Penyakit Jantung Bawaan atau PJB merupakan kelainan bawaan yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Sekitar 8 dari 1000 kelahiran hidup mengalami PJB. Masalahnya, tidak seluruh PJB mudah diketahui pada saat bayi tersebut dilahirkan. Lagipula, tidak semua rumah sakit di Indonesia memiliki alat diagnostik untuk memastikan adanya PJB pada bayi dan anak yang dikenal dengan ekokardiografi. Pada kasus dan kondisi tertentu, PJB malah diketahui setelah anak menginjak masa remaja.
Apa itu Penyakit Jantung Bawaan ?
Sesuai dengan namanya, PJB merupakan kelainan bawaan pada sistem organ jantung. Kelainan dapat berupa kelainan struktur atau kelainan irama jantung. Penyebab pastinya tidak diketahui. Namun, ada beberapa faktor risiko pada ibu hamil yang bisa mengakibatkan janinnya mengalami PJB, seperti ibu penderita diabetes, ibu mengkonsumsi alkohol, jamu-jamuan, atau obat-obatan tertentu, merokok, dan infeksi rubella.
Ada banyak jenis PJB, mulai dari kasus yang ringan sampai dengan kasus beratyang menimbulkan kegawatdaruratan. Pada bayi dapat ditemukan satu atau beberapa jenis PJB, atau tidak jarang merupakan suatu sindroma (kumpulan kelainan bawaan). Jenis PJB yang paling sering ditemukan adalah defek septum ventrikel. Jenis PJB lain yang juga banyak ditemukan adalah defek septum atrium, duktus arteriosus persisten, dan tetralogi Fallot. Masyarakat awam umumnya mengenal dengan satu istilah saja, yakni “jantung bocor”.
Bagaimana orangtua dapat mengetahui bayi/anak menderita PJB?
Gejala dan tanda klinis PJB sangat bervariasi, mulai dari yang tanpa gejala sampai dengan yang berat, bahkan mengancam jiwa (PJB kritis). Pada sebagian besar kasus, bayi dengan PJB baru diketahui setelah menimbulkan gejala dan tanda klinis beberapa minggu atau bulan setelah lahir. Sedangkan pada kasus tertentu, bayi akan meninggal pada hari-hari pertama kehidupannya setelah mengalami PJB krisis. Berikut ini adalah beberapa gejala dan tanda klinis PJB yang mudah dikenali oleh orangtua.
Sianosis (kebiruan)
Secara garis besar, PJB dibagi atas dua yakni, PJB sianosis dan asianosis. Hal ini berdasarkan tanda klinis yang mudah dikenali, yakni ada tidaknya sianosis (kebiruan) pada mukosa mulut, lidah, dan ujung-ujung tangan dan kaki. Namun, pembagian ini tidaklah kaku. Beberapa PJB sianosis pada bayi tidak memberikan gejala klinis kebiruan pada awal-awal kehidupannya dan baru muncul setelah berusia beberapa bulan kemudian, seperti tetralogy of Fallot. Pada anak yang pucat, tanda sianosis baru terlihat setelah mendapatkan transfusi darah.
Sebaliknya, PJB asianosis dapat menjadi tampak kebiruan setelah anak mendekati masa remaja, yang disebut dengan sindroma Eisenmenger. Tampak kebiruan harus dipastikan secara pasti di mukosa mulut dan lidah, yang disebut sianosis sentral. Jika hanya dijumpai pada ujung-ujung tangan dan kaki saja, kemungkinan lain adalah bayi mengalami kedinginan, disebut sianosis perifer. Kebiruan pada bagian tubuh yang lain bukanlah gejala dan tanda klinis PJB.
Adanya kebiruan ini sebaiknya dikonfirmasi dengan alat oksimeter dan tes oksigen untuk menilai saturasi oksigen di dalam arteri. Jika saturasi oksigen tetap rendah (di bawah 90%) dengan tes oksigen, sangat besar kemungkinan bayi menderita PJB sianosis. Namun, jika saturasi oksigen meningkat dan kebiruan menghilang secara perlahan, kemungkinan penyebabnya bukan PJB.
