Dari manakah sains berasal? Mungkin sebagian besar dari siswa sekolah menengah apabila diberi pertanyaan seperti itu akan menjawab, “Sains berasal dari buku seperti ensiklopedi, textbook, internet, tokoh ilmuwan dan lain sebagainya”. Apakah produk sains yang terdapat di dalam buku saat ini mampu menjelaskan segala sesuatu fenomena alam secara menyeluruh? Sayangnya jawaban dari Francis Crick, seorang ahli fisiologi dan peraih Hadiah Nobel atas kontribusinya dalam penemuan struktur DNA, adalah “tidak”. Tahukah bahwa sains merupakan hasil dari suatu usaha atas dorongan aktivitas manusia yang primitif untuk mengenali dunia yang ia tinggali?
Sains bukanlah suatu barang yang hanya siap untuk digunakan, namun ia terus-menerus berkembang seiring mengikuti perkembangan zamannya. Adapun beberapa ilmuwan yang berusaha untuk mengklasifikasi jenis sains, di antaranya adalah sains murni dan sains terapan.
Sains murni merupakan sains yang mendedikasikan dirinya untuk melakukan eksplorasi, pencarian dan pengembangan konsep dasar suatu bidang dalam ilmu pengetahuan. Motivasinya adalah melakukan penelitian sains untuk sains itu sendiri. Sementara itu, penelitian sains terapan bertujuan untuk melakukan aplikasi dari sains dasar untuk membantu dalam memenuhi kebutuhan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Namun hingga saat ini garis pemisah klasifikasi antara sains terapan dan sains murni tidaklah begitu jelas, hal ini disebabkan karena hasil dari penelitian sains terapan tersebut akan menjadi data bagi sains murni dalam melakukan pengembangan konsep dasar bidang pengetahuan.
Sejarah perkembangan sains tidaklah didominasi oleh sebuah bangsa saja, akan tetapi masing-masing peradaban sebuah bangsa memiliki andil yang cukup penting dalam perkembangan sains yang saat ini dapat kita nikmati. Di antaranya adalah sains yang bermula dari hasil dari pemikiran bangsa Yunani yang berusaha untuk membebaskan dirinya dari jeratan pemikiran mistis, bangsa Mesir yang berusaha untuk membuat bangunan dengan presisi yang tinggi, peradaban Islam yang didasari atas ajaran agamanya bahwa dengan melakukan penelitian dan pengembangan sains dan teknologi untuk mengenal Tuhannya dan untuk mengemban kalifah di bumi.
Bagaimanakah masing-masing sejarah peradaban tersebut perkembang? Berikut akan disinggung penjelasannya secara singkat.
Yunani
Apakah dasar unsur dari Bumi yang kita tempati? Mungkin kita akan menjawab “atom” karena terdapat buku yang menjelaskan hal tersebut, akan tetapi bagaimana dengan bangsa yang sama sekali tidak mengetahui hal tersebut? Demikianlah yang dialami oleh bangsa Yunani kuno pada tahun 500 tahun sebelum Masehi. Mereka berusaha untuk membebaskan diri dari asumsi penjelasan mitologi mengenai fenomena alam, seperti gempa bumi yang dipercaya disebabkan karena makhluk bernama minotaur sejenis manusia yang berkepala banteng. Makhluk ini terdapat di penjara labirin Pulau Crete sebelah selatan Yunani.
Pertama kali sains berkembang di Yunani merupakan ilmu pengetahuan yang berkembang bermula dari spekulasi filsafat. Dahulu seorang filsuf merupakan seorang yang memiliki kemampuan di berbagai bidang ilmu sekaligus atau yang disebut sebagai polymath, sehingga dahulu tidak terdapat seorang fisikawan, biolog, matematikawan. Namun, filsuf mengintegrasikan berbagai bidang untuk mencari jawaban apa yang berada di alam semesta. Seperti halnya mencari asal-usul dasar dari alam semesta itu apa, hingga filsuf Yunani salah seorang yang bernama Democritus mengembangkan konsep dasar alam semesta yaitu berasal dari suatu hal yang sangat kecil dan tidak dapat dibagi lagi, yaitu “atom” yang kelak menjadi cikal bakal ilmu fisika dan kimia.
