Penanaman Nilai Kesederhanaan Bermuatan Kearifan Lokal Pada Generasi Z

Perubahan zaman saat ini melahirkan generasi baru yang dikenal dengan julukan generasi Z, yang sering disalahpahami dengan sebutan generasi milenial (padahal generasi milenial adalah generasi Y). Kelahiran generasi Z memiliki tantangan baru dalam menyambut Revolusi Industri 4.0 dan kesempatan generasi Z untuk memperoleh bonus demografi tahun 2030.

Generasi didefinisikan sebagai suatu konstruksi sosial, terdiri dari sekelompok individu yang memiliki kesamaan umur dan pengalaman historis yang sama. Individu yang menjadi bagian dari satu generasi adalah mereka yang memiliki kesamaan tahun lahir dalam rentang waktu 10-20 tahun, berada dalam dimensi sosial dan dimensi sejarah yang sama.

Generasi adalah sekelompok individu yang dipengaruhi oleh kejadian-kejadian bersejarah dan fenomena budaya yang terjadi dan dialami pada fase kehidupan mereka (Nobel & Schewe, 2003; Twenge, 2000). Kejadian serta fenomena tersebut menyebabkan terbentuknya ingatan secara kolektif yang berdampak dalam kehidupan mereka (Dencker et al. 2008). Jadi, peristiwa historis, sosial, dan efek budaya bersama dengan faktor-faktor lain berpengaruh terhadap terbentuknya perilaku individu, nilai, dan kepribadian (Caspi & Roberts, 2001; Caspi et.al, 2005).

Semenjak munculnya Generation Theory (Teori Generasi) hingga saat ini dikenal beberapa generasi dengan istilah Baby Boomers, Generasi X, Generasi Y, dan Generasi Z.  Generasi Y sering disebut sebagai generasi milenial (Millenial Generation), yaitu kelompok muda yang lahir awal 1980-an hingga awal 1990-an (Horovitz, 2012).

Generasi Z biasanya didefinisikan sebagai anak-anak yang lahir antara tahun 1995 hingga awal 2000-an, yang ditandai perubahan sikap terhadap penggunaan teknologi atau era digitalisasi dibandingkan generasi sebelumnya (generasi Y atau generasi milenial).  Regenerasi yang terjadi secara alami membuat terjadinya pergantian pada aturan-aturan, sikap, dan gaya hidup dari masing-masing generasi itu sendiri.

Telah terwujud penggabungan budaya dan idealisme pada generasi yang lebih muda dikarenakan oleh dampak globalisasi yaitu pengaruh dari teknologi, televisi dan internet. Hal ini membuat arus informasi keluar dan masuk secara cepat di seluruh belahan dunia, sehingga memberi pengaruh besar terhadap sifat, sikap dan karakteristik yang terbentuk pada generasi Z (Luntungan. 2014).

Perilaku berkomunikasi verbal yang terbuka, frontal dan konfrontatif, menjadikan generasi Z lebih eksploratif dan memiliki intuisi serta keberanian untuk berpendapat dan mempertanyakan pendapat orang lain secara terbuka (Luntungan. 2014). Ericsson mencatat, hingga 2011 silam hanya ada sekitar tujuh persen remaja berusia 16 – 19 tahun yang menonton video melalui Youtube. Rata-rata mereka menghabiskan waktu di depan layar perangkat mobile sekitar tiga jam sehari. Angka tersebut melambung empat tahun kemudian menjadi 20 persen. Waktu yang dialokasikan untuk menonton streaming juga meningkat tiga kali lipat. Fakta tersebut membuktikan, perilaku generasi Z sudah tak bisa dilepaskan dari menonton video daring.

Generasi Z kerap dinilai sebagai generasi yang kreatif dan berani mengambil risiko. Mereka juga dianggap sangat konsumtif. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh budaya digital dan penggunaan internet yang telah mengambil peran yang sangat signifikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Penetrasi internet di Indonesia telah melampaui angka 50 persen dari total penduduk, menurut survei APJII pada 2018. Dari total 262 juta jiwa, sebanyak 143,26 juta orang diperkirakan telah menggunakan internet. Menurut Ben, dari seluruh pengguna internet tersebut, sekitar 49 persen berasal dari kalangan generasi Z.

Generasi Z hari ini menggunakan internet untuk melakukan segala jenis transaksi, dari transportasi, membeli makanan, jalan-jalan, hingga berbelanja pakaian dan kebutuhan sehari-hari. Hal ini memiliki dampak positif dan negatif tersendiri. Dampak positifnya adalah pergerakan generasi Z menjadi sangat cepat karena bertransaksi lewat internet menghilangkan berbagai hambatan yang muncul ketika bertransaksi secara fisik.

Mereka tidak perlu lagi menghabiskan waktu dan usaha hanya untuk melihat-lihat barang di toko. Selain itu, internet juga memberikan akses terhadap pasar yang lebih luas. Namun, di sisi lain, budaya digital dan penggunaan internet untuk transaksi ini telah membuat generasi Z sangat konsumtif. Ada perbedaan nilai pada anak dan remaja generasi sebelumnya. Perbedaan tersebut tampak dari kecenderungan perilaku anak dan remaja zaman sekarang yang dihadapkan pada gaya hidup mewah dan mengutamakan kesenangan semata sebagai tujuan hidup.