Tes oksigen tidak boleh terlalu lama sebab bisa saja bayi mengalami PJB kompleks dengan ketergantungan duktus arteriosus (PJB kritis). Apabila diberikan oksigen dengan konsentrasi tinggi dalam jangka lama, duktus arteriosus dapat menutup sehingga memperburuk keadaan dan bahkan kematian. Contohnya, pada atresia pulmonal dan transposisi arteri besar. Pada keadaan ini harus dipastikan diagnosisnya melalui pemeriksaan ekokardiografi dan bayi harus mendapat prostaglandin intravena untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka.
Apa yang harus dilakukan orangtua jika bayinya dicurigai mengalami PJB sianosis? Jika bayi dilahirkan di pusat pelayanan primer/sekunder (puskesmas, praktek bidan, dan RS) mengalami sianosis sentral, mintalah kepada tim medis setempat agar bayi segera dirujuk ke pusat pelayanan tersier (RS tipe A) untuk memastikan diagnosis dan tatalaksana sedini mungkin. Jika bayi dicurigai mengalami PJB krisis, selama proses rujukan sebaiknya diberikan oksigen dosis rendah saja atau mungkin tidak perlu diberikan terapi oksigen (jika tidak ada sesak napas).
Jika obat prostaglandin intravena tersedia dan tim medis mampu memberikannya, selama proses rujukan dapat diberikan obat tersebut secara drip menggunakan syringe pump. Obat ini berfungsi untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka sehingga aliran darah ke paru-paru cukup memadai. Masalahnya, obat ini belum tersedia di pusat pelayanan primer dan sekunder di Indonesia. Obat ini juga belum menjadi standar dalam sistem rujukan sehingga sebagian besar bayi yang mengalami PJB krisis tidak mendapatkan pertolongan yang optimal.
Sesak napas
Sesak napas bisa jadi merupakan gejala dan tanda klinis gagal jantung atau ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah yang cukup. Namun, sesak napas juga dapat disebabkan adanya sumbatan jalan napas, gangguan di paru-paru, ataupun gangguan hemodinamik lainnya. Sesak napas ditandai dengan napas cuping hidung, retraksi otot-otot dada, ataupun mudah lelah saat beraktivitas (minum susu, bermain, dan lain-lain).
Pada bayi, sesak napas ditandai dengan minum susu terputus-putus dan berkeringat di dahi. Sementara itu, pada anak dapat ditandai dengan lebih sering mengambil posisi jongkok. Napas cepat ditandai dengan laju napas yang meningkat sesuai usianya. Kelainan jantung yang dapat menimbulkan gejala sesak napas di antaranya adalah defek septum ventrikel besar dan duktus arteriosus persisten besar.
Apa yang harus dilakukan jika bayi/anak mengalami sesak napas? Mintalah pada tim medis untuk memberikan terapi oksigen. Jika sesak napas tidak berkurang, mungkin bayi/anak memerlukan alat bantu napas. Pada kondisi seperti ini, bayi/anak harus dirawat di pusat pelayanan sekunder atau tersier. Pemeriksaan awal yang harus dilakukan adalah dengan menggunakan stetoskop. Denyut jantung yang terdengar keras dan cepat juga bagian dari gejala gagal jantung. Jika disertai bising jantung, sangat besar kemungkinan bayi/anak mengalami PJB.
Selain itu juga dapat didengar adanya suara tambahan di paru-paru yang mungkin menunjukkan adanya penumpukan cairan di paru-paru. Pemeriksaan lain yang penting dilakukan adalah rontgen dada dan EKG. Pada rontgen dada dapat ditemukan ukuran jantung yang membesar atau bentuk dan posisi jantung yang tidak normal, sedangkan pada EKG dapat ditemukan adanya kelainan irama jantung. Pemeriksaan untuk memastikan adanya PJB adalah ekokardiografi yang hanya tersedia di fasilitas kesehatan tersier dan memiliki ahli jantung anak.
