Dapatkah Manusia Hidup “Tanpa” Otak?

Otak merupakan salah satu organ tubuh penting pada manusia. Lantas, apakah manusia bisa hidup tanpa otak? Pada kasus anencephaly—kelainan pertumbuhan dari dalam kandungan yang menyebabkan tidak terbentuknya otak dan tengkorak, bayi biasanya hanya dapat bertahan dalam hitungan hari.

Perbandingan antara otak normal dan anencephaly

Kemudian kita juga sering mendengar istilah “mati batang otak”, yaitu keadaan di mana otak kehilangan semua fungsinya dan tidak dapat diperbaiki. Pada keadaan itu, gelombang otak pun tidak lagi dapat dideteksi. Kehidupan sepenuhnya ditopang oleh mesin ventilator, yang membantu mempertahankan fungsi jantung dan paru, sehingga secara medis sebenarnya orang tersebut sudah meninggal.

Selain dua contoh di atas, ada kasus di mana manusia bisa hidup “tanpa” otak. “Tanpa” di sini diberi tanda kutip karena pada kasus-kasus berikut, otak tidak absen sama sekali, tapi keberadaannya antara ada dan tiada. Mari kita perhatikan gambar-gambar di bawah ini.

Penampakan otak normal pada CT dan MRI T1 (atas). Sumber: https://radiopaedia.org/cases/normal-ct-brain,
https://radiopaedia.org/cases/normal-midline-brain-mri.
Penampakan otak yang sangat tereduksi (tengah-bawah). Sumber: https://www.newscientist.com/article/dn12301-man-with-tiny-brain-shocks-doctors/

Gambar di atas, didapat dari seorang laki-laki berusia 44 tahun dari Perancis, menunjukkan rongga kepala yang didominasi oleh rongga kosong berisi cairan dan hanya selapis tipis jaringan otak. Dengan kata lain, sebagian besar otaknya tidak ada! Namun lelaki tersebut dapat hidup relatif normal, memiliki IQ 75 (di bawah rerata populasi, 100), bekerja sebagai pegawai negeri sipil, menikah, dan memiliki dua anak.

Penampakan otak normal pada MRI T1 sagital (atas). Sumber: https://radiopaedia.org/cases/normal-midline-brain-mri
Penampakan cerebellum (otak kecil) yang absen (bawah). Sumber: https://www.newscientist.com/article/mg22329861-900-woman-of-24-found-to-have-no-cerebellum-in-her-brain/

Kasus lain menunjukkan absennya otak kecil (cerebellum) pada seorang perempuan berusia 24 tahun dari Cina. Cerebellum mengontrol gerak dan keseimbangan tubuh, juga berperan pada kemampuan gerak motorik dan wicara. Sewajarnya, perempuan tersebut pun ternyata mulai berjalan pada usia 7 tahun, dan pembicaraannya baru dapat dipahami ketika dia berusia 6 tahun, jauh lebih lambat dibandingkan kebanyakan orang. Pada pasien itu, rongga yang tempat otak kecil terisi oleh cairan serebrospinal.

Kedua kasus di atas ditemukan secara tidak sengaja. Pada kasus pertama, dokter merekomendasikan CT-scan dan MRI setelah pria Perancis tersebut mengeluhkan ada masalah pada kakinya. Hal yang serupa terjadi pada kasus kedua, di mana perempuan tanpa otak kecil itu pada awalnya hanya mengeluhkan pusing dan mual. Tampaknya fungsi bagian otak yang cedera, atau bahkan hilang, dapat diambil alih oleh bagian otak yang lain, dalam rentang waktu yang lama. Penemuan semacam ini menunjukkan dengan penanganan yang tepat, setelah cedera pun, otak mampu beradaptasi dan setidaknya mengembalikan fungsi minimalnya dengan bagian yang tersisa.

Bahan bacaan:

Penulis:

Ajeng Kusumaningtyas Pramono, Alumnus S-3 Jurusan Biologi, Tokyo Institute of Technology, Jepang. Kontak: ajengpramono(at)gmail(dot)com.

Back To Top