Memasuki tahun baru pasti selalu dibarengi dengan berbagai pertanyaan mengenai bagaimana peruntungan seseorang di tahun mendatang. Demikian halnya dengan para ekonom, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kondisi perekonomian Indonesia tahun 2014, apakah akan membaik atau memburuk. Namun, hal yang terpenting adalah mengambil pelajaran dari peristiwa yang telah terjadi untuk dijadikan refleksi demi menghadapi tantangan berikutnya.
Di tahun 2013, masyarakat telah dikejutkan dengan berbagai keputusan pemerintah. Salah satunya adalah kenaikan harga BBM yang diberlakukan per 22 Juni 2013. Harga jual bahan bakar jenis premium naik sebesar Rp 2.000 menjadi Rp 6.500 per liter, dan solar naik sebesar Rp 1.000 menjadi Rp 5.500 per liter. Kenaikan harga bahan bakar ini dimaksudkan untuk menekan subsidi dari Rp 297 triliun menjadi sekitar Rp200 triliun. Kenaikan harga BBM tersebut tak pelak juga diikuti dengan inflasi.
Inflasi pada bulan Juli 2013 (year on year) mencapai 8,61%. Menyusul inflasi tersebut, hingga September 2013, Bank Indonesia telah menaikkan BI rate sebesar 125 basis poin menjadi 7,25%. Inflasi yang tinggi ini terjadi karena harga beberapa komoditas juga ikut naik, apalagi menjelang hari libur sekolah dan hari raya. Walau demikian, pemerintah yakin bahwa inflasi akibat kenaikan harga BBM ini hanya sementara atau disebut juga dengan one shot inflation.
Pada bulan September 2013, perkonomian sempat mengalami deflasi sebesar 0,35%, dengan inflasi berada pada tingkat 8,40% (year on year). Kondisi tersebut harusnya mampu melahirkan sentimen positif masyarakat yang kemudian dapat menggerakkan nilai tukar rupiah. Selain itu, jika inflasi dapat dikendalikan di bawah 9% hingga akhir tahun 2013, tekanan untuk menaikkan BI rate juga dapat diredam. Sayangnya yang terjadi adalah sebaliknya, nilai tukar rupiah makin melemah dan mendekati level Rp 12.000,00 per dolar AS hingga akhir bulan Desember. Lalu, apa sebenarnya masalah yang terjadi?
Melemahnya nilai tukar rupiah telah membuat Bank Indonesia sebagai otoritas moneter kalang kabut. Apalagi dengan kondisi cadangan devisa yang hanya sekitar 97 miliar dolar AS pada akhir bulan November, Bank Indonesia tidak bisa banyak diharapkan untuk mampu menahan rupiah agar tidak terjun bebas. Kondisi nilai tukar rupiah yang tak kunjung membaik ini salah satunya dipengaruhi oleh kondisi neraca perdagangan Indonesia. Indonesia rupanya mengalami defisit kembar (twin deficit), yakni defisit pada neraca perdagangan barang dan jasa yang mencapai 6,36 miliar dolar AS.
Gerak-gerik defisit neraca perdagangan sudah mulai terjadi sejak tahun 2008 ketika terjadi penurunan surplus yang cukup besar akibat melemahnya perekonomian Amerika Serikat. Walaupun surplus perdagangan sempat meningkat kembali hingga tahun 2011, pada tahun 2012 Indonesia mengalami defisit yang mencapai 1,6 miliar dolar AS. Hal ini disebabkan oleh melemahnya kegiatan ekspor pada tahun tersebut. Namun, penyebab yang sebenarnya lebih dominan mempengaruhi neraca perdagangan tahun 2012 adalah meningkatnya kegiatan impor.
Melemahnya rupiah juga disebabkan oleh kewajiban pembayaran utang luar negeri jatuh tempo yang jumlahnya mencapai 21 miliar dolar AS. Pemerintah cukup khawatir, apalagi dengan kondisi cadangan devisa yang hanya sekitar 97 miliar dollar AS. Menghadapi hal tersebut, pemerintah malakukan currency swap melalui penandatanganan perjanjian Chiang Mai Initiatives dengan Jepang (meningkat menjadi 22,76 miliar dolar AS dari 12 miliar dollar AS), dengan Cina (15 miliar dollar AS), dan dengan Korea Selatan (10 miliar dollar AS). Dengan demikian, pemerintah Indonesia memiliki cadangan yang cukup untuk melakukan pembayaran utang luar negeri jatuh tempo. Akan tetapi, lagi-lagi solusi ini bukanlah solusi permanen yang dapat mengatasi masalah.
Selain alasan internal tersebut, terdapat alasan eksternal mengapa nilai tukar rupiah melemah. Faktor global yang melemahkan rupiah adalah rencana bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) yang akan mengurangi (tapering off) stimulus moneter. Rencana tersebut telah berhasil membuat keluar dana asing di negara berkembang, salah satunya Indonesia, meski sebenarnya sempat ada angin segar dengan adanya pemberitaan hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang masih akan tetap melakukan stimulus moneter.
Rupiah beberapa saat sempat menguat, untuk kemudian kembali melemah. Hal ini terjadi karena investor masih cenderung memilih untuk membeli valuta asing. Apalagi bagi nasabah besar yang tidak menginginkan suku bunga riil negatif, tingkat inflasi lebih tinggi ketimbang suku bunga yang ditawarkan.
