Teman-teman pasti pernah atau bahkan sering menemui benda-benda yang menggunakan prinsip-prinsip mekanika seperti tuas, katrol, dan sebagainya. Secara umum benda-benda yang mengubah suatu energi untuk melakukan suatu aksi disebut dengan mesin. Katrol, sekrup, pegas, merupakan contoh-contoh paling sederhana dari mesin yang biasa disebut pesawat sederhana dan sudah dipelajari di pelajaran IPA sejak sekolah dasar.
Sekarang coba teman-teman bayangkan benda-benda tersebut terdiri hanya dari beberapa molekul yang disusun sedemikian rupa sehingga mampu melakukan gerakan seperti benda-benda tadi. Pada awalnya mungkin terdengar mustahil untuk mensintesisnya. Akan tetapi, penemuan yang mendobrak kemustahilan itulah yang pada akhirnya diganjar penghargaan Nobel Kimia tahun 2016 ini. Jean-Pierre Sauvage, Sir J. Frasser Stoddart, dan Bernard L. Feringa, masing-masing dari Prancis, Skotlandia, dan Belanda, dianugerahi penghargaan paling prestisius dalam dunia sains ini atas kontribusi mereka mendesain dan mensistesis mesin-mesin molekuler.
Berawal dari rantai molekuler
Jika teman-teman pernah belajar kimia organik, biasanya yang terbayangkan adalah serangkaian cincin-cincin aromatik atau rantai-rantai karbon yang panjang dengan beberapa atom oksigen atau nitrogen terselip di antara cincin-cincin dan rantai tersebut. Molekul-molekul organik ini kemudian bisa berinteraksi dengan molekul lain melalui gaya antarmolekul dan juga bisa berikatan membentuk molekul yang lebih besar dengan ikatan kovalen.
Pertengahan abad ke-20, para ilmuwan kimia mencoba membuat agar molekul-molekul tersebut tidak “berikatan” dengan molekul lainnya, tetapi saling bertautan dengan kuat. Dengan kata lain, molekul satu terkunci dengan molekul lainnya dengan ikatan mekanik tanpa atom-atom dari masing-masing molekul membentuk ikatan kovalen dengan atom dari molekul lain. Inilah yang dianggap sebagai cikal bakal sintesis mesin molekuler: rantai molekuler.
Seiring berjalannya waktu, banyak publikasi yang melaporkan bahwa mereka telah berhasil mensistesis rantai molekuler. Namun, pada kenyataannya senyawa akhir yang dilaporkan mengandung rantai molekuler tersebut sangat sedikit dan metode pembuatannya sangat rumit. Sampai akhirnya pada tahun 1983, professor dari Universitas Strasbourg, Jean-Pierre Sauvage dan tim risetnya berhasil mensintesis sebuah senyawa yang terdiri dua molekul cincin besar yang terpaut satu sama lain yang disebut Catenane. Dengan bantuan ion tembaga, Sauvage dan timnya berhasil mencapai hasil akhir 42%. Suatu lonjakan yang sangat drastis dari yang pernah disintesis sebelum-sebelumnya.
Uniknya, riset yang dilakukan Sauvage pada awalnya bukan di bidang sintesis senyawa organik, melainkan di bidang photochemistry. Saat itu dia dan timnya mengembangkan senyawa kompleks yang bisa memanfaatkan energi dari matahari untuk melakukan reaksi kimia. Pada suatu kesempatan dia menemukan bahwa molekul yang dibuatnya mirip dengan rantai molekuler yang sedang dikembangkan ilmuwan-ilmuwan lain. Dari situ ia dan timnya merancang reaksi untuk membuat rantai molekuler. Satu molekul berbentuk cincin dan sebuah molekul berbentuk sabit berpautan di sekitar ion tembaga, kemudian molekul berbentuk sabit lain direaksikan dengan molekul sabit yang telah berpautan dengan molekul cincin di sekitar atom tembaga. Ion tembaga kemudian dihilangkan sehingga yang tersisa hanya dua molekul berbentuk cincin yang saling berpautan satu sama lain.
Sebelum Jean-Pierre Sauvage berhasil mensintesis Catenane, riset untuk membuat rantai molekuler dipandang sebagai riset yang hanya berdasarkan rasa penasaran dan bukan kimia fungsional. Baru setelah keberhasilan Sauvage dan timnya, riset di bidang ini dianggap memiliki potensi lebih jauh ke depannya daripada hanya sekedar penasaran. Sauvage sendiri setelah berhasil mensintesis Catenane, melanjutkan risetnya dengan membuat salah satu molekul cincin berevolusi terhadap molekul cincin lainnya ketika diberikan energi.
