Mengindra sosok Kartini tentu bukanlah hal yang asing lagi bagi telinga Pribumi Indonesia. Membaca satu demi satu surat yang Kartini tulis kepada seluruh sahabat penanya seolah sedang menonton tayangan film yang memutar perihal pribadi Kartini. Mengenai sosoknya, pemikirannya, tekadnya, kegigihannya, kepeduliannya, serta berbagai hal lain yang menunjukkan buah dari kebaikan serta intelektualitas Kartini. Tulisan ini akan menjadi pelengkap dari tulisan tentang Kartini yang pernah dimuat di majalah 1000guru edisi April 2015.
Kartini lahir dalam keluarga bangsawan. Hampir semua keluarganya adalah seorang pemangku kepemimpinan. Kakek, ayah, dan pamannya adalah seorang bupati. Sejak kecil Kartini tinggal di rumah dinas kabupaten bersama dengan ayahnya. Ia dan saudara-saudaranya adalah satu dari sekian anak pribumi yang beruntung karena dapat merasakan pendidikan meski Kartini hanya tamat sampai pada HBS yang setara dengan sekolah dasar.
Usai menamatkan pendidikannya di HBS, Kartini berharap dapat melanjutkan pendidikan di negeri Belanda atau minimal dapat melanjutkan pada tingkatan selanjutnya seperti kakak laki-lakinya. Namun, harapan Kartini tidak sejalan dengan keinginan ayahnya. Kartini yang merupakan anak ayah masuk ke dalam kamar pingitan. Ia menyusul kakak perempuannya yang telah terlebih dahulu masuk ke dalam pingitan. Hari-hari Kartini seolah terisi dengan kepedihan. Cita-cita besarnya untuk melanjutkan belajar telah terkubur dalam-dalam. Ayahnya masih begitu kuat memegang adat bahwa perempuan tidak diizinkan pergi merantau jauh tanpa keluarga dalam waktu yang lama.
Di dalam kamar pingitan, ia memulai aktivitas barunya. Ia berkirim surat dengan sahabat Belandanya, membaca buku-buku Eropa, serta menulis artikel-artikel kebudayaan. Semua cita-citanya untuk melanjutkan studi ia ceritakan kepada sahabat Belandanya. Kemampuan berbahasa tidak menjadi hambatan bagi Kartini sebab sejak kecil bahasa yang dominan digunakan dalam keluarga Kartini adalah bahasa Belanda. Keluarga Kartini lebih intensif berkomunikasi dengan orang Belanda dibandingkan dengan penduduk pribumi, terlebih Kartini mengenyam pendidikan di sekolah Belanda. Selain bahasa Belanda, Kartini juga menguasai bahasa Perancis.
Setelah beberapa tahun tinggal di kamar pingitan, kakak Kartini terlebih dahulu dijemput oleh seorang pemuda untuk dinikahi. Menyusul ke dalam pingitan kedua adaalah adik Kartini. Kartini mencoba berdialog kepada ayahnya untuk diizinkan keluar dari pingitan. Keinginan tersebut akhirnya dikabulkan oleh ayah Kartini. Waktu yang dinanti untuk keluar dari “penjara” ruang berpagar dinding tersebut akhirnya tiba. “Aku seperti hidup kembali, Stela”, begitu ungkap Kartini dalam suratnya kepada sahabat Belandanya.
Meskipun tidak melanjutkan sekolah pada pendidikan formal, ayah Kartini memanggil guru Belanda untuk datang setiap hari ke rumah Kartini. Melalui guru tersebut Kartini dan adik-adik perempuannya belajar membatik, melukis, merenda, menjahit, serta berbagai keterampilan lainnya. Tak jarang ia berdiskusi dengan tamu kabupaten ayahnya, keluar mengelilingi kota Jepara, atau bermain di pantai ditemani dengan supir dan simbok penjaganya.
Suatu ketika, Kartini muda pernah diundang ke Belanda untuk menjadi salah satu sukarelawan dalam festival kebudayaan Jawa yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda. Kartini sempat mengajukan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Belanda, tetapi dana tersebut pada akhirnya tidak ia ambil sebab sang ayah tidak mengizinkannya.
Kemuliaan hati Kartini juga terwujud dalam kepeduliannya terhadap para perajin ukiran tradisional Jepara. Para perajin tersebut sebagian besar adalah perajin kecil yang berdomisili di pegunungan Jepara sehingga mereka tidak memiliki akses lain untuk menjual ukiran selain kepada pengepul yang membelinya dengan harga sangat murah. Selebihnya, uang hasil penjualan kerajinan ukir tersebut baru akan diberikan kepada perajin setelah kerajinan mereka terjual. Kartini berusaha untuk membuka akses penjualan kerajinan ukir tradisional Jepara. Ia memperkenalkan sekaligus menjadi fasilitator penjualan ukir Jepara kepada Belanda sehingga ukir Jepara dapat dijual dengan harga lebih tinggi serta tak perlu lagi melalui tangan pengepul.
Bersama dengan adiknya, Roekmini, ia membangun sekolah perempuan di rumahnya. Pada mulanya, hanya anak perempuan bupati di sekitar Jepara yang diserahkan kepada Kartini untuk dididik di rumahnya. Mereka diajarkan dengan berbagai keterampilan harian. Lambat laun semakin banyak para pejabat pribumi yang menitipkan anak perempuannya kepada Kartini untuk dididik berbagai keterampilan dan sikap. Keinginan Kartini untuk dapat menempuh pendidikan yang tinggi cukup terobati dengan dibuatnya sekolah perempuan tersebut.
Kartini menikah pada usia 24 tahun. Ia dinikahi oleh Raden Adipati Joyodiningrat yang merupakan seorang bupati Rembang. Setelah menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Kartini turut tinggal di rumah suaminya. Sebagai istri bupati, ia memiliki kesempatan yang lebih untuk berkontribusi. Sekolah perempuan yang telah dibangunnya turut dibawanya ke rumah suaminya. Kartini wafat pada usia 25 tahun, tak berselang lama setelah ia melahirkan putranya. Begitulah sosok Kartini, sosok dengan tekad yang kuat sebagai seorang perempuan muda pribumi yang hidup pada masa kolonial Belanda.
Bahan bacaan:
- 2018. Habis Gelap Terbitlah Terang. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
- Toer, Pramoedya Ananta. 2018. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta Timur: Lentera Dipantara.
Penulis:
Intan Nur Cahyati, mahasiswa S2 Universitas Sebelas Maret.
Kontak: intannur009(at)gmail(dot)com