Enam puluh delapan tahun setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, perkembangan hampir di semua sektor kehidupan negara bangsa di era globalisasi ini jauh tertinggal dari negara tetangga yang kemerdekaannya diperoleh beberapa tahun setelah Indonesia. Sebagai contoh, Malaysia baru merdeka tahun 1957, Singapura tahun 1965, Korea Selatan baru setelah perang besar tahun 1950-an, dan Taiwan tahun 1949. Negara-negara ini kini perlahan-lahan namun pasti menjadi kekuatan besar.
Sebelum China menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia, kita masih bisa berkilah bahwa Indonesia tertinggal dari negara tetangga karena wilayah kita demikian luas dan penduduk Indonesia berlipat dari negara-negara tetangga. Namun, setelah China dengan jumlah penduduk enam kali penduduk Indonesia dan wilayah yang jauh lebih luas dari Indonesia mampu mendominasi perekonomian dunia, kita patut bertanya, “Apa yang salah dengan strategi pembangunan nasional Indonesia sehingga setelah 68 tahun merdeka belum juga menjadi bangsa yang cerdas kehidupannya, maju kebudayaannya, dan sejahtera kehidupan rakyatnya?”
Secara sederhana, kehidupan bangsa Indonesia hingga saat ini dapat dikatakan belum cerdas di antaranya dilihat dari indikator berikut: 1) musim kering kekurangan air bersih, 2) musim hujan terjadi banjir dan tanah longsor, 3) jika ada bencana alam tidak dapat mengatasi sendiri dan sangat bergantung kepada bantuan bantuan asing, baik dalam modal maupun teknologi, 4) wabah penyakit yang berulang kali muncul dan mematikan namun tidak diupayakan secara strategis bagaimana mengatasinya, 5) masih rendahnya atau belum terbangunnya infrastruktur teknologi, 6) rendahnya daya saing dalam segala bidang, termasuk olah raga, dan 7) tingginya ketergantungan kita kepada teknologi impor. Selain itu, cita-cita memajukan kebudayaan nasional pun masih jauh dari tercapai karena setelah 68 tahun merdeka belum juga terbangun budaya demokratis, berpotensi terjadinya disintegrasi bangsa, rendahnya produktivitas bangsa dalam IPTEK maupun ekonomi serta, masih rendahnya semangat bersatu.
Kemudian, bahwa tingkat kesejahteraan rakyat masih jauh dari terwujudnya cita-cita “terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat”, antara lain dapat dilihat dari tingginya pengangguran, rendahnya tingkat kebugaran dan kesehatan rakyat, dan rendahnya tingkat pendidikan warga negara. Berangkat dari pertanyaan pokok, “Apa yang salah dengan strategi pembangunan nasional sehingga cita-cita para pendiri republik ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kebudayaan nasional, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, belum juga nampak akan terwujud?” Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari atau mengidentifikasikan kesalahan tersebut, melainkan akan mencoba melakukan renungan analitik terhadap makna amanat mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional dalam membangun negara bangsa Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan.
Sepanjang pengetahuan penulis, hampir tidak ada bangsa di dunia yang UUD-nya memberikan fungsi kepada penyelenggara negara (pemerintah) untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Tampaknya, setelah para pendiri republik meninggalkan gelanggang penyelenggaraan negara, amanat UUD 1945 ini kurang diperhatikan dan dipahami makna hakikinya. Akibatnya, sebagian pihak menganggap bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa sama dengan memperluas kesempatan warga negara mengikuti pendidikan. Pandangan ini benar, tetapi tidak sepenuhnya karena perluasan kesempatan memperoleh pendidikan yang tidak bermutu dalam analisis UNESCO (International Commission on Education for the 21st Century) tidak berdampak positif kepada pembangunan nasional tetapi bahkan menimbulkan masalah.
Penulis berpandangan bahwa tanpa mengetahui dan memahami konteks perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia pada saat pergerakan nasional sampai saat proklamasi kemerdekaan, kita tidak akan dapat memahami mengapa para pendiri republik menuliskan kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai salah satu fungsi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia di samping “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”, “memajukan kesejahteraan umum”, “serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Para pendiri republik yang cendekiawan dan pelajar sejarah peradaban dunia itu tampaknya sadar bahwa pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dunia telah memasuki era peradaban modern yang mengglobal, baik ekonomi, politik, dan IPTEK. Suatu peradaban yang akarnya adalah budaya Helenik dari empat abad SM yang pasca Renaissance pada abad ke-17 telah menggerakkan Eropa memasuki industri oleh gerakan negara kebangsaan yang modern. Pada saat Eropa bangkit melalui Renaissance dan industrialisasi serta munculnya negara-negara kebangsaan modern, Indonesia sebaliknya memasuki abad kegelapan, yaitu periode di bawah kekuasaan penjajah.
