Di setiap awal bulan Desember, orang-orang di seluruh dunia kembali diingatkan kepada AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Sindrom luluh lantaknya kekebalan tubuh manusia ini disebabkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus), suatu virus penyerang sel limfosit, sel yang berperan dalam sistem imun manusia. Penularan HIV sendiri sudah menyebar luas di seluruh dunia. Indonesia pun tak luput dari kasus-kasus penularan virus ini. Menurut data dari Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, jumlah kumulatif kasus AIDS yang ditemukan di Indonesia sejak tahun 1987 sampai dengan bulan Juni 2011 ialah sebesar 26.483 kasus. Jumlah tersebut terdiri dari 19.139 orang penderita laki-laki dan 7.255 orang penderita wanita, sedangkan 89 orang lagi tidak diketahui. Kasus kematian penderita AIDS yang terjadi dalam kurun waktu tersebut pun tidak sedikit, jumlahnya mencapai 5.056 kasus.
DKI Jakarta, Papua dan Jawa Barat adalah tiga provinsi dengan jumlah kumulatif kasus AIDS terbesar di Indonesia. Khusus di Jawa Barat, data dari Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa telah ditemukan 3.809 kasus AIDS di provinsi ini, dengan angka kematian sebanyak 678 kasus sampai bulan Juni 2011 yang lalu. Kasus-kasus tersebut paling banyak ditemukan di Kota Bandung.
Angka-angka tersebut tentu belum menggambarkan secara lengkap penyebaran HIV yang sesungguhnya. Banyak yang berpendapat bahwa terjadi fenomena gunung es pada pelaporan kasus HIV, yaitu jumlah kasus yang terjadi dan tidak diketahui sebenarnya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah kasus yang diketahui dan terdokumentasikan. Fenomena ini semakin diperkuat dengan perjalanan infeksi HIV dalam tubuh yang berlangsung relatif lama. Infeksi HIV baru akan menampakkan gejala setelah 2-10 tahun sejak virus masuk ke dalam tubuh manusia. Hal ini menyebabkan orang-orang yang tertular belum tentu dapat diketahui dari penampakan fisiknya. Orang-orang yang tertular pun belum tentu menyadari bahwa dirinya telah tertular sehingga tidak muncul keinginan untuk berkonsultasi dengan tenaga kesehatan mengenai infeksi HIV. Umumnya orang yang telah tertular HIV baru datang ke sarana pelayanan kesehatan dalam kondisi sudah bergejala (perjalanan penyakit sudah mencapai stadium II atau III), atau baru memeriksakan diri setelah mengetahui bahwa pasangannya dinyatakan positif mengidap HIV.
HIV dapat menular melalui empat macam cairan tubuh: darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu. Cairan tubuh lainnya tidak. Penularan HIV dapat terjadi antara lain melalui hubungan seks yang tidak aman (berganti-ganti pasangan dan tidak menggunakan kondom, baik heteroseksual maupun homoseksual), penggunaan satu jarum suntik secara bersama-sama, penularan dari ibu ke anaknya, transfusi darah yang tercemar HIV, maupun kecelakaan kerja. Masih berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, cara penularan HIV/AIDS yang banyak terjadi di Indonesia ialah melalui hubungan seks heteroseksual (sebesar 14.513 kasus), melalui penggunaan satu jarum suntik bersama-sama (9.587 kasus), hubungan seks homoseksual dan/atau biseksual (768 kasus), dan penularan dari ibu ke anak (742 kasus).
Untuk terjadi penularan HIV dari satu manusia ke manusia lain, harus ada jalan keluar virus dari orang yang menularkan (exit), virus harus tahan terhadap dunia luar dan tidak mati (sustain), jumlah virus cukup banyak (sufficient), dan harus ada jalan masuk virus pada tubuh orang yang akan tertular (entry). Teori ini menunjukkan bahwa penularan HIV tidak terjadi semudah penularan penyakit infeksi lain, hepatitis B misalnya. Penularan hepatitis B melalui kontak dengan cairan tubuh penderita seratus kali lebih besar jika dibandingkan dengan HIV. Oleh karena itu, tidak perlu terlalu takut dengan penularan virus ini jika kita berhati-hati.
ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dapat hidup bersama dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar tanpa harus dianggap sebagai sumber penularan yang menakutkan. Jika stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dapat diminimalisasi, ODHA mungkin tidak perlu lagi menutup-nutupi status HIV-nya, sama seperti orang-orang yang memiliki penyakit hipertensi atau diabetes mellitus yang sudah paham dengan penyakitnya, meminum obat dan datang untuk kontrol ke sarana pelayanan kesehatan secara rutin, serta dapat menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya pada pihak-pihak yang perlu mengetahui riwayat penyakitnya: tenaga kesehatan atau keluarga yang merawat. ODHA tidak akan dibayang-bayangi lagi oleh kecemasan diperlakukan tidak adil, baik dari masyarakat ma
upun dari tenaga kesehatan.
Tenaga kesehatan pun akan lebih nyaman karena tidak ada ketertutupan informasi dari klien. Selain itu, orang yang tampak sehat pun dapat menerima tawaran tes HIV tanpa merasa tersinggung atau merasa dicurigai berperilaku menyimpang. Jika semakin banyak orang yang berinisiatif untuk memeriksakan status HIV-nya, penemuan kasus HIV akan lebih banyak dan dapat dicegah lebih dini, sebelum menyebar ke lebih banyak manusia yang lain.
HIV bukanlah hantu, yang sangat ditakuti padahal sebenarnya tidak eksis. Infeksi HIV jelas ada, dan jelas perlu dicegah, tanpa harus dijauhi penderitanya. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dari segala pihak untuk menanggulangi masalah ini, baik di hulu maupun di hilir. Informasi mengenai HIV perlu diketahui dan disebarluaskan supaya masyarakat dapat menyikapinya dengan bijak. Masyarakat perlu waspada, namun ketakutan berlebihan terhadap penderita tidak perlu ada.
Catatan:
Opini ini telah dimuat di rubrik Lenyepaneun, Harian Republika Jawa Barat pada bulan Januari 2012. Dituliskan ulang di majalah 1000guru dengan izin penulis disertai beberapa perubahan kalimat dan penambahan gambar.
Penulis:
Thareq Barasabha, mahasiswa program pascasarjana ITB.
Kontak: bangthareq(at)gmail(dot)com.