Mekanisme Replikasi DNA

Tepat pada tanggal 7 Oktober 2015, lembaga pemberi penghargaan Nobel, The Royal Swedish Academy of Sciences, mengumumkan peraih Nobel di bidang kimia tahun ini diberikan kepada Thomas Lindahl, Paul Modrich, dan Aziz Sancar. Mereka diberi penghargaan tertinggi di bidang kimia setelah meneliti tentang kestabilan DNA, dinamika, hingga mekanisme replikasi DNA yang terjadi di dalam tubuh makhluk hidup hingga skala molekular. Sebelum membahas jauh ke sana, yuk kita cari tahu dulu apa sih DNA itu.

Menurut tulisan Rachael Rettner di situs Live Science, DNA yang merupakan kependekan dari Deoxyribonucleic Acid, merupakan molekul penyusun makhluk hidup terkecil yang menyebabkan suatu makhluk hidup menjadi unik dan spesifik. Karenanya, dua orang manusia kembar pun tidak mungkin sama persis, baik itu sifat maupun penampakan fisiknya, sebagai akibat adanya perbedaan komponen penyusun struktur DNA ini.

Friedrich Miescher, profesor dari University of Tübingen, Jerman adalah ilmuwan yang pertama kali berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi keberadaan DNA dalam bentuk nuclein pada tahun 1869. Seabad setelahnya baru kemudian Watson dan Crick, ilmuwan dari University of Cambridge dapat menemukan bentuk struktur untai ganda (double helix structure) dari molekul DNA melalui data-data yang dikumpulkan dari koleganya Rosalind Franklin dan Maurice Wilkins pada tahun 1953. Akibat bentuk strukturnya yang berupa untaian ganda yang terpilin rapat hingga terbentuk kromosom, jika kita mengambil molekul DNA dalam 1 sel, kemudian mengurai pilinannya dan meletakkan pada wadah yang lurus, untaian tersebut dapat memanjang hingga 3 meter panjangnya (untuk 1 sel saja). Menakjubkan, bukan?

Struktur DNA. Sumber: http://kva.se
                                                        Struktur DNA. Sumber: http://kva.se

Pada era awal penemuannya, sekitar tahun 1970-an, DNA ini dianggap molekul yang sangat stabil karena merupakan molekul penyusun makhluk hidup. Proses evolusi jelas membutuhkan mutasi, tetapi proses evolusi membutuhkan rentang waktu yang sangat lama dan jumlah makhluk yang mengalami mutasi genetis juga sangatlah sedikit pada tiap generasinya. Jika informasi genetika tidak stabil, itu berarti tidak akan ada organisme multiseluler yang eksis. Atas dasar itulah tidak ada satupun ilmuwan yang meragukan pernyataan tersebut.

Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk RNA (Ribonucleic Acid), yang merupakan kerabat dekat dari DNA, karena Tomas Lindahl menemukan bahwa molekul RNA ternyata dapat mengalami degradasi atau kerusakan. DNA ditemukan juga mengalami kerusakan, tetapi dalam waktu yang jauh lebih lama. Oleha karenanya, saat itu beliau mulai berpikir, pasti akan ada faktor eksternal lain yang dapat menyebabkan kerusakan struktur DNA. Salah satunya adalah pertumbuhan makhluk hidup.

Setiap individu makhluk hidup akan mengalami pertumbuhan dan perkembangbiakan, yang berarti DNA juga pasti telah mengalami perubahan. Pada setiap perubahan yang terjadi ternyata Lindahl mencatat adanya kesalahan ataupun kerusakan DNA dalam proses replikasi, meski dalam tempo yang lambat. Namun, ada sebuah proses yang memungkinkan kerusakan DNA tersebut dapat menjadi normal kembali. Fenomena ini membuat Lindahl semakin tertarik untuk terus mendalami proses repair (perbaikan) tersebut.

