Belajar dari Jepang: Matsuri

Ketika mendengar kata Jepang, apa yang biasanya terlintas dalam benak kita? Sebagian besar orang akan menjawab teknologi, sepeda motor, sushi, kimono, atau komik. Semua benar karena memang banyak produk buatan Jepang yang beredar di Indonesia. Namun, di atas semua itu, pernahkah terbersit keingintahuan tentang budaya Jepang saat ini? Kita sering mendengar bahwa Jepang adalah bangsa yang berbudaya dan berdisiplin tinggi sehingga bisa maju pesat seperti sekarang ini. Namun, apakah hal tersebut benar adanya dan terpelihara hingga sekarang?

Dalam tulisan ini akan diceritakan tentang terpeliharanya budaya Jepang yang dilihat sehari-hari selama penulis tinggal di Jepang. Budaya yang mengakar kuat pada diri setiap warga Jepang sebagai hasil kualitas tinggi pendidikan mereka yang dipupuk sejak kecil. Sebagai contoh spesifik, aspek budaya yang akan dibicarakan di sini adalah matsuri, yang dapat diterjemahkan menjadi festival. Ketika pertama kali mengunjungi Jepang beberapa tahun lalu, penulis merasa penasaran dengan semaraknya festival yang ada saat itu. Ketika akhirnya tinggal lebih lama lagi, penulis semakin takjub dengan beragamnya festival yang ada. Sekilas semua festival tersebut tampak sama tetapi jika dicermati lebih dekat, ternyata sangat bervariasi.

Matsuri yang beragam

Matsuri di Jepang biasanya diselenggarakan untuk memperingati hari tertentu yang behubungan dengan kepercayaan Shinto atau Buddha. Beberapa festival bahkan telah ada sejak beratus-ratus tahun lalu sebagai persembahan kepada para dewa. Ritual kepercayaan tersebut masih tetap menjadi inti dari festival yang ada sekarang, tetapi ditambahi dengan acara lain yang meriah. Festival yang berhubungan dengan kepercayaan semacam ini biasanya diadakan di suatu kuil. Kuil Shinto di Jepang pun cukup banyak alirannya dan masing-masing mempunyai semacam hari penting tertentu yang perlu dirayakan. Oleh sebab itu, tampak banyak sekali jenis festival yang diadakan di Jepang. Barangkali jika diamati lebih cermat, hampir tiap minggu ada beragam festival di berbagai tempat yang berbeda.

Selain itu, festival di Jepang juga sering diselenggarakan berdasarkan musim. Seperti kita tahu bahwa Jepang terdiri dari empat musim dan masing-masing musim tersebut dianggap spesial bagi masyarakat Jepang. Festival yang berkaitan dengan perayaan salah satu musim ini biasanya berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Misalnya, ketika musim dingin, daerah di kawasan utara lebih bersalju sehingga muncul beragam festival salju (yuki matsuri). Ketika musim semi, bunga-bunga mulai bermekaran di seluruh penjuru Jepang lalu diadakanlah festival melihat bunga Sakura dan sebagainya (hana matsuri). Musim panas yang biasanya cukup melelahkan pun tetap dirayakan dengan adanya festival kembang api (hanabi taikai) dan juga festival tarian musim panas (bon odori matsuri). Saat musim gugur tiba pun cukup banyak terlihat festival musim gugur (aki matsuri) dengan pawai dan tarian.

Masyarakat di berbagai daerah juga sering menyelenggarakan festival lokal. Rata-rata festival lokal diselenggarakan oleh pemerintah kota atau perkumpulan masyarakat. Tujuannya bisa bermacam-macam, misalnya untuk memperingati hari bersejarah tertentu bagi masyarakat tersebut, menunjukkan daya tarik istimewa yang dimiliki kota tersebut, atau bahkan hanya sekedar untuk hiburan. Karena bersifat lokal, kemeriahan festival pun tergantung pada besar kecilnya kota penyelenggara. Meskipun begitu, ada beberapa festival lokal yang menjadi dangat populer di seluruh Jepang karena dinilai unik atau meriah. Festival lokal yang unik semacam ini biasanya dikunjungi tidak hanya oleh masyarakat lokal tetapi juga orang-orang dari kota lain dan bahkan wisatawan asing. Contohnya: Yuki Matsuri di Sapporo dan Fukushima, Gion Matsuri di Kyoto dan Fukuoka, serta festival lokal lainnya.

