MERS: Penyakit Pernapasan Akibat Infeksi Virus Jazirah Arab

Sindrom respirasi Timur Tengah, atau Middle-East Respiratory Syndrome (MERS), belakangan ini marak dibicarakan berbagai media. Penyakit ini diketahui disebabkan oleh beta coronavirus MERS-CoV berdasarkan temuan sampel dahak penderita radang paru pada saat wabah flu tahun 2012 di Arab Saudi. Seseorang yang terjangkit virus ini dapat mengalami sakit setelah masa inkubasi sekitar 12 hari.

Gejala yang timbul dari MERS seperti demam, batuk berdahak, dan sesak biasanya berlangsung selama 7 hari. Komplikasi berat penyakit ini adalah gagal ginjal dan juga gagal multiorgan sehingga berisiko menyebabkan kematian. Gejala-gejala ini serupa dengan wabah penyakit pernapasan berat akut (severe acute respiratory syndrome atau SARS) yang juga disebabkan oleh golongan coronavirus.

Jumlah kasus MERS seluruh dunia sejak September 2012 hingga saat ini adalah 537 kasus, dengan jumlah kematian 148 (28%) menurut data European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC). Angka-angka tersebut menggambarkan jumlah penderita yang tinggal di wilayah Timur Tengah atau penderita yang pernah bepergian ke wilayah Timur Tengah.

Penyebaran virus hingga saat ini telah mencapai berbagai negara selain Arab Saudi seperti Emirat Arab, Yordania, Qatar, Inggris, Kuwait, Tunisia, Oman, Perancis, Jerman, Malaysia, Yaman, Mesir, Yunani, Italia, Libanon, Filipina, Spanyol, dan Amerika Serikat. Indonesia sendiri mengalami dua kasus diduga MERS terhadap dua orang jemaah umrah dari Medan dan Bali dan hanya sempat dirawat beberapa jam sebelum akhirnya meninggal dunia.

Temuan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan bahwa asal muasal virus ini adalah dari hewan kelelawar dan kemungkinan juga bisa menjangkiti hewan ternak seperti unta dan kambing. Virus ini diduga menular melalui kontak erat dan melalui udara sehingga masuk ke saluran napas dan menimbulkan infeksi. Kejadian penularan ini masih dalam penelitian karena belum ada bukti pasti yang menunjukkan penularan antarhewan, penularan dari hewan ke manusia, dan tentu saja tidak mungkin dilakukan percobaan penularan dari hewan atau manusia terhadap manusia.

Tidak selalu orang yang mengalami kontak dengan MERS-CoV akan menderita MERS karena ada kelompok orang tertentu yang memiliki faktor risiko, suatu faktor yang menentukan orang tersebut lebih mungkin jatuh sakit menderita MERS. Temuan WHO menyebutkan bahwa orang-orang yang berisiko tinggi terinfeksi MERS-CoV adalah penderita diabetes, penyakit jantung kronis, penyakit paru kronis, penderita gangguan ginjal, penderita masalah imunitas (seperti penderita kurang gizi dan penderita AIDS), serta pekerja atau pengunjung fasilitas kesehatan dan peternakan.

Kemungkinan mekanisme penularan MERS-CoV yang melibatkan hewan ternak dan hewan liar hingga mencapai tubuh manusia. (Sumber: Virology Down Under, http://virologydownunder.blogspot.com/)
Kemungkinan mekanisme penularan MERS-CoV yang melibatkan hewan ternak dan hewan liar hingga mencapai tubuh manusia. (Sumber: Virology Down Under, http://virologydownunder.blogspot.com/)

Penyakit MERS hingga tulisan ini diturunkan belum ada vaksin dan obatnya. Meski demikian, deteksi penyakit yang diduga sebagai MERS dapat dilakukan secara dini. Seseorang yang selama 14 hari terakhir menderita demam (≥ 38°C), atau pernah mengalami demam dan batuk, serta pernah bepergian ke negara terjangkit, ia tetap dirawat sebagai penderita infeksi saluran pernapasan sambil dilakukan pemerikasaan apakah benar menderita MERS atau tidak. Fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia telah memungkinkan pelayanan terhadap kasus MERS dengan cara perawatan di ruang isolasi dan diberikan pengobatan pendukung. Hal ini telah diterapkan sebelumnya pada kasus-kasus flu burung dan flu H1N1.

Tidak ada salahnya kita mencegah jangan sampai virus menempel di tubuh kita dan menyebabkan diri kita atau orang lain sakit. Pencegahan yang bisa dilakukan paling mudah dengan menjaga kebersihan diri seperti cuci tangan setiap sebelum dan sesudah beraktivitas, menjaga daya tahan tubuh dengan makanan yang bergizi secara teratur, hindari gaya hidup tidak sehat, lakukan olahraga secara teratur, istirahat yang cukup. Selain itu, kita sebaiknya tidak mengonsumsi bahan makanan dan minuman yang tidak diproses dengan baik.

Apabila ada kegiatan yang mengharuskan kontak dengan hewan (ternak maupun liar), kita perlu menjaga kebersihan diri dan hewan. Kemudian, saat berhadapan dengan orang sakit, kita perlu mengenakan alat pelindung diri seperti mengenakan masker dan sarung tangan. Jika ada di antara kita akan berangkat beribadah umrah dan/atau haji atau bepergian ke tempat yang memiliki riwayat kejadian MERS, sebaiknya ikut mematuhi tata aturan kesehatan seperti mendapatkan vaksin standar yang berfungsi untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap serangan kuman, walau vaksin untuk MERS-CoV belum tersedia.

Bahan bacaan:

Penulis:

  1. Irandi Pratomo, mahasiswa S3 ilmu kesehatan dan biomedis di Hiroshima University, serta pemred Majalah INOVASI PPI Jepang 2013-2014. Kontak: irandipratomo(at)hiroshima-u(dot)ac(dot)jp.
  2. Agung Wijayanto, Dokter Spesialis Paru RSUD Dr. Adjidarmo, Rangkasbitung, Lebak, Banten.
    Kontak: agungtn1(at)yahoo(dot)co(dot)id.
Back To Top