Semenjak ditemukannya tahap pertama dari proses perbaikan DNA pada tahun 1974, pelan tapi pasti, akhirnya beliau berhasil merumuskan proses tersebut menjadi tahapan yang utuh pada tahun 1986. Saat itu akhirnya beliau berhasil mengilustrasikan bagaimana perbaikan perusakan DNA dapat terjadi. Lindahl menamakan proses tersebut sebagai base excision repair atau perbaikan dengan pemotongan basa. Kerusakan yang sering muncul ialah basa sitosin yang sangat mudah kehilangan gugus amino-nya (-NH2) membentuk basa urasil. Hal ini membuat basa guanin yang pada mulanya berpasangan dengan sitosin, akan menjadi tidak dapat berpasangan dengan urasil.

Ilustrasi mekanisme “Base Excision Repair”. Sitosin yang kehilangan gugus aminonya menjadi urasil, tidak bisa berpasangan dengan guanin, sehingga enzim glikosilase yang menemukan kerusakan tersebut akan memotong basa urasil. Pasangan dari enzim tersebut memotong nukleotida yang rusak, kemudian DNA polimerase mengisi kekosongan dan DNA ligase menyegel nukleotida yang baru dengan induknya. Sumber: http://kva.se
Ilustrasi mekanisme “Base Excision Repair”. Sitosin yang kehilangan gugus aminonya menjadi     urasil, tidak bisa berpasangan dengan guanin, sehingga enzim glikosilase yang menemukan        kerusakan tersebut akan memotong basa urasil. Pasangan dari enzim tersebut memotong            nukleotida yang rusak, kemudian DNA polimerase mengisi kekosongan dan DNA ligase                           menyegel nukleotida yang baru dengan induknya. Sumber:http://kva.se

Dalam sel, kesalahan pasangan basa ini akan segera ditemukan oleh enzim glikosilase. Enzim tersebut akan memotong basa urasil, kemudian pasangan dari enzim glikosilase akan bertugas memotong nukleotida yang tersisa dari basa urasil mula-mula. Proses selanjutnya ialah DNA polimerase akan mengisi gap atau ruang kosong hasil pemotongan tadi dengan untai DNA baru yang telah terikat dengan basa sitosin. Proses perbaikan ditutup dengan pengikatan untai DNA baru ke untai DNA induknya.

Selain akibat pertumbuhan dan pemanasan, kerusakan DNA juga terjadi akibat paparan radiasi sinar UV. Bakteria akan mati jika terpapar radiasi UV, tetapi kerusakan akibat paparan sinar tampak (visible light) warna biru, masih dapat diperbaiki. Aziz Sancar, ilmuwan asal Turki, dialah yang menemukan semua fenomena tersebut. Bekerja sama dengan peneliti asal amerika, Claud Rupert, Aziz Sancar sukses mengkloning gen untuk enzim yang dapat memperbaiki kerusakan DNA akibat UV, sehingga dapat membantu bakteri dalam hal perbaikan DNA. Enzim ini disebut sebagai enzim fotoliase (photolyase). Hasil temuan ini merupakan hasil disertasi beliau, meskipun pada akhirnya tidak mendapat respon positif dari banyak kalangan, sehingga hal ini membuat beliau mengalami penolakan lamaran pekerjaan di beberapa instansi penelitian setempat.

Yale University School of Medicine akhirnya menerima lamaran kerja Aziz Sancar, meskipun pekerjaan beliau mengenai enzim fotoliase harus dikesampingkan. Di instansi itulah beliau mulai meneliti tentang perbaikan kerusakan DNA akibat UV. Kerusakan akibat UV ternyata diketahui memiliki mekanisme pemulihan yang lebih kompleks dibandingkan dengan kerusakan DNA akibat pasangan basa, seperti yang telah ditemukan oleh Lindahl sebelumnya. Namun secara kimiawi, prosedur pemulihan memiliki pola yang hampir sama dengan mekanisme perbaikan pemotongan basa.