Sejarah cikal bakal sains kelak terlahir dari nalar orang-orang Yunani tersebut, seperti halnya salah seorang filsuf yang bernama Plato dalam sekolahnya ia mengajarkan bahwa seluruh benda yang terdapat di Bumi sebenarnya berasal dari dunia ide dalam pikiran kita yang sama sekali tidak berubah. Sebagai contoh, Plato mengatakan bahwa ide konsep tentang apel (seperti warna merah, rasanya yang manis, bentuknya yang bulat) didahului oleh pengalaman seseorang untuk merasakan seperti manisnya rasa apel, dan pengalaman dalam melihat bahwa buah apel memiliki warna merah dan berbentuk bulat (Will & Durant, 1965) .
Namun, pemahaman tersebut bertolak belakang dengan salah seorang murid Plato yang bernama Aristoteles, ia menjelaskan bahwa pengalaman mendahului konsep ide tentang suatu benda yang bertolak belakang dengan ide yang digagas oleh Plato. Sebagaimana contoh menurut Aristoteles seseorang tidak akan mengetahui buah apel (seperti warna merah, rasanya yang manis, dan bentuknya yang bulat) sebelum pernah melihat dan merasakan rasa buah apel. Metode ini dinamakan sebagai metode empiris (empiria = pengalaman) yang pada nantinya menjadi cikal bakal metode ilmiah yang digunakan untuk melakukan pendekatan dalam sains.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada peradaban bangsa Yunani sangatlah luas. Bermula dari keingintahuan tersebut hingga dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari seperti matematika geometri Euclid yang digunakan dalam melakukan pembangunan sebuah kuil di Athena dan harmoni pada tangga nada dalam alat musik yang merupakan hasil dari matematika Pitagoras. Ada pula ilmu pengobatan yang dikembangkan oleh Hippocrates, taksonomi dalam biologi, serta mekanika yang awal mulanya dikembangkan oleh Aristoteles.
Bahkan kelak pada saat Yunani dijajah oleh bangsa Romawi kuno, Archimedes seorang filsuf dan ilmuwan di Pulau Crete memanfaatkan ilmu fisika dan matematika pada saat itu sehingga sangat sulit bagi pasukan Romawi untuk menaklukan pulau tersebut, karena pulau tersebut pada dinding lautnya memiliki sebuah katrol yang mampu mengangkat dan melumpuhkan kapal-kapal pasukan Romawi yang sangat besar.
Tak lama kemudian banyak perang saudara yang terjadi pada bangsa Yunani mengakibatkan situasi sosial-politik-ekonomi yang tidak mendukung bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Terlebih dengan takluknya mereka pada invasi bangsa Romawi, kelak bangsa Romawi tidak lagi begitu memperdulikan perkembangan sains dasar, sehingga sains hanya berkembang pada lingkup aplikasi dalam kehidupan sehari-hari saja. Selain itu kekaisaran Romawi hanya fokus dalam melakukan pengembangan peralatan militer yang berguna dalam membantu menginvasi dan memperluas wilayah Romawi.
Setelah situasi Yunani yang tidak lagi mendukung pengembangan ilmu pengetahuan terutama pada perkembangan sains, maka para ilmuwan pada saat itu banyak melakukan perjalanan untuk bertukar pikiran dengan ilmuwan yang mungkin terdapat di benua lain, serta mencoba untuk mendapatkan pengalaman yang baru. Salah satunya saat itu negeri yang kaya akan pengembangan ilmu pengetahuan adalah bangsa Mesir.
Mesir
Mesir merupakan salah satu bangsa yang sangat memperhatikan perkembangan sainsnya. Bagaimana tidak, awal mulanya seorang matematikawan untuk melakukan pengukuran tinggi bangunan Piramida memerlukan matematika untuk dapat mengonstruksi bangunan sedemikian rupa. Salah satu kota terbesar pada saat itu yang menjadi pusat para ilmuwan untuk berkumpul dan bertukar pikiran adalah kota Alexandria. Pada awalnya kota ini terpengaruh oleh perkembangan sains yang dikembangkan oleh bangsa Yunani karena saat diinvasi Romawi, Yunani mengirimkan beberapa ilmuwannya untuk mempelajari kondisi pada wilayah kota tersebut.
