Nobel Kesehatan 2018: Gas dan Rem dalam Sel sebagai Terobosan dalam Terapi Kanker

Tahun ini Komite Nobel dari Karolinska Institute, Swedia menganugerahkan Nobel dalam bidang fisiologi atau kedokteran kepada James P. Allison dan Tasuku Honjo. Kedua peneliti ini secara independen melakukan penelitian terapi kanker dengan tujuan mencegah regulasi negatif dari sistem imun.

Kanker terdiri dari berbagai jenis penyakit, umumnya ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkontrol yang kemudian merembet pada organ dan jaringan yang sehat. Berbagai terapi penyembuhan kanker telah dilakukan, mulai dari operasi, radiasi, dan lainnya. Beberapa hadiah Nobel bahkan telah dianugerahkan kepada para peneliti terapi kanker, seperti Huggins (1966) untuk sumbangsihnya dalam terapi kanker prostat menggunakan hormon, Elion and Hitchins (1988) pionir kemoterapi, dan Thomas (1990) yang meneliti transplantasi sumsum tulang untuk terapi leukemia.

Sel-sel yang terlibat dalam sistem imun tubuh. Sumber: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK27090/

Sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul konsep baru tentang pengaktifan sistem imun tubuh untuk menyerang sel tumor. Berbagai percobaan telah dilakukan untuk mengaktifkan sistem imun tubuh, misalnya menginfeksi pasien dengan bakteri. Sayangnya, usaha ini menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Tampaknya masih banyak yang belum diketahui tentang sistem imun tubuh dan kaitannya dengan sel kanker. Sejak saat itu, para peneliti berusaha menyibak mekanisme dasar pengaturan sistem imun tubuh, dan bagaimana sistem imun mengenali sel kanker.

Diagram sederhana yang menggambarkan kerja sel imun tubuh ketika dihadapkan kepada benda asing. Gambar dari Wikipedia.

 

“Gas” dan “Rem” pada sistem imun tubuh kita

Kemampuan dasar dari sistem imun tubuh kita adalah membedakan “diri sendiri” dari “benda asing” sehingga bakteri, virus, dan penyusup berbahaya lainnya dapat diserang dan dihancurkan. Sel T, salah satu jenis sel darah putih, memiliki peran penting dalam sistem imun tubuh. Sel T memiliki reseptor yang dapat berikatan dengan struktur pada benda asing, mengenali adanya penyusup, kemudian memicu serangkaian respon sistem imun.

Ternyata ada protein-protein tambahan yang berfungsi sebagai “gas” sel T, yang memungkinkan terpicunya respon sistem imun yang maksimal. Penemuan ini adalah hasil kerjasama banyak ilmuwan. Selain “gas” pada sel T, ternyata ada protein-protein lain yang berperan sebagai “rem” yang menghambat aktivasi sistem imun. Hubungan rumit antara “gas” dan “rem” ini sangat penting untuk pengaturan sistem imun tubuh sehingga sistem imun dapat melancarkan serangan dengan kekuatan yang sesuai untuk menghancurkan penyusup, tetapi juga tidak sampai menyerang diri sendiri, yang bisa menyebabkan kelainan autoimun.

Prinsip baru untuk terapi imunologi

Pada awal 1990-an, James P. Allison, yang saat itu bekerja di University of California, Berkeley, mempelajari protein sel T bernama CTLA-4. Allison dan beberapa ilmuwan lainnya beranggapan bahwa CTLA-4 berperan sebagai “rem” pada sel T darah putih. Grup penelitian lain memanfaatkannya sebagai target untuk pengobatan penyakit autoimun. Namun, Allison memiliki ide lain. Allison telah mengembangkan antibodi yang dapat berikatan dengan CTLA-4 sehingga mencegah fungsinya sebagai “rem”, sehingga sel T dapat menyerang sel kanker dengan kekuatan penuh.

Allison dan timnya mengujicobakan hipotesis mereka pada akhir 1994. Mereka sangat bersemangat melihat hasil yang positif, kemudian mengulanginya lagi saat liburan akhir tahun itu. Hasilnya sangat spektakuler. Tikus dengan kanker telah disembuhkan setelah menjalani terapi antibodi yang menghambat kerja “rem” pada sel T. Sayangnya, respon dari perusahaan farmasi tidak begitu baik. Meski demikian, Allison terus melanjutkan penelitian ini dan mengembangkan strategi penerapan pada manusia.

Grup-grup penelitian lainnya pada tahun-tahun berikutnya menunjukkan hasil-hasil yang menjanjikan, dan pada 2010 sebuah studi klinis menunjukkan hasil yang mengejutkan pada pasien dengan kasus melanoma parah (salah satu tipe kanker kulit). Pada beberapa pasien, tanda-tanda keberadaan kanker telah menghilang. Hasil yang mengherankan ini tidak pernah didapati pada grup pasien jenis ini.

Penemuan PD-1 dan sumbangsihnya untuk terapi kanker

Pada 1992, beberapa tahun sebelum penemuan oleh Allison, Tasuku Honjo menemukan PD-1, sebuah protein yang diekspresikan pada permukaan sel T. Honjo bertekad untuk mengetahui fungsi protein tersebut. Ilmuwan Jepang ini pun melakukan banyak penelitian yang sangat detail dan elegan selama bertahun-tahun di laboratoriumnya di Kyoto University. Hasil penelitian-penelitian itu menunjukkan bahwa PD-1, mirip dengan CTLA-4, berfungsi sebagai “rem” sel T, tetapi dengan mekanisme yang berbeda.