Mekanisme ini dinamakan Nucleotide Excision Repair (perbaikan pemotongan nukleotida). Ketika DNA terpapar oleh radiasi UV atau cahaya biru, ikatan pasangan basa akan mengalami kerusakan/degradasi. Enzim eksonuklease akan mendeteksi daerah kerusakan dan memotong 12 untai DNA yang ada di sekitar area kerusakan tersebut. DNA polimerase kemudian mengisi gap yang kosong akibat fasa pemotongan dengan untai DNA baru. Tahap akhir kemudian ditutup dengan aktivitas DNA ligase yang menyegel untai DNA baru tersebut kepada untai DNA induk. Karena keberhasilan beliau dalam mengilustrasikan mekasime perbaikan DNA ini, membuat beliau mendapatkan hadiah Nobel di bidang kimia pada tahun 2015, meskipun penelitian ini sudah beliau dalami sejak tahun 1976.

Ilustrasi mekanisme “Nucleotide Excision Repair”. Dua timin yang rusak akibat radiasi UV, 12 nukleotida disekitarnya dipotong dengan enzim eksinuklease. Kemudian DNA polimerase dan DNA ligase memerankan peran yang dama dengan mekanisme “Base Excision Repair”. Sumber: http://kva.se
    Ilustrasi mekanisme “Nucleotide Excision Repair”. Dua timin yang rusak akibat radiasi UV, 12 nukleotida disekitarnya dipotong dengan enzim eksinuklease. Kemudian DNA polimerase dan DNA                        ligase memerankan peran yang dama dengan mekanisme “Base Excision Repair”.                                                                                                 Sumber: http://kva.se

Sama seperti Tomas Lindahl dan Aziz Sancar, riset Paul Modrich juga mempelajari tentang sistem perbaikan DNA yang terjadi dalam tubuh manusia. Tumbuh dan besar di kota kecil bagian utara New Mexico, USA, ayah beliau yang saat itu merupakan guru biologi mengatakan pada calon peraih Nobel ini bahwa Modrich harus mempelajari tentang DNA. Hal ini terjadi pada tahun 1963, setahun setelah Watson dan Crick mendapatkan hadiah Nobel atas penemuannya tentang struktur DNA.

Beberapa tahun kemudian, DNA telah menjadi bagian hidup Paul Modrich karena beliau mulai mempelajari DNA sejak menjadi mahasiswa doktor di Stanford, lalu pascadoktoral di Harvard, hingga menjadi asisten profesor di Duke University. Saat itu beliau meneliti tentang urutan enzim yang mempengaruhi DNA yaitu DNA ligase, DNA polimerase, dan enzim Eco. RI. Namun semenjak akhir tahun 1970, beliau mengalihkan perhatiannya ke arah enzim Dam methylase. Bidang riset inilah yang membawa beliau dapat membuat ilustrasi mekanisme perbaikan DNA melalui proses perbaikan kesalahan pasangan basa atau yang dikenal sebagai Mismatch repair.

Ilustrasi mekanisme “Mismatch Repair”. Enzim MutS dan MutL mendeteksi kerusakan pasangan basa, kemudian enzim MutH memasangkan gugus metil DNA, yang berfungsi sebagai template. Enzim MutL memotong daerah yang mengalami kerusakan, kemudian DNA polimerase dan DNA ligase menjalankan peranannya. Sumber: http://kva.se
     Ilustrasi mekanisme “Mismatch Repair”. Enzim MutS dan MutL mendeteksi kerusakan pasangan basa, kemudian enzim MutH memasangkan gugus metil DNA, yang berfungsi sebagai template. Enzim      MutL memotong daerah yang mengalami kerusakan, kemudian DNA polimerase dan DNA ligase                                                      menjalankan peranannya. Sumber: http://kva.se

Bersama dengan koleganya dari Harvard University, Meselson, Modrich mencoba membuat virus penginfeksi bakteri dengan beberapa kesalahan pasangan basa pada DNA. Ketika beliau membiarkan virus menginfeksi bakteri, secara menakjubkan bakteri dapat memperbaiki DNA dalam waktu yang sangat singkat. Tidak ada yang mengetahui fenomena tersebut, tetapi beliau berspekulasi bahwa mekanisme perbaikan yang memperbaiki kesalahan pasangan basa tersebut juga sering terjadi pada sistem replikasi DNA. Jika demikian beliau dapat berasumsi bahwa mungkin gugus metil (-CH3) pada DNA membantu bakteri mengidentifikasi letak kesalahan pasangan basa yang terjadi. Hal ini dikarenakan untai DNA yang baru tidak memiliki gugus metil.

