Saat musim hujan, momen yang paling nikmat bagi sebagian orang di antaranya adalah ketika dapat melakukan aktivitas membaca buku, ditemani dengan secangkir teh dan biskuit. Ketika kita masih kecil dan dibuatkan biskuit yang dioven oleh ibu kita, kita juga ikut mengamati hal-hal yang dilakukan oleh ibu. Mungkin terbayang pertanyaan dalam benak kita saat adonan kue yang tadinya berwarna putih dimasukkan dan saat keluar dari oven tiba-tiba berubah warna kecokelatan. Pertanyaan dalam benak tersebut mungkin bagi sebagian anak akan menghantui masa kecilnya, bahkan akan terbawa mimpi saat tidurnya.
Warna merupakan menjadi salah satu fokus perhatian apabila kita mengamati suatu objek. Perhatian kita mungkin akan tertuju kepada warna-warna yang seringkali berubah-ubah seperti yang terdapat dalam sekitar kehidupan kita. Demikian juga yang terjadi pada makanan yang setiap hari kita santap, salah satunya adalah biskuit.
Biskuit merupakan salah satu makanan yang sangat digemari, baik di kalangan anak-anak hingga dewasa. Biskuit memiliki bentuk dan rasa yang sangat beraneka ragam. Tingkat kematangan dalam pembuatan biskuit dalam oven akan memberikan pengaruh perubahan warna yang kemudian akan berubah menjadi sedikit kecokelatan. Selain biskuit, buah-buahan seperti pisang, kulitnya sangat mudah berubah dari warna yang segar kuning ataupun hijau, menjadi cokelat kehitaman. Daging buah pisang apabila dipotong akan cepat berubah warna menjadi kecokelatan. Mengapa dapat terjadi proses pencokelatan (browning process) seperti itu?
Perlu diketahui bahwa proses pencokelatan dapat dibagi menjadi dua reaksi utama, yaitu pencokelatan enzimatis dan pencokelatan nonenzimatis. Proses pencokelatan enzimatis disebabkan oleh adanya aktivitas pada bahan pangan yang segar, seperti yang kita ketahui pada buah-buahan dan sayuran. Pencokelatan enzimatis ini terjadi pada buah-buahan yang banyak mengandung substrat fenolik, di samping katekin dan pengaruh penurunan terhadap tirosin, asam kafeat, asam klorogenal, serta leukoantoniasin dapat menjadi substrat proses pencokelatan yang terjadi. Senyawa fenolik jenis ortodihidroksi atau trihidroksi yang saling berdekatan merupakan substrat yang baik untuk proses pencokelatan.
Reaksi ini dapat terjadi apabila jaringan yang pada awalnya terpotong atau terkupas menyebabkan enzim memiliki kontak langsung dengan substrat yang biasanya merupakan asam amino tirosin dan komponen fenolik seperti katekin, asam kafeat.
Proses pencokelatan secara enzimatis terhadap pangan memiliki dampak yang menguntungkan dan juga sekaligus merugikan. Reaksi enzimatis bertanggung jawab pada warna dan rasa pada makanan. Dampak yang menguntungkan, misalnya adalah pada enzim polifenol oksidase yang bertanggung jawab terhadap karakteristik warna cokelat keemasan pada buah-buahan yang telah dikeringkan seperti pada kismis, buah prem, kurma, dan ara. Dampak merugikannya adalah berkurangnya kualitas produk pangan; tidak lagi menjadi segar, sehingga dapat menurunkan nilai ekonomisnya.
Perubahan warna ini tidak hanya mengurangi kualitas secara visual, tetapi juga menghasilkan perubahan rasa serta hilangnya nutrisi. Reaksi pencokelatan dapat menyebabkan kerugian perubahan dalam penampilan dan sifat organoleptik dari makanan serta nilai pasar dari produk tersebut. Kecepatan perubahan pencokelatan enzimatis pada bahan pangan dapat dihambat dengan beberapa metode berdasarkan prinsip inaktivasi enzim yang memiliki peran dalam menghambat reaksi substrat dengan enzim. Adapun cara yang konvensional yang biasanya dilakukan adalah dengan cara perendaman bahan pangan ke dalam air atau larutan asam sitrat.
Sementara itu, pencokelatan nonenzimatis dapat terjadi tanpa pengaruh dari enzim, biasanya saat dilakukan pengolahan berlangsung. Pada kasus biskuit ketika diletakkan di dalam oven, warnanya berubah menjadi kecokelatan setelah keluar dari dalam oven karena biskuit tersebut mengalami proses karamelisasi pada gula, yaitu proses pencokelatan yang disebabkan adanya proses pertemuan gula pereduksi dan asam amino (penyusun protein) pada suhu yang tinggi di dalam kurun waktu yang lama. Perlu diingat bahwa gula yang dimaksud di sini bukan berarti gula Jawa atau gula pasir, melainkan gula yang menjadi bagian dari karbohidrat, tepung terigu, dan pati (amilum) yang merupakan jenis gula kompleks, biasanya disebut dengan polisakarida. Reaksi pencokelatan nonenzimatis pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi proses karamelisasi dan reaksi Maillard.