Pada percobaan dengan menggunakan objek binatang, penghambatan fungsi PD-1 juga menunjukkan strategi yang menjanjikan untuk memerangi kanker, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Honjo dan grup penelitian lain. Hasil ini membuka jalan untuk terapi dengan menarget protein PD-1. Pengembangan untuk aplikasi klinis pun dimulai, dan pada 2012, sebuah studi penting menunjukkan keefektifan yang nyata dari terapi ini terhadap beberapa jenis kanker. Hasil penelitian tersebut terlihat dramatis, ditandai dengan masa remisi yang panjang dan kemungkinan untuk sembuh pada beberapa pasien dengan kanker yang sudah mengalami metastasis, sebuah kondisi yang sebelumnya dianggap tidak lagi bisa disembuhkan.

Mekanisme serangan CTTA-4 dan PD-1 terhadap sel kanker. CTLA-4: (Kiri atas) Aktivasi sel T terjadi apabila reseptor sel T terikat pada struktur pada sel imun lain (APC, antigen-presenting cell) yang dikenali sebagai “benda asing”. Selain itu, sebuah protein yang berfungsi sebagai “gas” sel T (T-cell accelerator) juga dibutuhkan untuk mengaktifkan Sel T. CTLA-4 berfungsi sebagai “rem” pada Sel T yang menghambat fungsi “gas”. (Kiri bawah) Antibodi yang berikatan dengan CTLA-4 mencegah fungsinya sebagai “rem”, sehingga sel T teraktivasi dan menyerang sel kanker. PD-1: (Kanan atas) PD-1 adalah “rem” lain pada sel T yang menghambat kerjanya untuk menyerang sel kanker. (Kanan bawah) Antibodi yang berikatan dengan PD-1 mencegah fungsinya sebagai “rem”, sehingga sel T teraktivasi dan menyerang sel kanker dengan sangat efektif.

Apabila dua jenis terapi ini dibandingkan (CTLA-4 vs. PD-1), checkpoint therapy terhadap PD-1 terbukti lebih efektif dan hasil positif terlihat pada beberapa jenis kanker, termasuk kanker paru, kanker kandung kemih, limfoma, dan melanoma. Studi klinis baru yang menggabungkan kedua terapi ini, CTLA-4 dan PD-1, menunjukkan hasil yang lebih efektif pada pasien dengan melanoma.

Dengan demikian, Allison dan Honjo telah menginspirasi usaha untuk menggabungkan berbagai strategi dalam melepaskan “rem” pada sistem imun untuk memusnahkan sel tumor. Saat ini berbagai percobaan checkpoint therapy sedang dilakukan untuk memerangi sebagian besar tipe kanker, dan protein checkpoint baru sedang diujicobakan sebagai target.

Selama 100 tahun lebih, para ilmuwan berusaha untuk mengikutsertakan sistem imun tubuh untuk memerangi kanker. Sebelum adanya penemuan dari dua pemenang Nobel bidang Kedokteran ini, percobaan yang berujung pada pengembangan aplikasi klinis belum begitu banyak. Namun, checkpoint therapy telah merevolusi terapi kanker dan mengubah cara pandang kita terhadap bagaimana cara mengatasi kanker.

Bahan bacaan:

  • https://www.nobelprize.org/prizes/medicine/2018/press-release/
  • Ishida, Y., Agata, Y., Shibahara, K., & Honjo, T. (1992). Induced expression of PD-1, a novel member of the immunoglobulin gene superfamily, upon programmed cell death. EMBO J., 11(11), 3887–3895.
  • Leach, D. R., Krummel, M. F., & Allison, J. P. (1996). Enhancement of antitumor immunity by CTLA-4 blockade. Science, 271(5256), 1734–1736.
  • Kwon, E. D., Hurwitz, A. A., Foster, B. A., Madias, C., Feldhaus, A. L., Greenberg, N. M., Burg, M.B. & Allison, J.P. (1997). Manipulation of T cell costimulatory and inhibitory signals for immunotherapy of prostate cancer. Proc Natl Acad Sci USA, 94(15), 8099–8103.
  • Nishimura, H., Nose, M., Hiai, H., Minato, N., & Honjo, T. (1999). Development of Lupus-like Autoimmune Diseases by Disruption of the PD-1 gene encoding an ITIM motif-carrying immunoreceptor. Immunity, 11, 141–151.
  • Freeman, G.J., Long, A.J., Iwai, Y., Bourque, K., Chernova, T., Nishimura, H., Fitz, L.J., Malenkovich, N., Okazaki, T., Byrne, M.C., Horton, H.F., Fouser, L., Carter, L., Ling, V., Bowman, M.R., Carreno, B.M., Collins, M., Wood, C.R. & Honjo, T. (2000). Engagement of the PD-1 immunoinhibitory receptor by a novel B7 family member leads to negative regulation of lymphocyte activation. J Exp Med, 192(7), 1027–1034.
  • Hodi, F.S., Mihm, M.C., Soiffer, R.J., Haluska, F.G., Butler, M., Seiden, M.V., Davis, T., Henry-Spires, R., MacRae, S., Willman, A., Padera, R., Jaklitsch, M.T., Shankar, S., Chen, T.C., Korman, A., Allison, J.P. & Dranoff, G. (2003). Biologic activity of cytotoxic T lymphocyte-associated antigen 4 antibody blockade in previously vaccinated metastatic melanoma and ovarian carcinoma patients. Proc Natl Acad Sci USA, 100(8), 4712-4717.
  • Iwai, Y., Terawaki, S., & Honjo, T. (2005). PD-1 blockade inhibits hematogenous spread of poorly immunogenic tumor cells by enhanced recruitment of effector T cells. Int Immunol, 17(2), 133–144.

 

Penulis:

Ajeng Kusumaningtyas Pramono, Editor Rubrik Kesehatan Majalah 1000guru.
Kontak: ajengpramono(at)gmail(dot)com.

Back To Top