“Bunda, kalau di sekolah, sekarang aku lebih suka duduk di depan.”
Mendengar perkataan ini boleh jadi orangtua akan merasa bangga dengan kebiasaan baru anaknya. Duduk di barisan bangku terdepan identik dengan anak yang rajin dan antusiasme belajar tinggi, tentunya ini kabar baik bagi orangtua. Akan tetapi, bisa saja kebiasaan baik itu terjadi karena penglihatan si anak mulai terganggu.
Gangguan fungsi penglihatan merupakan masalah kesehatan yang serius. Mengapa? Karena terganggunya proses melihat dapat menurunkan produktivitas dan kualitas hidup seseorang. Bahkan, setiap tahunnya badan kesehatan dunia (WHO) memperingati hari penglihatan sedunia yang jatuh pada hari kamis minggu kedua bulan Oktober.
Tidak hanya pada orang dewasa, gangguan melihat juga dapat terjadi pada anak-anak, khususnya anak usia sekolah dasar. Mereka seringkali tidak menyadari bahkan mengabaikannya. Oleh karena itu, diperlukan peranan aktif dari petugas kesehatan, orangtua, guru, dan teman sebaya untuk screening awal terhadap kemampuan penglihatan.
Kebutaan Indonesia Tinggi
Sejak tahun 1996, persentase penderita kebutaan di Indonesia masih berada pada angka 1,5%. Ini merupakan angka kebutaan terbesar di wilayah Asia Tenggara, sebanding dengan negara di sub-sahara Afrika. Kebutaan disebabkan oleh berbagai kelainan/penyakit pada mata, antara lain katarak (baik sejak lahir, proses penyakit, atau penuaan), glaukoma, kelainan refraksi, dan gangguan metabolik seperti kencing manis dan tekanan darah tinggi. Padahal, 80% kasus kebutaan bisa dicegah.
Penyebab tersering kebutaan adalah katarak, kebutaan pada anak, dan gangguan refraksi (WHO, 2011). Di Indonesia, dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun), 10% mengalami gangguan akibat kelainan refraksi. Angka pemakaian kacamata koreksi pun masih rendah, yaitu 12,5%.
Tentu ini menarik untuk diperhatikan. Apabila tidak ditangani secara sungguh-sungguh, hal tersebut bisa berpengaruh pada perkembangan kecerdasan anak. Proses belajar anak yang terhambat dapat mempengaruhi mutu/kualitas, kreativitas, dan produktivitas pada usia produktif kelak (15-64 tahun).
Oleh karena itu, masalah penglihatan tak semata menjadi tanggung jawab pelayanan kesehatan, tetapi juga pemerintah dan masyarakat secara umum. Orangtua misalnya, perlu memperhatikan apakah anaknya menunjukkan gejala penurunan tajam penglihatan. Contohnya gejala tersebut di antaranya menonton televisi dengan jarak dekat, anak kesulitan membedakan warna, memicingkan mata bila melihat sesuatu, atau pandangan mata tidak lurus kedepan.
Libatkan Dokter Kecil
Setiap tahun, terutama setelah masa penerimaan siswa baru, petugas dari Pusat Pelayanan Kesehatan (Puskesmas) biasanya mengadakan program kesehatan anak sekolah bagi siswa baru, baik untuk tingkat SD, SMP, maupun SMA. Tujuannya untuk menemukan anak yang gizinya kurang baik, anemia, atau dengan gangguan penglihatan. Namun karena bukan termasuk dalam program wajib, tidak semua Puskesmas memiliki program tersebut.
Screening (pemeriksaaan) awal terhadap kemampuan penglihatan dapat dilakukan dengan sederhana. Cukup dengan membaca kartu Snellen yang berjarak 6 meter, seseorang dapat diketahui ada tidaknya gangguan penglihatan. Tajam penglihatan optimal (6/6) menunjukkan bahwa anak dapat melihat huruf pada kartu Snellen yang berjarak 6 meter, yang juga dapat dibaca oleh anak dengan penglihatan normal. Jika ada murid dengan tajam penglihatan tidak 6/6, ia harus segera dilaporkan serta dirujuk ke Puskesmas atau dokter ahli mata.
[Snellen Chart: http://en.wikipedia.org/wiki/Snellen_chart]
Penyebab paling umum gangguan mata pada anak usia sekolah di antaranya mata silindris (astigmatisme), miopi, dan mata malas (ambliopi). Masyarakat Indonesia cenderung memiliki kelainan refraksi karena adanya faktor genetis. Idealnya, pemeriksaan penglihatan dilakukan setiap 6 bulan.
Karena prosesnya sederhana, dokter kecil dapat dilibatkan dalam proses penjaringan kasus. Siswa yang menjadi dokter kecil dituntut untuk lebih peduli terhadap teman sebayanya. Misalnya dengan memperhatikan adakah temannya yang memiliki kebiasaan-kebiasaan orang dengan penurunan fungsi penglihatan. Selain itu, mereka pun dapat dilibatkan dalam pemeriksaan dengan kartu snellen. Harapannya, deteksi anak dengan gangguan penglihatan dapat lebih cepat dan ditangani dengan baik.
Penulis:
Almahira Az-Zahra, Dokter, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung.
Kontak: http://mylearningissue.wordpress.com
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Kampus, Harian Pikiran Rakyat, Oktober 2012. Dituliskan ulang di majalah 1000guru dengan izin penulis disertai beberapa perubahan kalimat dan penambahan gambar.