Berlanjut ke shuttle molekuler
Di tempat lain, seorang professor dari Britania Raya, Sir James Frasser Stoddart dan timnya berhasil mensintesis dengan efisiensi tinggi sebuah shuttle molekuler, yakni satu senyawa berbentuk cincin dapat bergerak maju mundur sepanjang sebuah molekul yang berperan sebagai sumbu. Sebenarnya usaha mensintesis shuttle molekuler yang kemudian disebut Rotaxane ini kira-kira sudah dimulai bersamaan dengan Catenane. Namun lagi-lagi pada saat itu efisiensinya sangat rendah dan hasil yang diperoleh sangat sedikit.
Metode sintesis Rotaxane yang digunakan Stoddart dan timnya adalah dengan menggunakan gaya tarik antara molekul kaya elektron dan molekul miskin elektron. Molekul cincin miskin elektron yang pada awalnya terbuka pada salah satu bagiannya dicampur dengan molekul sumbu yang kaya elektron sehingga molekul cincin tertarik ke molekul sumbu. Selanjutnya, bagian molekul cincin yang terbuka ditutup sehingga molekul cincin bisa tetap berada pada molekul sumbunya. Ketika diberikan energi panas, molekul cincin tersebut bergerak maju mundur antara dua ujung yang kaya elektron di sepanjang molekul sumbu.
Tidak berhenti sampai di situ, Stoddart serta tim terus mengembangkan Catenane dan Rotaxane bahkan berkolaborasi dengan Sauvage di beberapa penelitian mereka. Stoddart dan timnya melanjutkan pengembangan Rotaxane dengan memodifikasi molekul-molekul yang digunakan sehingga pergerakan maju mundur molekul cincin dapat dikontrol tidak hanya dengan energi panas namun juga dengan cara redoks elektrokimia maupun pengaturan pH.
Selain itu, Sauvage dan Stoddart juga membuat sistem-sistem mekanik lain dari Rotaxane. Stoddart dan tim misalnya, berhasil membuat sebuah “lift” molekuler dari gabungan beberapa Rotaxane yang dapat mengangkat benda sejauh 0,7 nm dari permukaan asalnya. Sauvage sendiri berhasil mensintesis Rotaxane yang dimodifikasi sehingga menyerupai filamen pada otot manusia yang dapat memanjang dan memendek dengan induksi kimiawi.
Sampai pada motor molekuler
Berbagai penelitian dalam bidang sistem mesin molekuler oleh Sauvage dan Stoddart menarik perhatian ilmuwan-ilmuwan lain pada bidang ini. Setelah rotaxane dan catenane serta modifikasi-modifikasinya berhasil disintesis, para ilmuwan menargetkan untuk bisa mensintesis motor molekuler, yaitu sebuah molekul yang memungkinkan perputaran ke satu arah tertentu setelah diberikan energi. Akhirnya pada tahun 1999, seorang professor dari Belanda, Bernard L. Feringa dan timnya berhasil mensintesis motor molekuler.
Tidak seperti riset-riset motor molekuler sebelumnya yang lebih banyak menggunakan ikatan tunggal untuk memungkinkan rotasi, Feringa dan timnya membuat motor molekuler dengan perputaran terjadi di ikatan rangkap dua yang dapat diisomerisasi. Mereka membuat dua molekul planar berikatan dengan ikatan rangkap dua dan menambah gugus metil pada masing-masing molekul yang berfungsi sebagai pengganjal sehingga perputaran ke arah sebaliknya tidak dimungkinkan. Molekul ini dapat berputar satu arah seperti layaknya motor ketika diberikan energi cahaya. Tahun 2014 lalu, dilaporkan bahwa motor molekuler yang dioptimisasi Feringa dan timnya telah mencapai angka 12 juta putaran tiap detik.
Mesin-mesin lainnya
Hingga saat ini, telah dibuat berbagai macam mesin molekuler lain seperti baling-baling molekuler, klip molekuler, hingga sakelar molekuler dengan fungsinya masing-masing. Masih banyak mesin-mesin dalam skala makro yang belum dibawa ke level molekuler ini. Ke depannya, pengembangan dalam bidang ini diharapkan dapat menghasilkan berbagai macam teknologi dalam skala nano yang berguna untuk hal-hal seperti pengiriman obat (drug delivery), terapi gen, atau bahkan membuat robot molekuler yang dapat melakukan berbagai macam pekerjaan. Tertarik untuk berkecimpung di bidang ini?
Bahan bacaan:
- http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/chemistry/laureates/2016/popular-chemistryprize2016.pdf
- http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/chemistry/laureates/2016/advanced-chemistryprize2016.pdf
- https://en.wikipedia.org/wiki/Molecular_machine
Penulis:
Ahmad Faiz Ibadurrahman, mahasiswa National Institute of Technology, Wakayama College, Jepang.
Kontak: ahmad21faiz(at)yahoo(dot)com.