Setelah itu mereka mencoba membuat virus dengan sejumlah kesalahan pasangan pada DNA-nya tetapi kali ini enzim dan metilase ditambahkan pada salah satu untai DNA. Ketika virus diinfeksikan pada bakteri, bakteri secara konsisten mampu memberbaiki kerusakan yang terjadi tanpa hilangnya gugus metil yang ditambahkan. Pada saat itu akhirnya Modrich menyimpulkan bahwa mismatch repair adalah proses alamiah yang memperbaiki kesalahan yang terjadi pada DNA ketika DNA disalin, melalui bantuan gugus metil yang terdapat pada DNA.

Selain base excision repair, nucleotide excision repair, dan mismatch repair, sebenarnya masih terdapat beberapa mekanisme lain yang menjaga DNA kita. Setiap hari mereka memperbaiki ribuan hingga jutaan kerusakan DNA yang disebabkan oleh matahari, asap rokok, atau senyawa toksik yang lain. Mereka secara cepat akan memperbaiki melalui pengubahan secara spontan.

Genom kita akan rusak tanpa semua mekanisme perbaikan tersebut. Jika hanya ada 1 komponen yang gagal, informasi genetik akan berubah secara cepat dan berisiko meningkatkan kanker. Kerusakan bawaan (congenital damage) pada proses nucleotide excision repair, dapat menyebabkan penyakit xeroderma pigmentosum; individu yang menderita penyakit yang sangat sensitif terhadap radiasi UV dan kanker kulit dapat berkembang jika kulit terpapar matahari. Kerusakan proses mismatch repair yang terjadi dapat meningkatkan risiko kanker usus besar secara turun menurun.

Dalam banyak kasus, satu atau lebih sistem perbaikan DNA mengalami kerusakan, sehingga membuat sel kanker DNA menjadi tidak stabil. Inilah alasan mengapa sel kanker sering bermutasi dan menjadi tahan (resistant) tehadap kemoterapi. Di waktu yang bersamaan, sel yang rusak ini justru lebih bergantung pada sistem perbaikan DNA yang masih berfungsi, karena tanpa sistem tersebut, DNA yang rusak tersebut akan menjadi semakin rusak dan sel akan mati. Sadar akan hal tersebut, peneliti akhirnya berusaha untuk menggunakan kelemahan itu dengan mengembangkan obat kanker yang dapat menghambat sistem kerja perbaikan yang tersisa tersebut. Melalui hal itu, diharapkan pertumbuhan sel kanker yang ada dapat diturunkan atau bahkan dihentikan. Salah satu contoh obat yang bekerja seperti itu ialah olaparib.

Dasar penelitian yang dilakukan oleh panitia hadiah Nobel bidang kimia tahun ini tidak hanya bergantung pada fungsionalisasi atau penerapan ilmu pengetahuan kita, tetapi juga didasarkan pada rasa ingin tahu yang sangat tinggi untuk menemukan atau mengembangkan hal baru agar dapat bermanfaat bagi masyarakat umum. Itulah yang menjadi landasan dipilihnya Lindahl, Sancar, dan Modrich sebagai peraih penghargaan Nobel Kimia.

Artikel ini akan ditutup dengan kutipan yang sangat menarik dari Paul Modrich,

“Itulah mengapa penelitian yang berbasis rasa ingin tahu merupakan fondasi dari sebuah penelitian, karena dengan bantuan sedikit keberuntungan, hal tersebut akan membantumu untuk mendapatkan apa yang tidak kamu bayangkan sebelumnya.”

Bahan bacaan:

 

Penulis:

Wahyu Satpriyo Putro, mahasiswa master di Department of Applied Chemistry and Biotechnology, Chiba University, Jepang. Kontak: wahyu_kim07(at)yahoo(dot)com.

Back To Top