Tahun 2018 adalah kunjungan saya ke Badui kali kedua. Kunjungan pertama dilakukan pada tahun 2009, berarti sudah 9 tahun yang lalu. Tidak ada banyak perbedaan yang bisa saya lihat dari rentang waktu itu. Yang berbeda adalah diri saya sendiri. Ketika itu saya tidak begitu menangkap makna nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh Badui. Pemahaman yang saya dapat di kali kedua mengunjungi Badui adalah kebersamaan dan budaya yang sangat kaya.
Nilai toleransi yang dijunjung tinggi, disiplin, ramah tamah, kesetiaan para penduduk Badui, dan dedikasi mereka terhadap alam adalah kearifan lokal yang dimiliki oleh orang Badui. Toleransi dalam sudut pandang saya yang dimaksud di sini adalah antara Badui Luar dan Badui Dalam. Keduanya memiliki perbedaan, tetapi mereka saling menghormati dan menyapa sesama. Penduduk Badui teguh memegang nilai yang mereka anut, tetapi mampu menerima tamu tanpa mencurigai ras, agama, dan suku. Seolah-olah mengatakan, “Dari manapun kamu berasal kami menerima dengan senang hati asalkan hormati peraturan yang ada di sini.”
Apa saja peraturan bagi tamu di Badui?
Peraturannya mudah, yaitu (1) tidak mengucapkan sembarangan kalimat, (2) tidak buang sampah sembarangan, (3) tidak mencemari air sungai dengan menggunakan sabun mandi, pasta gigi, sampo, dan lain-lain, (3) telepon genggam dan kamera dimatikan (tidak boleh melakukan foto atau dokumentasi), (4) tidak boleh melewati batas ke rumah “Puun” atau raja beserta jajarannya. Alasannya, ibarat bertamu ke rumah presiden, tidak sembarangan orang yang dapat memasuki rumah tersebut. Peraturan ini lebih banyak berlaku di Badui Dalam. Penduduk Badui Luar berkewajiban menyampaikannya dan tetap ikut menaatinya bersama para tamu lain.
Saya juga kagum dengan disiplin waktu yang mereka terapkan. Kebiasaan yang sudah teratur sedemikian rupa tanpa menggunakan jam. Jamnya masih klasik dengan jam matahari. Alarm yang dipakai adalah suara kokok ayam. Di pagi hari, para pria Badui pergi ke ladang atau menjadi pendamping para tamu. Pada waktu zuhur atau sore hari mereka pulang. Untuk para wanita, kegiatan memasak, ke ladang, dan menenun kain dimulai dari anak kecil hingga dewasa. Kegiatan ini seperti kegiatan yang didisiplinkan, tetapi mereka melakukannya dengan sukarela.
Saya bertanya pada salah satu wanita yang sedang menenun “Teh, adakah sebuah permasalahan yang bikin stres?” Kurang lebih seperti itu pertanyaannya. Dia menjawab dengan sedikit berpikir panjang, “Teu aya da dijalani bae, biasa bae kitu.” Makna dari pernyataan tersebut adalah tidak ada yang membuat mereka stres, hidup biasa saja. Menurut mereka, jika menjalani hidup dengan biasa, semuanya akan baik-baik saja. Pertengkaran pun pertengkaran biasa semisal antartetangga, nanti akur lagi. Berjalan seirama saja.
Di sana semua bangunan sama, baju sama, dan perilaku atau kegiatan orang-orang hampir sama semua. Ketika tetangga akan memetik sesuatu dari kebun orang lain, mereka memintanya dengan sopan. Kata sang pemilik, “Ambil saja tidak apa-apa.” Dikomentari oleh yang meminta, “Saya harus selalu bilang nanti malah dikira mencuri.” Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa mereka memiliki etika dan peraturan yang ditaati dan ini adalah perilaku yang disiplin.
Kesetiaan orang Badui terhadap adatnya juga menarik perhatian. Struktur pemerintah bisa dibilang demikian terukur dan ditaati oleh penduduknya. Pemimpinnya dinamakan Puun dengan sistem yang mirip kerajaan. Meskipun begitu, ada musyawarah dalam menentukan pemimpin berikutnya. Musyawarah dilakukan setelah Puun melakukan penerawangan tentang kepemimpinan selanjutnya. Rumahnya dikelilingi oleh tetua atau bahasa kerennya menteri dan juga diwakili jubir atau jaro untuk wasilah dengan tamu atau pemerintah daerah.
Dari informasi yang saya dapatkan, tidak ada Puun yang pernah dilengserkan. Mereka yang menjabat sebagai Puun memiliki konsekuensi untuk melakukan ibadah dan tidak meninggalkan perkampungan sebagai bentuk ketaatan atas keyakinan yang mereka anut, yakni Sunda Wiwitan. Ketaatan dalam ibadah dan caranya memimpin menjadi indikator berapa lama dia akan menjadi Puun. Orang Badui bahkan tidak ikut dalam pemilu pemerintah. Alasannya sederhana, “Jika kita memilih salah satu, akan ada yang menangis dan tertawa. Kita tidak boleh membiarkan orang bersedih sedangkan yang lainnya tertawa.”
Berkaca pada Badui yang dianggap tertinggal karena mereka tidak sekolah dan tidak menggunakan teknologi membuat saya bertanya pada diri sendiri, “Apakah ia mereka benar-benar tertinggal?” Mereka masih memiliki lingkungan yang terjaga, udara yang segar, gunung tanpa ekploitasi. Mereka pun menjaga alam untuk keseimbangan dan mencintainya. Satu pelajaran terakhir dari perjalanan saya ke Badui adalah ketika kita ramah dengan alam, alam pun ramah pada kita. Hingga pertanyaan lain pun muncul. Lalu, apa yang sudah kita lakukan? Apakah kita bisa menjaga bumi dengan lebih baik dibanding suku Badui yang menjaga alamnya tetap asli?
Penulis:
Pepi Nuroniah, redaktur Majalah 1000guru.
Kontak: pepinuroniah(at)gmail(dot)com