Penulis berasal dari keluarga petani padi. Sejak zaman kakek buyut penulis, kami bertanam padi. Pada masa tersebut, bisnis bertani padi masih sangat menguntungkan. Namun sekarang, bisnis ini lebih terasa sebagai beban yang membuat jalan hidup jadi terseok-seok. Salah satu penyebab loyonya bisnis pertanian adalah harga pupuk yang semakin mencekik.
Koran Kompas pada 7 September 2009 memuat pernyataan Sekretaris Menneg BUMN Said Didu bahwa jika subsidi pupuk tidak dinaikkan pada APBN 2010, harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi pada tahun 2010 bisa melonjak hingga delapan puluh persen. Angka ini menunjukkan bahwa kenaikan terjadi hampir dua kali lipat dibanding sebelumnya. Mengapa kita jadi begitu bergantung pada pupuk? Berabad-abad yang lalu sebelum ada pupuk sintetik, bagaimana mekanisme tanah menjaga keseimbangan kandungan nutrisinya?
Pada tahun 2008, majalah National Geographic pernah mempublikasikan sebuah hasil survei yang sangat mengerikan, yaitu kenyataan bahwa rata-rata ketebalan lapisan tanah subur di seluruh dunia sekarang tinggal sekitar 20-30 cm. Berabad-abad pemerkosaan bumi dilakukan oleh manusia atas nama peradaban. Hal ini telah menyusutkan kedalaman lapisan tanah subur dari yang tadinya rata-rata 2 meter, menjadi ‘the negligible 20 cm’.
Masih dari Majalah National Geographic, diberitakan bahwa para peneliti di International Soil Reference and Information Center (ISRIC) yang berkantor di Belanda menyatakan bahwa pada akhir abad ke-20 yang baru saja kita lewati, umat manusia telah merusak 7,5 juta mil persegi dari tanah yang tadinya merupakan lahan-lahan pertanian kaya. Seberapakah 7,5 juta mil persegi itu? Luas itu kira-kira sama luasnya dengan separuh benua Amerika. Kerusakan ini terus meluas dari tahun ke tahun. Erosi, tanah longsor, pengerasan, polusi, dan sebagainya, membuat bumi tak bisa lagi memberikan makanan yang cukup bagi tanaman.
Di sisi lain, jumlah manusia yang harus ditopang oleh kesuburan bumi semakin banyak. Menurut estimasi FAO, pada tahun 2030 akan ada 8.3 miliar manusia yang ‘keluyuran’ di muka bumi ini. Seorang pakar geologi dari Universitas Washington di Seattle, Dr. David R. Montgomery menandaskan, “Kita mulai kehabisan tanah”. Tanah adalah sumber daya alam yang paling mendasar. Jika kita ‘kehabisan tanah’, uang yang berlimpah pun tidak akan bisa ‘membeli’ tanah. Berita baiknya adalah, tanah yang sudah rusak itu bisa direstorasi. Jadi, sebelum berpikir untuk investasi beli tanah di bulan atau planet-planet tetangga, sebaiknya mulai dipikirkan dahulu upaya-upaya restorasi tanah-tanah yang rusak itu dulu saja.
Sebenarnya bumi ini diciptakan sudah sepaket dengan berbagai ‘gadget‘-nya untuk menjaga kesetimbangan. Misalnya, hal itu dapat terlihat pada permasalahan tanah ini. Tanah adalah semacam makelar, yang menghubungkan benda mati dan benda hidup. Benda matinya adalah unsur-unsur seperti karbon, oksigen, hidrogen, nitrogen, dan sebagainya, sementara benda hidupnya, terutama yang langsung bersinggungan dengannya, adalah tanaman. Sebagai makelar, bagaimana caranya tanah ‘kulakan’ unsur-unsur mati tadi? Ternyata ada mekanisme yang juga sudah built-in di dalam tanah (segala puji hanya untuk Tuhan Sang Maha Pencipta), yang dijalankan oleh suatu populasi mikroorganisme. Jika diibaratkan tanah sebagai dapur, para makhluk mikro ini adalah koki-kokinya.
Mari kita ambil contoh nitrogen. Nitrogen adalah unsur yang paling diperlukan tanaman untuk hidup, tumbuh, berkembang biak, dan tentunya setor panenan kepada yang mulia umat manusia. Nitrogen kan buanyaaaak sekali di bumi ini ya? Kurang lebih 79% atmosfer bumi berisi nitrogen. Lha mbok situ tinggal ambil, gratis. Jadi bagaimana ini, nitrogen melimpah tapi kok sampai perlu dibuat ‘pupuk nitrogen’ segala? Hal inilah yang jadi sumber masalah yang disebutkan tadi.
Ternyata, kebanyakan makhluk hidup, termasuk tanaman, hanya bisa memanfaatkan nitrogen yang berbentuk ion amonium ($latex {\rm NH}_4^+$). Sementara itu, nitrogen yang gratisan tadi berbentuk $latex {\rm N}_2$ atau gas nitrogen. Oleh karena itu, walaupun jumlahnya melimpah ruah, $latex {\rm N}_2$ ini tidak bisa langsung bermanfaat. Dia harus diubah dulu menjadi $latex {\rm NH}_4^+$. Nah, pabrik-pabrik pupuk yang membuat urea, ZA, dan lain-lain pada dasarnya memproduksi ion-ion amonium, dari berbagai sumber.