Pendiri republik sadar bahwa mudahnya kerajaan-kerajaan Nusantara satu per satu dikuasai dan dijajah oleh pendatang dari Eropa yang jumlahnya kecil (Portugis, Inggris, dan Belanda) karena setelah Imperium Sriwijaya dan kemudian Majapahit runtuh dari dalam seperti runtuhnya Romawi, Nusantara terpecah menjadi puluhan kerajaan kecil. Akibatnya, selama hampir tiga ratus lima puluh tahun penghuni Nusantara secara kultural dalam kondisi status quo, sebagian besar rakyat tidak tersentuh oleh budaya peradaban modern yang rasional maupun berorientasi IPTEK. Oleh karena itu, untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain ini berarti seluruh rakyat Indonesia harus menjadi warga negara dari bangsa yang modern, yang maknanya adalah warga negara yang rasional, demokratis, dan berorientasi IPTEK dalam mengatasi masalah kehidupan sosial, ekonomi, dan politiknya. Untuk itulah pendiri republik menyusun UUD yang lebih dari UUD negara lain yaitu menetapkan ketentuan tentang kewajiban “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional” dan “memajukan kebudayaan nasional bangsa Indonesia.”
UUD 1945 pasal 31 ayat (2) menggariskan “diusahakan dan diselenggarakannya satu sistem pengajaran nasional”, bukan pendidikan, karena pendidikan bermakna lebih luas dari “pengajaran”. Tidak lain karena para pendiri republik telah menjadi “cerdas” dan tinggi rasa kebangsaan serta secara rasional mampu membawa bangsanya kepada gerbang kemerdekaan, bekal pendidikan sekolah yang telah ditempuh. Dan peradaban modern yang berkembang setelah industrialisasi tidak lain karena dilembagakannya sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai sikap kemampuan, nilai, dan sikap.
Melalui sistem persekolahan yang modern dan bermutu –seperti bermutunya sekolah-sekolah yang ditempuh pada saat para pendiri republik mengikuti pendidikan– akan lahir generasi baru dalam Indonesia merdeka yang “cerdas” dan “berkarakter”. Generasi baru ini yang akan mendorong majunya kebudayaan nasional Indonesia. Karena itu pula dalam UUD 1945 Bab XIII tentang pendidikan sudah meliputi Pasal 31 tentang pendidikan, dan Pasal 32 tentang kebudayaan. Selain itu, Pendidikan dan Kebudayaan berada dalam lingkup perhatian satu departemen. Untuk kepentingan inilah pemerintah pada era kepemimpinan para pendiri republik menyediakan ikatan dinas dan asrama bagi calon guru, memberikan asrama mahasiswa serta perumahan dosen pada Universitas Negeri, merencanakan pelaksanaan wajib belajar, dan mendirikan sekurang-kurangnya satu Universitas Negeri untuk setiap provinsi.
Sangat disayangkan bahwa setelah para pendiri republik ini meninggalkan gelanggang penyelenggaraan negara, berbagai kebijakan unggul yang ditempuh oleh para pendiri republik ditinggalkan. Kebijakan memberi ikatan dinas dan asrama kepada mahasiswa calon guru ditiadakan, penyediaan perumahan dosen ditiadakan, asrama mahasisiwa pada setiap Universitas tidak difasilitasi lagi. Perluasan pendidikan yang ditempuh tidak dibarengi dengan mutu. Di sini penulis berpandangan penulis bahwa kondisi belum cerdasnya kehidupan bangsa dan belum majunya kebudayaan nasional, salah satu akarnya adalah diabaikannya penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, yang bermakna juga kurang dipahaminya makna fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional.
Catatan: Garis besar tulisan ini merupakan bagian dari kuliah umum program Magister Manajemen publik, Universitas Sriwijaya, Palembang, 7 Januari 2006.
Penulis:
Prof. Dr. Soedijarto, Guru Besar Ilmu Pendidikan (Emeritus) di Universitas Negeri Jakarta.