Tentu tidak asing lagi dalam keseharian kita mendengar kata bijak, bijaksana, atau bahkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan sering dikaitkan dengan sikap seseorang dalam mengambil suatu keputusan, merespons suatu fenomena, atau dalam menyelesaikan suatu tugas dan permasalahan. Tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa untuk bijak itu tidak mudah. Seseorang perlu menekan ego pribadinya untuk mendahulukan kebaikan bagi orang lain. Seseorang harus mengesampingkan hal-hal yang bersifat instan untuk hasil proses yang membawa kebaikan bagi banyak orang.
Kebijaksanaan (wisdom) sendiri menurut Lickona (2012) merupakan penilaian yang baik. Kebijaksanaan memungkinkan kita untuk membuat keputusan yang beralasan dan baik bagi kita dan untuk orang lain. Kebijaksanaan mengatakan kepada kita cara menempatkan kebajikan lainnya ke dalam tataran praktik—kapan kita bertindak, bagaimana harus bertindak, dan bagaimana menyeimbangkan kebajikan yang berbeda saat kebajikan tersebut bertentangan.
Salah satu hal bijak yang memerlukan tekad kuat ialah konsisten dalam mengurangi penggunaan plastik. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sampah plastik merupakan salah satu limbah yang memerlukan waktu ratusan tahun untuk dapat terurai. Begitu terbiasanya kita dengan sampah plastik, fenomena terlukanya hewan akibat sampah, sumbatan aliran-aliran irigasi dari tumpukan sampah, atau bahkan genangan sampah di lautan menjadi fenomena yang mudah terhembus hilang layaknya angin lalu.
Sungguh sangat menyedihkan dampak dari banyaknya penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari hal kecil sebagai pembungkus makanan ringan hingga sebagai tas belanja sekali pakai ketika ibu rumah tangga berbelanja sayur ke pasar. Sedotan, botol air mineral sekali pakai, sterofoam, balon plastik, dan masih banyak lagi berbagai bentuk limbah plastik berusia panjang ratusan tahun.
Pada satu waktu tertentu, ketika kita dihadapkan secara langsung dengan fenomena-fenomena sampah plastik tersebut, barangkali pada beberapa masa akan timbul efek jera dalam diri sendiri yang kemudian menggiring kita pada pola hidup ramah lingkungan. Akan tetapi, tak jarang efek tersebut hanya bertahan beberapa waktu saja sebelum kemudian secara perlahan dengan berbagai alasan pemakluman kita kembali nyaman dengan plastik yang sejatinya merupakan ancaman.
Jay Fajar dalam mongabay.co.id menyuguhkan fakta bahwa Indonesia merupakan negara penghasil sampah plastik kedua setelah Tiongkok. Sebagaimana diberitakan di Kompas.com, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap banyaknya jumlah sampah plastik di lautan Indonesia yang akan lebih banyak dibandingkan ikan yang ada jika kebiasaan penggunaan sampah plastik tidak diubah. Hal tersebut dikuatkan pula dengan hasil penelitian LIPI yang juga menyebutkan bahwa mikroplastik yang terdapat di dalam plastik dapat mengancam ekosistem laut Indonesia.
Lalu, apakah kemudian kita tidak dibolehkan menggunakan plastik? Boleh, tentu saja boleh. Akan tetapi, tanpa perlu terus dinasihati oleh orang lain, dengan kesadaran sendiri, dan kebijaksanaan diri kita, kita harus membangun pola pikir pentingnya keberadaan “Bumi yang layak dan bersahabat bagi anak keturunan kita”.
Berbagai fakta yang sudah kita ketahui seharusnya menjadi PR pada benak kita untuk memulai pola hidup yang ramah dengan bumi yang kita tinggali. Contohnya, menggunakan botol minum yang dapat dipakai berulang kali, memilih kotak makan dibandingkan dengan styrofoam, menyiapkan sedotan stainless (atau memilih tidak menggunakan sedotan), serta membawa tas belanja yang tidak sekali pakai ketika melengkapi keperluan harian.
Berkomitmen untuk menikmati Bumi dengan kesadaran tanggung jawab dimulai pada diri sendiri tentu akan membuat kita merasa lebih lega. Ini dikarenakan apa yang kita nikmati dalam kehidupan kita saat ini tidak menyisakan PR atau bahkan problem bagi anak-anak kita nanti.
Bahan bacaan:
- https://regional.kompas.com/read/2019/07/20/17172881/menteri-susi-khawatir-laut-indonesia-lebih-banyak-sampah-plastik-daripada
- Lickona, Thomas. 2012. Character Matters. Jakarta: Bumi Aksara.
- https://www.mongabay.co.id/2017/02/25/begini-tekad-indonesia-kurangi-sampah-plastik-sampai-70/
Penulis:
Intan Nur Cahyati, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Indonesia.
Kontak: intannur009(at)gmail.com