Isu intoleransi kian menghangat akhir-akhir ini, baik rasisme, agama, maupun golongan. Bangsa Indonesia kian terasa seperti sedang memilah dirinya pada kelompok mana ia berdiri, semacam identifikasi diri. Padahal, pada dasarnya Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, ras, warna kulit, agama, kepercayaan, dan budaya. Menurut Furnivall (1948), ciri utama masyarakat majemuk adalah hidup secara berkelompok yang berdampingan secara fisik tetapi terpisah oleh kehidupan sosial dan tergabung dalam kesatuan politik.
Mengapa perbedaan ini bisa melahirkan konflik yang sering dijadikan sebagai faktor? Sebenarnya, faktor perbedaan hanya dijadikan sebagai bumbu. Faktor utamanya adalah perlakuan keadilan. Ketika semua warga negara merasakan keadilan, tidak akan ada kecemburuan sosial. Implementasi sila kelima ini yang ‘mungkin’ masih belum tercapai secara optimal.
Ada konflik antaragama di Ambon tahun 1999 yang menyebabkan banyak korban meninggal dunia. Orang-orang Islam dan Kristen di Ambon saling serang karena ada isu SARA yang sengaja dibesar-besarkan. Ada juga konflik antarsuku di Sampit, Madura. Konflik ini berawal dari cerita adanya suku Dayak yang dibantai oleh suku Madura. Yang terbaru, konflik SARA terjadi dalam bentuk aksi pembakaran usaha milik pendatang dan perusakan fasilitas umum oleh suku Papua pada tanggal 19 Agustus 2019 lalu.
Yang dilakukan oleh suku Papua ini dikabarkan lantaran suku Papua dituduh melecehkan bendera merah putih. Kemudian, dugaan ini diikuti oleh aksi demonstrasi para mahasiswa di berbagai daerah di Pulau Jawa dan julukan nama hewan kepada suku Papua yang sedang menjalani studi di Malang. Konflik ini sempat memunculkan kembali isu gerakan separatis OPM (Operasi Papua Merdeka).
“Orang asli Papua, yang disingkat OAP, masih miskin di tanahnya sendiri yang penuh dengan ‘susu dan madu’. Justru yang menikmati dan ‘kenyang’ adalah non-Papua,” ungkap salah seorang Intelektual Marind, Harry Ndiken, dilansir dari Jubi.co.id. Ini menandakan bahwa mereka merasa tidak adil atas kondisi yang mereka alami. Bukan hanya tentang masuknya transmigran, tetapi juga imigran yang kian membuat mereka merasa ‘dicurangi’.
Para imigran yang datang dari negara lain dan menetap di sana justru jauh lebih sejahtera dibandingkan OAP. Eksploitasi alam Timika oleh Freeport minim kontribusi untuk kehidupan penduduk di sekitarnya. Padahal dahulu yang menunjukkan sumber-sumber kekayaan di Papua adalah OAP, tetapi kemudian pengolahan dan keuntungannya tidak banyak yang diberikan kepada mereka.
Konflik di Papua perlahan surut setelah seminggu menjadi buah bibir di Indonesia. Kini digantikan permasalahan baru pemindahan ibu kota Indonesia yang urgensinya masih menjadi pro-kontra. Papua, pulaunya satu tapi kepentingannya berjuta-juta. Tampaknya, masalah keadilan dan pemerataan ini yang harus diselesaikan. Yang terpenting adalah memberikan kesempatan yang sama kepada OAP untuk dapat mengembangkan dirinya di negeri Indonesia.
Begitu pula dengan konflik-konflik antarsuku, antaragama, dan antargolongan lainnya. Isu SARA merupakan isu yang sangat riskan seperti api dalam sekam. Banyak yang tidak menyadarinya, tetapi jika api itu membesar mampu menghabiskan apapun di sekitarnya.
Menjadi Indonesia bukan sekadar nama tanpa makna. Menjadi Indonesia berarti harus siap dengan perbedaan. Pun kita harus memahami konsep keberagaman dan multikulturalisme. Yaitu penerimaan terhadap kelompok budaya yang berbeda di masyarakat, karena sejatinya Indonesia itu heterogen, memiliki banyak pulau dan suku budaya. Menghormati minoritas dan berbaur dengan mayoritas. Berbaur tidak harus melebur.
Untuk menjadi NKRI, kita harus memiliki semangat. Semangat religiusitas, semangat pluralisme, semangat humanisme, dan juga semangat nasionalisme. Semangat religiusitas karena agama juga mengajarkan toleransi, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” Ini mencakup seluruh perbedaan, bukan hanya tentang agama. Dengan semangat pluralisme kita akan memiliki jiwa anti diskriminasi. Dengan semangat humanisme, kita akan memiliki jiwa toleransi atas dasar rasa kemanusiaan. Dengan semangat nasionalisme, kita akan dapat melihat bahwa kita adalah satu, bangsa Indonesia.
Penulis:
Nur Azizah, Aktivis Sosial di Kota Sragen Indonesia.
Kontak: aziazki(at)gmail(dot)com