Berat badan sulit naik
Pada bayi dan anak dengan PJB, berat badan sulit naik merupakan tanda gagal jantung yang kronis. Namun, sangat banyak penyebab berat badan sulit naik yang terjadi pada bayi dan anak, seperti gangguan pola makan, tuberkulosis, dan infeksi kronis lainnya. Pemantauan tumbuh kembang sangat penting dilakukan. Jika bayi dan anak mengalami berat badan sulit naik, mintalah penjelasan dari hasil pemeriksaan dokter tentang penyebabnya.
Kesalahan menentukan diagnosis penyebabnya dapat mengakibatkan kesalahan pengobatan dalam jangka panjang. Tidak jarang anak dengan PJB didiagnosis dengan tuberkulosis atau gizi buruk saja. Jika penyebab berat badan sulit naik adalah PJB, bayi atau anak mungkin memerlukan penanganan multidisplin yang hanya tersedia di pusat pelayanan tersier.
Kelainan bawaan lain
Seringkali PJB juga ditemukan bersamaan dengan kelainan bawaan lain dan merupakan suatu sindroma (kumpulan gejala), seperti sindroma Down yang ditandai dengan keterbelakangan mental. Jika ditemukan kelainan bawaan di organ tubuh yang lain (katarak, bibir sumbing, tidak ada lubang anus, dan lain-lain), mintalah kepada dokter anda agar bayi atau anaknya dilakukan pemeriksaan ekokardiografi oleh dokter ahli jantung anak untuk memastikan ada tidaknya PJB.
Nyeri dada dan jantung berdebar
Sebagian besar penyebab nyeri dada pada anak bukanlah kelainan jantung, tetapi harus tetap dipertimbangkan pada kasus nyeri dada berulang, apalagi disertai gejala jantung berdebar atau pingsan. Yang sangat ditakutkan pada nyeri dada karena PJB adalah tanda dini kemungkinan anak mengalami kematian tiba-tiba (sudden death). Nyeri dada pada kelainan jantung biasanya lebih sering pada dada sebelah kiri. Nyeri dada pada PJB biasanya merupakan dijumpai gangguan irama jantung dan ditemukan riwayat yang sama pada anggota keluarga yang lain. Penyebab nyeri dada yang lain adalah gangguan pada otot-otot dada, kelainan paru-paru, nyeri lambung yang menjalar ke dada, dan trauma dada.
Penyebab nyeri dada harus diketahui segera melalui wawancara, pemeriksaan fisik, dan EKG. Pemeriksaan EKG sangat penting untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung. Sebagai tahap awal, dapat diberikan obat-obatan penghilang nyeri seperti parasetamol. Jika nyeri dada sering berulang dan curiga adanya PJB, mintalah kepada dokter untuk dirujuk ke dokter ahli jantung anakagar dilakukan pemeriksaan lanjutan.
Sebagai penutup, sebaiknya PJB diketahui sedini mungkin karena sangat mempengaruhi tatalaksana dan keberhasilan pengobatan. Namun, karena keterbatasan fasilitas dan sumber daya kesehatan di Indonesia, sebagian besar PJB masih terkena ‘sindroma 3T’, yakni terlambat diketahui, terlambat dirujuk, dan akhirnya terlambat ditangani. Padahal sebagian besar PJB saat ini sudah dapat disembuhkan serta memerlukan pemantauan jangka panjang. Oleh karena itu, orangtua dan masyarakat awam sangat penting mengetahui tentang PJB ini.
Penulis:
Rizky Adriansyah, staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK USU, Medan.
Kontak:rizkyadrians(at)gmail(dot)com.