontak: heskyzone(at)gmail(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top