Fenomena ini juga terjadi pada generasi Z di Pontianak yang diamati oleh penulis di SMA Pontianak Timur. Siswa menggandrungi lip thin dan euforia penggunaan telepon seluler mahal, berlomba untuk membeli helm dan alat make up yang branded. Mereka saling meniru satu sama lain, saling meminjamkan, dan saling mencontoh.

Saat diajak berdiskusi tentang cara memperoleh barang-barang tersebut, mereka menjawab memanfaatkan dunia digital dengan cara membeli online. Uang yang mereka perlukan untuk jajan, berkumpul dengan teman-teman dan berbelanja online lebih besar daripada keperluan mereka membeli buku. Berdasarkan informasi yang penulis terima, siswa lebih memilih utang buku seharga Rp. 35.000 untuk satu tahun, ketimbang mereka harus off dari ketersediaan kuota data.

Batasan antara keinginan dan kebutuhan generasi Z sangatlah tipis. Mereka lebih memilih memenuhi keinginan daripada kebutuhan. Hal ini berkaitan dengan makna hidup dalam lingkungan sosialnya. Eksistensi sebagai remaja masa kini ialah ketika mereka mampu mengikuti tren gaya hidup, sekalipun mereka tidak mampu, atau mereka mampu, tetapi menyampingkan kebutuhannya.

Kehidupan generasi Z saat ini sudah lepas dari pesan orang tua yang dipetuahkan dalam kehidupan sehari hari atau petuah nenek moyang yakni “hemat pangkal kaya”, “rajin menabung demi masa depan”, dan “bersakit sakit dahulu bersenang kemudian”. Tampaknya nilai-nilai ini sudah tidak lagi dipahami atau bahkan tidak dikenali lagi.

Oleh karenanya, generasi Z perlu diajak berdiskusi tentang bagaimana cara mengelola kehidupan sebagai manusia yang beruntung, yang mampu menyederhanakan diri tanpa mengabaikan eksistensi. Salah satu cara adalah melalui proses pendidikan yang bermuatan kepada kearifan lokal masyarakat. Di Pontianak, kearifan lokal ini mengarahkan individu untuk dapat memiliki reorientasi tentang makna kesederhanaan, hidup hemat, kerja keras, kebersamaan yang positif, sopan santun dan mengimani bahwa hemat itu adalah sebagian dari pada iman.

Upaya melestarikan nilai-nilai kearifan lokal sudah diatur dalam Peraturan Presiden No 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter Pasal 9, yang menyatakan bahwa satuan pendidikan dan komite sekolah wajib mempertimbangkan unsur kearifan lokal. Hal ini sebagai upaya pewarisan budaya sekaligus meyakini bahwa nilai-nilai pada kearifan lokal memiliki kekuatan untuk membentuk pribadi remaja.

Hidup sederhana berimplikasi pada kemampuan anak mengelola informasi guna membuat keputusan keuangan yang cerdas, kemampuan meracik sumber daya yang dimiliki untuk memperoleh manfaat. Menanamkan pola hidup sederhana harus dilakukan dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga. Peran orang tua sangat penting sebagai contoh bagi anak.

Langkah penting yang perlu ditanamkan pada anak di antaranya yaitu memiliki sesuatu benda/materi perlu disesuaikan dengan kondisi. Sesuaikan keinginan dan kemampuan. Keinginan yang tidak terkendali akan mengganggu perkembangan anak dan lingkungan. Anak-anak boleh memiliki keinginan, tetapi tidak boleh mengganggu hak orang lain. Bedakan pula keinginan dan kebutuhan. Anak perlu dididik untuk bersikap dan bertindak sederhana dalam keluarga. Keinginan adalah dorongan pemenuhan kebutuhan yang tidak pokok, sedangkan kebutuhan adalah pemenuhan kebutuhan pokok.

Berpenampilan sederhana sangat penting agar tidak mencolok dibandingkan dengan orang di sekitar lingkungan pergaulannya. Ini ditunjukkan oleh penampilan kedua orang tua di kehidupan sehari-hari.  Penerapan sederhana dalam berpakaian antara lain memakai pakaian dan perhiasan yang tidak mencolok dipandang mata, memenuhi norma yang berlaku dalam agama, sosial, dan budaya yang berlaku di tengah masyarakat.

Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Pontianak dikenal sebagai Saprahan (Arpan, 2014).  Secara filosofis, Saprahan mengintegrasikan kepedulian (senasib sepenanggungan), kebersamaan (seadat sepusaka sepucuk setali darah), kesopanan (bercakap bersetinah berunding bersetabik), keterbukaan (seanak sekemanakan), serta kesederhanaan. Serangkaian Saprahan meliputi nilai religius, nilai kesatuan dan persatuan/pemersatu, beradat, kesederhanaan, nilai kedermawanan, keaslian, kasih sayang, kerapian dan tertib, silaturahmi dan kekeluargaan, keterbukaan, kepedulian, kebersamaan, kesopanan, bekerja keras, kesetiakawanan sosial, ketulusan, kesabaran, kejujuran hati, kepercayaan, ketekunan, teguh pendirian, hingga keakraban dan persahabatan.