Lantas sebelum zaman revolusi industri, siapa yang bertugas mengubah $latex {\rm N}_2$ menjadi $latex {\rm NH}_4^+$ untuk keperluan pertanian? Sudah pasti jawabannya adalah para makhluk mikro yang sudah diberi mandat khusus untuk itu (karena tidak semua makhluk mikro mampu menjalankan tugas mulia ini). Konversi $latex {\rm N}_2$ menjadi $latex {\rm NH}_4^+$ berkat jasa para makhluk mikro ini disebut biological nitrogen fixation (fiksasi nitrogen secara biologis).
Proses fiksasi nitrogen adalah proses yang berat, perlu energi besar. Oleh karena itu, ketika manusia mulai harus memproduksi makanan dalam skala besar untuk melayani jumlah populasi yang semakin gila-gilaan, manusia jadi tidak sabar menunggu teman-teman mikro ‘nitrogen fixer’ yang kerjanya alon-alon kelakon (pelan-pelan tapi tercapai) ini. Jadilah kreativitas manusia, yang seringkali dibumbui oleh bumbu lezat keserakahan dan ambisi, melahirkan apa yang sekarang kita kenal sebagai ‘pupuk sintetis’ itu.
Teman-teman kecil kita yang sedang asyik melakukan fitrahnya memfiksasi nitrogen itu pun kaget setengah mati sewaktu tiba-tiba mereka menyadari bahwa lingkungannya sudah sangat kaya dengan ion amonium. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa yang namanya manusia itu memang jauh lebih pintar daripada mereka. Penulis berbicara serius mengenai hal ini.
Telah terbukti secara ilmiah, bahwa teman-teman kecil kita ini punya sensor untuk bisa merasakan berapa kadar ion amonium di lingkungan mereka. Teman-teman kecil kita melakukan sensoring untuk memutuskan seberapa ion amonium yang harus mereka produksi untuk menjaga kondisi ‘setimbang’, yang set point-nya sudah diberikan dalam manual dari Tuhan untuk mereka. Mereka tidak mengira bahwa ‘set point’ dari manusia jauh lebih tinggi daripada ‘set point’ di buku manual mereka. Jadi mereka merasa geer bahwa mereka sudah memproduksi cukup ion amonium dan ‘berpikir’, “wah, bisa cuti panjang nih gue”.
Begitulah, teman-teman kecil kita tidak lagi bekerja memfiksasi nitrogen dari atmosfer. Mereka cuma santai-santai main gapleh. Saking lamanya mereka tidak pernah memfiksasi nitrogen dan sibuk bersenang-senang saja, akhirnya buku manual cara memfiksasi nitrogen pun hilang. Mereka lupa caranya. Mereka kehilangan fungsi istimewanya. Kitalah, umat manusia, yang telah mengebiri keistimewaan para nitrogen fixer ini.
Pupuk sintetis yang kita lempar ke ladang dan sawah kita itu, tidak semuanya dapat diserap oleh tanaman. Sebuah makalah yang dimuat dalam Soil Science Society of America Journal di tahun 1986 tentang ‘kehilangan’ nitrogen dari pupuk yang diaplikasikan di permukaan tanah menyebutkan bahwa sesaat (berkisar antara 24-50 jam) setelah pupuk nitrogen (terutama urea) ditebarkan, maka sebagian besar ion amonium akan berubah menjadi gas yang disebut ammonia dan segera lepas ke udara sebelum sempat diserap oleh tanaman. Kira-kira 30% dari jumlah pupuk yang diaplikasikan akan hilang sia-sia sebagai ammonia yang lepas ke udara. Ini belum semuanya karena di lahan sawah basah ada kehilangan-kehilangan lain, misalnya ‘larut’ ke air tanah.
Secara kasar, kira-kira hanya 50% dari total jumlah pupuk yang diaplikasikan bisa betul-betul diserap oleh tanaman. Oleh karena itu, sudah menjadi praktik umum bahwa aplikasi pupuk sintetis kira-kira dua kali lipat dari jumlah yang sebetulnya diperlukan oleh tanaman. Banyak petani yang karena tidak mau ambil resiko, mengaplikasikan lebih banyak dari jumlah dua kali lipat itu. Singkatnya, efisiensi penggunaan pupuk sintetis sangat rendah.
Tanah, karena kotor, gelap, jelek, dan berada di bawah telapak kaki kita, sering kita lupakan keberadaannya. Padahal mengabaikan tanah adalah bunuh diri pelan-pelan karena semua kehidupan bersumber dari situ.
Penulis:
Wiratni, dosen Teknik Kimia UGM Yogyakarta. Beliau menyelesaikan studi doktor dan postdoc pertamanya di West Virginia University, kemudian postdoc keduanya tentang peruraian anaerobik di Biological and Environmental Engineering Department, Cornell University, Amerika Serikat. Kontak: wiratni (at)yahoo(dot)com.