Karamelisasi
Apabila suatu larutan sukrosa diinapkan, titik didihnya dapat meningkat. Keadaan ini akan terus berlangsung sehingga seluruh air menguap semuanya. Apabila keadaan tersebut terjadi, dan pemanasan secara terus-menerus dilakukan, cairan yang ada bukan lagi terdiri dari air, melainkan cairan sukrosa yang telah melebur. Titik lebur sukrosa adalah 160oC. Apabila gula yang telah mencair dipanaskan kembali secara terus-menerus dan suhunya melampaui titik leburnya, misalnya pada suhu 170oC, karamelisasi sukrosa akan terjadi.
Reaksi yang terjadi apabila gula mulai hancur atau terpecah-pecah dan tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi, paling sedikit reaksi tersebut melalui tahap-tahap seperti berikut ini. Mula-mula setiap molekul yang terdapat pada sukrosa dipecah menjadi sebuah molekul glukosa dan sebuah fruktosan (fruktosa yang kekurangan satu molekul air). Suhu yang tinggi ini pada nantinya akan mampu mengeluarkan sebuah molekul air dari setiap molekul gula, sehingga terbentuklah glukosan, yang merupakan suatu molekul yang analog dengan fruktosan. Proses pemecahan dan dehidrasi ini kemudian diikuti dengan polimerisasi yang menghasilkan warna kecokelatan.
Reaksi Maillard
Reaksi Maillard merupakan reaksi yang terjadi antara asam amino dan gula pereduksi yang memberikan warna kecokelatan pada makanan. Reaksi ini terjadi khususnya pada karbohidrat. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan yang berwarna kecokelatan. Reaksi Maillard berlangsung melalui tahapan sebagai berikut ini:
- Suatu adonan bereaksi terhadap asam amino atau dengan suatu gugus amino dari protein sehingga menghasilkan basa Schiff.
- Perubahan terjadi menurut reaksi Amadori, sehingga menjadi amino kitosan.
- Hasil reaksi Amadori yang membentuk turunan-turunan furfuraldehida, misalnya dari heksosa diperoleh hidroksi metil furfural.
- Proses selanjutnya menghasilkan metil a-dikarbonil yang diikuti oleh penguraian yang menghasilkan reduktor-reduktor dan α-dikarboksil seperti metilglikosal, asetol, dan diasetil.
- Alhedid-alhedid aktif dari 3 dan 4 yang terpolimerasi tanpa mengikutsertakan gugus amino (disebut kondensasi aldol) atau dengan gugusan amino untuk membentuk senyawa berwarna cokelat yang kemudian disebut sebagai meladoidin.
Reaksi Maillard terjadi antara gugusan asam amino dan gula pereduksi (gugus keton atau aldehidnya). Melalui reaksi tersebut akan terbentuk sebuah pigmen berwarna cokelat melanoidin yang memiliki bobot molekul besar. Reaksi yang diawali dengan reaksi antara gugus alhedid atau keton pada gula dengan asam amino pada protein ini membentuk glukosilamin. Selain gugus alhedid/keton dan gugus amino, faktor yang mempengaruhi reaksi Maillard adalah suhu, tingkat konsentrasi gula, konsentrasi amino, tingkat pH dan jenis gula.
Reaksi Maillard ini berlangsung secara cepat pada suhu 100 oC, tetapi tidak terjadi pada suhu 150 oC. Kadar air 10-15% adalah kadar air terbaik bagi proses reaksi Maillard ini, sedangkan kecepatan proses reaksi ini akan menurun pada kadar air yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Pada umumnya molekul gula yang lebih kecil akan bereaksi lebih cepat dibandingkan dengan molekul gula yang lebih besar. Dalam hal ini, konfigurasi stereokimia juga memberikan pengaruh, misalnya pada sesama molekul heksosa, galaktosa lebih reaktif dibandingkan dengan yang lainnya.
Reaksi Maillard telah memberikan perubahan yang besar bagi industri makanan, sebab reaksi ini memberikan pengaruh terhadap aroma, rasa, dan warna pada makanan. Di antaranya pada industri kopi dan biji kokoa, proses pengembangan pada roti dan kue, dan proses pembakaran yang terjadi pada sereal dan pemasakan daging. Lebih jauh lagi, produk dari reaksi Maillard ini dapat menyebabkan penurunan nilai gizi secara signifikan. Penurunan kandungan gizi yang penting ini terjadi akibat adanya pembentukan senyawa baru yang bersifat mutagenik.
Bahan bacaan:
- Buckle, K. A. (1987). Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
- Eskin, N. A. M. (1991). Biochemistry of Food. New York: Academic Press.
- Fennema, O. W. (1985). Principle of Food Science: Food Chemistry 2nd (ed). New York: Marcel Dekker Inc,
- Richardson, T. (1991). Enzymes O.R.: Food Chemistry Principles on Food Science (part 1). New York: Marcel Dekker Inc.
Penulis:
Isma Nur Amalia, Mahasiswi Ilmu Gizi, Universitas Airlangga.
Kontak: Ismaamalia1(at)gmail(dot)com.