Di masa kini, banyak dari kita yang dituntut untuk melakukan berbagai hal dengan ekstra cepat, mulai dari memasak, berkomunikasi, mengerjakan PR, bahkan mencari jodoh. Melakukan sesuatu dengan cepat dan praktis juga identik dengan efisiensi. Memasak mi instan, jika dibandingkan dengan menyiapkan lauk serta memasak nasi, memakan waktu jauh lebih sedikit. Ujung-ujungnya sama-sama kenyang. Akan tetapi, secara gizi jelas jauh berbeda.
Di sisi lain, tuntutan untuk melakukan hal dengan serba cepat juga mendorong lahirnya ide-ide baru yang mungkin tidak akan muncul, kecuali saat sedang diburu waktu. Tentu Anda pernah mengalami yang namanya dikejar tenggat laporan dari dosen atau guru. Tiba-tiba banyak ide yang bermunculan, ingin menulis ini, itu, bahkan semuanya bisa selesai dalam waktu satu hingga dua jam saja (seperti penulis ketika menyelesaikan artikel ini).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tenggat waktu membawa inspirasi. Hanya saja, mengandalkan detik-detik terakhir untuk menyelesaikan pekerjaan membuat kita merasa tergantung dengan saat-saat kritis dan memungkinkan adanya kesalahan dalam perkiraan waktu penyelesaian.
Tidak hanya itu, ketika kita dituntut untuk melakukan hal ekstra cepat, tidak banyak dari kita yang akan berhenti lalu berpikir mengenai langkah selanjutnya yang harus diambil untuk menyelesaikan masalah di depan mata. Dalam waktu-waktu darurat, pikiran bawah sadar kita akan mengambil alih. Terlebih ketika sudah pernah mengalami kejadian tersebut sebelumnya, kita akan lebih cepat dalam menentukan langkah dan mengerjakan apa yang seharusnya kita kerjakan. Tidak perlu berpikir panjang untuk mengambil keputusan dan bertindak.
Akan tetapi, apakah segala keputusan harus diambil dengan cepat dan oleh alam bawah sadar? Belum tentu. Seperti halnya makan, mengonsumsi mi instan tiga kali sehari setiap hari bukan merupakan suatu hal yang bijaksana untuk kesehatan. Membuat keputusan serba cepat juga bukan sesuatu yang bijaksana untuk kesehatan mental serta banyak aspek lain dalam kehidupan. Apa pasal?
Pernah berpikir mengapa iklan-iklan selalu dibuat menarik, berisik, dan penuh dengan stimulan-stimulan audio visual? Tentu agar produknya dapat laku, bukan? Audiovisual dari iklan dibuat sefamiliar mungkin, ditayangkan di TV sesering mungkin, dan dengan penggambaran mustahil yang terkadang terkesan dipaksakan. Ada seninya dalam hal ini. Iklan dibuat untuk memengaruhi konsumen saat mereka berbelanja agar memiliki kecenderungan memilih produk yang diiklankan. Untuk itu, iklan biasanya singkat, padat, dan penuh dengan stimulan untuk mempengaruhi emosi kita, alih-alih logika dan pemikiran.
Jika tidak ada dunia periklanan, kita sebagai konsumen harus mencari sendiri informasi produk, baik dari sumber tertulis maupun dari rekomendasi. Dalam prosesnya, kita dituntut untuk memandang produk dari berbagai sudut: harga, kualitas, selera, seberapa perlu, dan pertimbangan lainnya. Kita akan mengumpulkan informasi, berhenti sejenak dan berpikir, kemudian membuat keputusan apakah kita akan membelinya atau tidak. Sadar atau tidak, dengan menuruti iklan, kita sebagai konsumen menyerahkan proses panjang sebelum pembelian kepada produsen, yang mestinya memberikan konsumen kebebasan memilih produk untuk persaingan pasar yang lebih sehat.
Tidak hanya di dalam iklan, dalam kehidupan sosial, tanpa kekuatan untuk berhenti sejenak dan berpikir, menganalisis situasi serta kebenaran berita, seberapa banyak dari kita yang kemudian termakan hoaks dan gosip? Ketika kita mendengar suatu berita yang sensasional (biasanya hoaks), banyak yang tanpa mencari referensi pembanding langsung percaya dan menyebarkan beritanya dengan maksud baik menginformasikan kepada yang lain.
Emosi yang ditimbulkan hoaks adalah rasa cemas dan takut yang mendorong alam bawah sadar kita untuk mengambil respons cepat. Sayangnya respons itu biasanya adalah mempercayai beritanya karena kita merasa ada aspek dari diri kita yang terancam. Entah kesehatan, keamanan, ataupun kepercayaan pribadi, dan posisi dalam strata sosial. Kita akui mayoritas kita lebih dulu paranoid mendengar berita hoaks, bukan?
Berhenti sejenak dan berpikir adalah suatu kekuatan tersendiri yang dapat membebaskan kita. Jika kita dididik untuk berhenti sejenak dan berpikir, menggunakan akal sehat serta mengumpulkan informasi, kita akan merasa puas dengan keputusan yang kita ambil dengan penyesalan paling minimal di belakang. Kepuasan dalam pengambilan keputusan hakikatnya adalah perasaan bebas (sense of freedom). Anda yang sedang atau akan kuliah, ingatkah ketika memilih jurusan kuliah? Apakah Anda mencari sendiri tentang jurusan tersebut kemudian memilih untuk mengambilnya? Apakah orang tua yang menyuruh? Ataukah kita sekadar mengikuti teman?
Kita tidak bermaksud mengatakan Anda yang memutuskan untuk kuliah di jurusan tertentu setelah mencari informasi sendiri itu lebih baik daripada Anda yang memilih jurusan kuliah sekadar memenuhi keinginan orang tua. Akan tetapi, perasaan bebas yang dirasakan (degree of freedom) tentu berbeda. Penyesalan di akhir, termasuk perasaan salah pilih kalau ada, juga dapat diminimalkan. Compulsive buying membawa penyesalan dompet di akhir bulan. Efek dari penyebaran hoaks serta berita fiktif juga sudah banyak disorot akhir-akhir ini.
Ketika kita merasa ada sesuatu yang mendorong kita bereaksi kuat secara emosional, kita patut terdiam sejenak dan berpikir, apakah ini hanya dorongan kompulsif belaka? Dari hal itu kita akan mencoba berpikir jernih dan kritis, mencari informasi bandingan serta mengambil keputusan, oleh kita, untuk kita. Mari lebih bijak dalam bersikap, tenang, dan logis dalam membuat keputusan.
Segala sesuatu yang instan dan tanpa usaha (effortless) itu memang terkesan menyenangkan dibandingkan dengan repot-repot berpikir dan melakukan sesuatu. Akan tetapi, ingat, sebebas-bebasnya kita memilih, kita tidak bebas memilih konsekuensi, seperti mi instan yang gurih dan hangat. Ah, saya jadi lapar.
Bahan bacaan:
- Ariely, D. Predictably Irrational: The Hidden Forces that Shape Our Decision. Harper Books.
- Haidt, J. The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religion. Penguin Books.
- Kahneman, D. Thinking, Fast and Slow. 2011. Penguin Books.
- Taylor, K. Brainwashing: The Science of Thought Control. 2017. Oxford University Press.
Penulis:
Elza Firdiani Sofia, Mahasiswi S-2 di Tohoku University, Jepang.
Kontak: elzsafir[at]gmail[dot]com