Beberapa contoh festival yang rutin diselenggarakan di Jepang:

  • Shogatsu atau perayaan tahun baru
  • Hina Matsuri atau festival boneka yang ditujukan untuk anak-anak perempuan
  • Hanami atau menikmati Bunga Sakura
  • Kodomo no hi atau hari anak, terutama untuk anak-anak laki-laki
  • Tanabata atau festival bintang, setiap 7 Juli
  • Bon odori atau festival tarian musim panas
  • Toro nagashi atau festival penghanyutan lampion
  • Sichi-go-san (7-5-3) atau perayaan untuk anak yang berusia 3, 5, atau 7 tahun
  • Setsubun atau upacara perayaan pergantian musim
(kiri ke kanan) Gion Matsuri di Kyoto, Yuki Matsuri di Sapporo, dan Bon Odori.
(kiri ke kanan) Gion Matsuri di Kyoto, Yuki Matsuri di Sapporo, dan Bon Odori.

Kegiatan dalam Matsuri

Matsuri di Jepang adalah acara massal. Sebuah festival bisa melibatkan ratusan atau bahkan ribuan orang. Peserta festival ini tidak hanya sekedar datang berkumpul semata, tetapi berpartisipasi aktif dalam setiap bagian festival. Peserta festival biasanya adalah warga setempat yang tinggal di sekitar area festival. Tiap festival mempunyai detail kegiatan yang barangkali berbeda satu dengan lainnya.

Dari sekian banyak festival, yang paling sering terlihat adalah omikoshi. Omikoshi adalah miniatur kuil yang diusung seperti usungan atau gunungan dalam upacara tradisional di Jawa dan Bali. Biasanya terbuat dari kayu dengan hiasan tali, ukiran, patung burung phoenix, dan berwarna keemasan, merah, atau ungu. Omikoshi ini bisa beragam ukuran dan beratnya. Misalnya, dalam Hakata Gion Matsuri di Fukuoka, terdapat satu omikoshi yang harus dipanggul oleh lebih dari 30 orang. Warga setempat dengan suka rela menyediakan diri untuk ikut memikul omikoshi ini secara bergantian. Bahkan, ada pula omikoshi ukuran kecil yang ditujukan untuk anak-anak usia SD.

Omikoshi.
Omikoshi.

Matsuri di Jepang juga menarik karena pakaian tradisional yang dipakai para peserta ataupun penontonnya. Dalam kebanyakan festival, pesertanya memakai happi, semacam baju mirip piyama dengan tulisan kanji matsuri atau nama kelompok masyarakat di mana mereka bergabung. Biasanya mereka memesan khusus happi tersebut secara berkelompok. Untuk pembawa omikoshi, mereka biasanya memakai sepatu tradisional yang mirip kaos kaki. Sepatu semacam ini sudah ada sejak zaman dahulu. Bahkan, di acara festival yang bertema sejarah, tidak jarang pakaian ala samurai atau orang zaman dulu pun turut ditampilkan.

Festival di Jepang, bukan sekedar ritual kepercayaan dan pawai omikoshi semata. Di sekitar arena matsuri, umumnya terdapat banyak tenda penjual makanan dan minuman. Makanan yang dijual adalah makanan tradisional seperti takoyaki (bola-bola berisi gurita), yakisoba (mi goreng), ikayaki (cumi-cumi panggang), yakitori (semacam sate) dan sebagainya. Bahkan terdapat juga semacam gula-gula arum manis seperti yang ada di Indonesia, manisan buah apel, dan gulali. Ketika festival musim panas, yang paling digemari adalah kakigoori atau es serut yang dikucuri sirup di atasnya.

