Di suatu senja di awal Oktober 2016, penulis mendapati beberapa minivan dengan pemacar satelit di depan kampus. Mereka adalah para jurnalis yang datang untuk meliput siaran pers pemenang Nobel Kedokteran 2016, Prof. Yoshinori Ohsumi, profesor kehormatan di Tokyo Institute Technology, tempat penulis belajar saat ini. Seperti masyarakat Jepang lainnya, penulis pun turut bergembira akan pencapaian Ohsumi sensei ini. Siaran mengenai Profesor Ohsumi, mulai dari jumpa pers hingga liputan tentang mikroskop yang sering beliau pakai di laboratorium, menghiasi layar kaca selama beberapa hari setelahnya. Penghargaan Nobel kali ini terasa spesial bagi masyarakat Jepang, karena ini adalah Nobel Kedokteran ketiga yang diberikan kepada peneliti Jepang, dalam kurun waktu empat tahun.
Prof. Yoshinori Ohsumi dianugerahi Nobel Kedokteran 2016 atas perannya dalam menguraikan mekanisme yang mendasari proses autophagy (autofagi), proses fundamental dalam perombakan dan daur ulang komponen sel. Autofagi, berasal dari bahasa Yunani, auto-, artinya “sendiri”, dan phagein, artinya “untuk memakan”. Oleh karena itu, autofagi diartikan sebagai “memakan diri sendiri”. Proses ini pertama kali diamati pada tahun 1960-an, ketika para peneliti menemukan bahwa sebuah sel bisa menghancurkan komponen selnya sendiri ketika sel dalam keadaan kelaparan dengan cara melingkupinya dengan membran, yang disebut lysosome (lisosom). Jadi, Prof. Ohsumi bukan penemu lisosom, melainkan beliau menjelaskan proses terjadinya autofagi dalam lisosom menggunakan organisme model berupa ragi (jamur) roti, Saccharomyces cerevisiae.
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang proses autofagi, mari kita menengok sekilas struktur sel. Secara umum, sel makhluk hidup dapat dibedakan berdasarkan keberadaan inti dan organel bermembran. Sel yang memiliki membran inti dan organel disebut eukariot, sebaliknya sel tanpa inti dan organel disebut prokariot. Lisosom adalah organel bermembran yang terdapat dalam sel hewan, tetapi untuk sel tumbuhan dan jamur disebut sebagai vakuola. Prof. Ohsumi mengamati degradasi protein di vakuola ragi roti, S. cerevisiae, karena sel ragi adalah sel eukariot yang mudah ditemukan dan dibiakkan. Ragi ini juga memiliki gen-gen dengan fungsi yang mirip dengan sel manusia. Namun, karena sel ragi sangat kecil, Prof. Ohsumi sempat tidak yakin bahwa proses autofagi dapat diamati pada sel ini.
Kemudian agar proses autofagi terlihat jelas di bawah mikroskop, Prof. Ohsumi menggabungkan keadaan pemicu autofagi pada sel ragi mutan yang tidak memiliki enzim penghancur protein (protease) yang biasanya bekerja di vakuola. Sel ragi dibuat kelaparan dengan medium tumbuh yang miskin nutrien, sehingga memicu sel untuk melakukan autofagi. Proses awal autofagi, yaitu pembentukan bentuk bulatan bermembran berisi organel yang akan dihancurkan (autofagosom) pun dapat terlihat karena proses penghancuran dengan enzim protease tidak bisa dilakukan oleh sel ragi mutan tersebut. Pengamatan ini membuktikan bahwa autofagi terjadi di sel ragi. Ini merupakan penelitian terobosan karena terbukti dengan metode itu proses autofagi dapat terlihat dengan jelas.
Langkah selanjutnya adalah mengenali gen-gen yang terlibat dalam proses autofagi ini. Apabila gen yang terlibat dalam proses autofagi mengalami mutasi, yakni perubahan DNA akibat paparan mutagen (bisa berupa sinar matahari, zat kimia, dll), meskipun sel dibuat kelaparan, autofagosom tidak akan terbentuk. Masih menggunakan sel ragi mutan yang sama, Prof. Ohsumi memaparkan sel tersebut kepada bahan-bahan kimia pemicu mutasi acak, setelah itu sel dibuat kelaparan. Sel yang tidak membentuk autofagosom kemudian diisolasi untuk menentukan gen apa yang mengalami mutasi. Dengan cara ini, Prof. Ohsumi menemukan bahwa ada serangkaian gen yang saling mempengaruhi dalam proses autofagi.
Proses autofagi pada sel ragi ini ternyata hampir identik pada sel organisme lain. Autofagi dapat menyediakan bahan bakar dan bahan dasar pembentuk organela sel dalam waktu singkat, oleh karena itu proses ini sangat penting ketika sel sedang kelaparan atau mengalami stres. Sel juga melakukan autofagi untuk mendaur ulang protein dan organel yang rusak, mirip dengan proses quality control di pabrik. Gangguan dalam mekanisme autofagi pun berhubungan dengan penyakit Parkinson, diabetes tipe 2, dan kanker. Saat ini berbagai penelitian dilakukan untuk menciptakan obat yang menarget proses autofagi untuk mengobati berbagai jenis penyakit.
Fenomena autofagi telah diketahui lebih dari lima puluh tahun yang lalu, tetapi mekanisme terjadinya autofagi ini baru dapat diketahui setelah penelitian Prof. Yoshinori Ohsumi dipublikasikan pada awal 1990-an. Oleh karena itulah, Prof. Ohsumi dianugerahi Nobel Kedokteran.
Bahan bacaan:
- Karolinska Institute. 2016. Press Release: The Nobel Prize in Physiology or Medicine 2016 Yoshinori Ohsumi. https://www.nobelprize.org/nobel_prizes/medicine/laureates/2016/press.html
- Takeshige, K., Baba, M., Tsuboi, S., Noda, T. and Ohsumi, Y. (1992). Autophagy in yeast demonstrated with proteinase-deficient mutants and conditions for its induction. Journal of Cell Biology 119, 301-311
- Tsukada, M. and Ohsumi, Y. (1993). Isolation and characterization of autophagy-defective mutants of Saccharomyces cervisiae. FEBS Letters 333, 169-174
- Mizushima, N., Noda, T., Yoshimori, T., Tanaka, Y., Ishii, T., George, M.D., Klionsky, D.J., Ohsumi, M. and Ohsumi, Y. (1998). A protein conjugation system essential for autophagy. Nature 395, 395-398
- Ichimura, Y., Kirisako T., Takao, T., Satomi, Y., Shimonishi, Y., Ishihara, N., Mizushima, N., Tanida, I., Kominami, E., Ohsumi, M., Noda, T. and Ohsumi, Y. (2000). A ubiquitin-like system mediates protein lipidation. Nature, 408, 488-492
Penulis:
Ajeng K. Pramono, Departement of Biological Science, Tokyo Institute of Technology, Jepang.