Pemberitaan terakhir pada 18 Desember 2013, The Fed telah mengumumkan bahwa ia akan mulai melakukan tapering off stimulus moneter yang tadinya 85 miliar dolar AS menjadi 75 miliar dolar AS per Januari 2014. Nantinya The Fed akan mengurangi jumlah stimulus secara bertahap jika perekonomian Amerika Serikat terus mengalami perbaikan. Sepertinya kondisi perekonomian Amerika Serikat akan terus membaik apalagi semenjak pertumbuhan PDB kuartal tiga mampu mencapai 4,1% yang tadinya hanya diprediksi sekitar 3,6%.
Kondisi Amerika Serikat dapat menjadi berita baik dan di saat bersamaan juga dapat menjadi berita buruk. Berita baiknya, kondisi perekonomian global berangsung-angsur membaik dengan tingkat konsumsi yang makin meningkat. Indonesia dapat memanfaatkan kondisi ini dari sisi ekspor dengan meningkatkan daya saing ekspor produk dalam negeri. Berita buruknya adalah kemungkinan meningkatnya capital outflow, yang berarti dana asing akan keluar dari Indonesia untuk kemudian menekan nilai tukar rupiah sehingga makin melemah.
Bank Indonesia telah menanggapi kondisi tersebut dengan meningkatkan suku bunga sekali lagi menjadi 7,5%. Apakah kebijakan ini efektif untuk menahan nilai tukar rupiah untuk tidak melemah? Ternyata tidak, karena masalah yang terjadi adalah masalah struktural dan untuk mengobatinya diperlukan strategi yang lebih fundamental, bukan hanya sekedar lewat mekanisme moneter.
Saat ini Bank Indonesia bersama dengan Kementerian Keuangan telah melakukan koordinasi kebijakan moneter dan fiskal. Kementerian Keuangan dapat membantu melalui mekanisme pajak dan subsidi serta pelarangan atau lisensi yang dapat ia lakukan. Beberapa di antaranya adalah dengan wacana pelarangan ekspor bahan baku (raw material) sehingga diharapkan Indonesia mampu mengolah dan memberi nilai tambah (value added) untuk produk yang diekspor dari bahan baku hasil tanah Indonesia sendiri. Kementrian Keuangan juga akan meningkatkan tarif impor barang mewah yang diharapkan mampu mengurangi defisit neraca perdagangan.
Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal tersebut cukup baik, tetapi tidak akan optimal jika hanya mengandalkan keduanya. Masalah fundamental ekonomi mencakup variabel yang sangat kompleks, tidak hanya sekadar lingkungan makroekonomi. Sering disebutkan bahwa kondisi fundamental makroekonomi Indonesia bagus, pertumbuhan tinggi (sekitar 6%), inflasi terjaga (sekitar 5%), dan seterusnya. Akan tetapi, angka-angka tersebut hanyalah data makroekonomi.
Permasalahan yang lebih mendasar sebenarnya adalah daya saing. Daya saing bukan hanya berarti daya saing produk ekspor, tetapi juga daya saing suatu bangsa yang dapat diunggulkan, meliputi daya saing sumber daya manusia, daya saing kemudahan berbisnis, dan daya saing yang lainnya. Dibutuhkan kerangka kerja sama yang lebih luas, meliputi segenap elemen masyarakat yaitu pemerintah, pengusaha, dan akademisi, sehingga masalah lama yang hingga saat ini tetap menjadi masalah, seperti infrastruktur, birokrasi, dan korupsi, dapat teratasi.
Segala peristiwa yang terjadi di tahun 2013 mungkin bisa dianggap sebagai sekadar kisah yang sudah lalu. Namun, orang yang bijak pasti akan mengambil hikmah kisah tersebut untuk dijadikan pelajaran sebagai bekal menghadapi tantangan selanjutnya. Sekarang pertanyaannya, apakah kita cukup bijak untuk mengambil pelajaran dari peristiwa yang telah terjadi demi menapaki tantangan perekonomian Indonesia 2014? Momentum ini dapat memberi manfaat besar jika kita siap dengan strategi yang tepat.
Bahan bacaan:
- Badan Pusat Statistik. Data Ekspor-Impor Indonesia, data dipublikasikan di www.bps.go.id
- Bank Indonesia. 2013. Data Inflasi Indonesia, data dipublikasikan di www.bi.go.id
- Bank Indonesia. 2013. Data Perdagangan Indonesia, data dipublikasikan di www.bi.go.id
- Bank Indonesia. 2013. Data Suku Bunga Bank Indonesia, data dipublikasikan di www.bi.go.id
- Bank Indonesia. 2013. Neraca Pembayaran (Balance of Payment) Indonesia, data dipublikasikan di www.bi.go.id
- Kementrian Perdagangan RI. Data Ekspor-Impor Indonesia, data dipublikasikan di www.kemendag.go.id
Penulis:
Dyah Savitri Pritadrajati, mahasiswi Jurusan Ilmu Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pernah pula mengikuti program pertukaran pelajar di Tohoku University, Jepang (2012-2013).
Kontak: dyah(dot)pritadrajati(at)gmail.com