Bagi pengunjung yang menonton matsuri, acara semacam ini juga sebagai tempat melepas penat dan bersantai bersama keluarga. Untuk anak-anak, banyak permainan yang bisa ditemui, misalnya memancing balon dari air dengan kait kertas, menangkap ikan kecil dengan saringan kertas, semacam tembak hadiah, dan sebagainya. Jika acara diselenggarakan di kuil Shinto, biasanya juga ada pentas tarian tradisional Jepang atau hiburan lainnya.

Hal lain yang menarik untuk diamati selain keberagaman festival di Jepang adalah dukungan masyarakat dalam penyelenggaraan acara tersebut. Jepang adalah negara modern yang perkembangan teknologinya sudah sedemikian pesat. Jika berpikir praktis, mungkin kita akan mengambil kesimpulan bahwa kemungkinan besar masyarakat Jepang sudah tidak mau lagi melakukan hal-hal yang bersifat tradisional. Namun kenyataannya hingga sejauh ini, budaya tradisional masih terpelihara dengan baik dalam masyarakat.

Dukungan seperti apakah yang diberikan oleh masyarakat terhadap pelestarian budaya di Jepang? Pertama, dukungan dana itu pasti. Masyarakat Jepang biasanya mendonasikan dana melalui kuil Shinto atau perkumpulan tertentu yang sekiranya akan menyelanggarakan acara. Besar kecilnya sumbangan tergantung pada kemampuan masing-masing. Ada pula yang memberikan dukungan berupa tenaga dan waktu. Mereka sengaja meluangkan waktu untuk membantu berbagai persiapan serta berpartisipasi dalam festival tersebut. Orang-orang yang meminggul omikoshi biasanya sampai mesti merelakan pundaknya mengeras atau lecet. Namun, mereka tidak mengeluh dan tetap tertawa karena bagi mereka ini adalah cara berbagi kebersamaan dengan masyarakat sekitar.

Masyarakat setempat sangat senang terlibat dalam festival karena itu sebagai bukti keterikatan sosial mereka. Masyarakat Jepang sejak dulu terkenal sangat homogen dan mempunyai ikatan sosial yang sangat kuat. Hal tersebut menjadikan seseorang atau keluarga cenderung mengikuti apa yang dilakukan oleh lingkungan di sekitarnya demi menjaga keharmonisan sosial. Oleh karena itu, matsuri di Jepang juga bisa disebut sebagai upaya untuk menjaga keharmonisan dalam masyarakat.

Matsuri lebih dari sekedar ritual kepercayaan ataupun peringatan hari penting semata. Lebih dari itu, matsuri adalah bukti komitmen masyarakat Jepang terhadap peninggalan leluhurnya. Meskipun dalam penyelenggaraannya, unsur-unsur modernitas seperti musik, kostum, tema acara dan sebagainya mulai masuk dan mengubah nuansa dalam festival. Namun, secara garis besar nilai-nilai tradisional masih melekat kuat. Misalnya, di beberapa kota sering ada yosakoi matsuri (festival tari yosakoi) di mana para peserta memakai kostum kreasi baru dari kimono diiringi campuran musik tradisional dan modern.

Budaya adalah sesuatu yang terus berjalan dan berubah sesuai dengan perkembangan suatu masyarakat. Bertahan atau tidaknya suatu kebudayaan tergantung pada kemauan dari masyarakat tersebut untuk melestarikannya. Masyarakat Jepang juga menghadapi kekhawatiran atas modernitas yang sangat pesat. Hal ini terbukti dari mulai tergesernya beberapa budaya tradisional di beberapa daerah. Namun, pemerintah maupun masyarakat Jepang memilih untuk tidak menyerah begitu saja dan sebisa mungkin memelihara nilai-nilai budaya lokalnya. Semoga demikian pula dengan bangsa Indonesia yang terkenal dengan kekayaan budayanya. Kita bisa memelihara kebudayaan lokal kita dengan pemahaman pentingnya budaya melalui pendidikan sejak usia dini.

Bahan bacaan:

Penulis:
Isti Winayu, ibu rumah tangga, alumnus Waseda University dalam bidang Ilmu Hubungan Internasional, saat ini bertempat tinggal di Tokyo, Jepang. Kontak: loving_himawari(at)yahoo(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top