Usia remaja yang menjadi ajang peralihan masa perkembangan adalah fase ketika seseorang mengalami krisis identitas. Perilaku hedonisme di kalangan remaja hingga tidak menghargai orang yang lebih tua ditengarai sebagai bukti pergeseran nilai dalam masyarakat. Pembentukan identitas (identity formation) merupakan tugas psikososial yang utama pada masa remaja. Pada fase ini, penegasan identitas diperlukan untuk mencapai karakter yang kokoh dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin membingungkan.

Dari mulai remaja hingga seterusnya, perjuangan pembentukan identitas berbentuk krisis identitas (identity crisis), titik balik dalam hidup seseorang yang dapat memperkuat atau memperlemah kepribadian (Erikson, 1968). Identitas pribadi merujuk pada jati diri seseorang sebagai agen atau aktor. Identitas terekspresikan dalam simbol-simbol bahasa, busana, benda benda milik dan aksi/aktor.

Karakter yang baik ialah adanya saling keterkaitan antara pengetahuan moral, perasaan moral, serta tindakan moral. Penilaian moral dapat meningkatkan perasaan moral, sementara emosi moral dapat memengaruhi pemikiran (Licona, 2012:84; Kohlberg & Hersh, 2007:55). Karakter sebagai suatu kriteria kepribadian mempunyai dua sisi yang nyata dan yang diharapkan (Mappiare-AT, 2017:39).

Penanaman nilai-nilai karakter berbasis kearifan lokal dapat dilakukan melalui berbgai cara. Salah satunya adalah melalui pendidikan karakter bangsa. Pendidikan karakter bangsa ini seharusnya dapat mencakup berbagai elemen, yang paling utama adalah di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hidup sederhana adalah perilaku yang disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Perilaku atau gaya hidup ini mementingkan pemenuhan kebutuhan utama seperti makanan bergizi, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan dalam keluarga.

Bahan bacaan:

  • Arpan, 2014. Saprahan Adat Budaya Melayu Sambas. Dewan pengurus daerah Majelis Adat Budaya Melayu Kabupaten Sambas. 
  • Business Research, 56(12), 979–987. doi:10.1016/S0148-2963(02)00268-0.
  • Buku Seri Pendidikan Orang Tua: Menanamkan Hidup Sederhana Cetakan Pertama Desember 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Jenderal Sudirman, Gedung C Lt. 13 Senayan Jakarta 10270
  • Caspi, A., & Roberts, B. W. (2001). Personality development across the life course: The argument for change and continuity. Psychological Inquiry, 12(2), 49–66. doi:10.1207/S15327965 PLI1202_01
  • Caspi, A., Roberts, B. W., & Shiner, R. L. (2005). Personality development: Stability and change. Annual Review of Psychology, 56, 453–484. doi:10.1146/annurev.psych.55.090902.141913.
  • Erikson, E. 1968. Identity Youth and Crisis.Newyork-London: W. W. Norton & Company, Inc https://www.kominfo.go.id/content/detail/8566/mengenal-generasi-millennial/0/sorotan_media
  • https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180418215055-282-291845/alasan-generasi-milenial-lebih-konsumtif.
  • Kohlberg, L; Hersh. Moral Development: A Review of the Theory Theory into Practice, Vol. 16, No. 2, Moral Development. (Apr., 1977), pp. 53-59
  • Licona, 2012. Pedoman Lengkap Cara Mengajar Nilai nilai Moral- The Journal of Moral Education. Educating for Character. Mendidikan untuk Membentuk Karakter. Jakarta: Bumi Aksara
  • Luntungan. Dkk. 2014. Strategi Pengelolaan Generasi Y di Industri Perbankan. Jurnal Manajemen Teknologi Vol.13 | No.2 | 2014. DOI: http://dx.doi.org/10.12695/jmt.2014.13.2.7.
  • Mappiare-AT, 2017. Meramu Model Konseling Berbasis Budaya Nusantara:KIPAS (remajang Intensif Progresif Adaptif Struktur). Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Budaya Remajang. Fakultas Ilmu Pendidikan, disampaikan pada siding terbuka senat Universitas Negeri Malang, 28 Febuari 2017. 
  • Peraturan Presiden No 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.
  • Twenge, J. M. (2006). Generation Me: Why Today’s Young Americans Are More Confident, Assertive, Entitled—and More Miserable Than Ever Before. New York: Free Press

Penulis:

1. Rustam, M.Pd., Kons., Rektor IKIP PGRI Pontianak. Kontak: rustam(at)ikippgriptk.ac.id

2. Hastiani, M.Pd., Mahasiswa S-3 Jurusan Bimbingan dan Konseling, Universitas Negeri Malang. Kontak: hastiani(at)ikippgriptk.ac.id 

Back To Top