Adapun tema sentral yang menjadi ciri pembahasan oleh ilmuwan Mesir kuno saat itu adalah konsep pemahaman sistem tata surya dan gravitasi bumi. Namun, mereka lebih fokus pada sistem tata surya. Pada saat itu sebagian besar filsuf dan ilmuwan memiliki pemahaman bahwa Bumi yang merupakan tempat berpijak adalah pusat dari sistem tata surya. Hal ini didasari oleh pengamatan dari kehidupan sehari-hari bahwa matahari yang mengelilingi bumi (geosentris), bukan bumi yang mengelilingi matahari. Akan tetapi, dengan paham itu masih ada beberapa fenomena yang tidak dapat dijelaskan seperti pada fenomena gerhana matahari dan gerhana bulan, serta beberapa fenomena terlihat seperti perubahan musim yang terjadi di beberapa belahan Bumi. Hal ini menjadi sangat penting dalam penentuan waktu dalam setahun, bulan, bahkan hari.
Bangsa Mesir mengalami kemunduran ilmu pengetahuan disebabkan oleh konflik sosial dan konflik agama yang sangat hebat di kota Alexandria (Will & Durant, 1965). Pada saat itu ilmu pengetahuan dikembangkan oleh masyarakat penganut paganisme yang memiliki Tuhan lebih dari satu (politeisme) dan juga terjadinya konflik dengan penganut agama Kristen. Sehingga perpustakaan Alexandria yang menyimpan warisan ilmu pengetahuan dari Yunani kuno pada saat itu menjadi obyek kemarahan masyarakat. Mereka beranggapan bahwa ilmu apapun yang terdapat di Alexandria merupakan sesuatu hal yang berbahaya untuk dipelajari, sehingga pada saat itu seluruh lembaran papyrus yang menyimpan berbagai ilmu pengetahuan dari Yunani kuno dibakar di lokasi halaman perpustakaan Alexandria. Demikianlah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi berhenti sejak kejadian tersebut.
Arab-Islam
Bangsa Arab pada awal mulanya merupakan bangsa yang memiliki kebiasaan hidup secara berpindah-pindah tempat atau nomaden. Hal ini disebabkan karena letak jazirah Arab sendiri merupakan tanah yang tandus sehingga bangsa ini berpindah-pindah untuk mencari sumber mata air yang berguna sebagai sumber kehidupan bagi kafilah atau sukunya dan bagi ternak yang dimilikinya. Bangsa ini hidup dengan cara menjadi kafilah-kafilah atau kelompok-kelompok kecil. Kafilah-kafilah tersebut sangat suka berperang dengan kafilah lainnya dan sangat mudah untuk dipicu oleh konflik, sehingga tak jarang konflik tersebut memunculkan pertumpahan darah antarkafilah.
Sejak datangnya agama Islam, kafilah-kafilah tersebut yang pada mulanya hidup berperang dengan satu dan yang lain dan saling bermusuhan dipersatukan dalam persaudaraan. Agama Islam memerintahkan kaumnya untuk melakukan penelitian ilmiah sebagaimana manifestasi untuk mengagungkan Sang Pencipta. Dengan melakukan penelitian ilmiah tersebut pada nantinya akan semakin meningkatkan keimanan seorang hamba yang berserah diri kepada Tuhannya. Tidak hanya melakukan penelitian atas fenomena alam saja, dalam agama Islam juga diperintahkan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan umat manusia. Hal inilah yang mendorong umat Islam untuk melakukan akuisisi besar-besaran terhadap ilmu pengetahuan dan pengembangan dalam teknologi itu sendiri.
Sejak berhentinya perkembangan ilmu pengetahuan yang terdapat di Yunani kuno dan runtuhnya perpustakaan di Alexandria, perkembangan ilmu pengetahuan, filsafat dan teknologi kini berkembang di Islam dengan basis ajaran agama Islam. Konon katanya terdapat sayembara yang diadakan oleh khalifah Harun al-Rasyid untuk mengumpulkan berbagai ilmu pengetahuan dari berbagai belahan dunia. Khalifah tersebut akan mengganti buku ilmu yang didapatkan dengan emas sesuai dengan berat buku tersebut. Sampai saat itu penerjemahan ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab secara masif terjadi sehingga khalifah selanjutnya, Al-Ma’mun, mendirikan pusat penerjemahan yang dinamakan sebagai House of Wisdom yang terletak di ibukota pemerintahan khalifah Arab di Baghdad (Heck, 2002).
House of Wisdom ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para filsuf, ilmuwan dan ahli fikih untuk bertukar pikiran dan pendapat mengenai berbagai topik seperti teologi, kalam, fisika, botani, kedokteran, matematika dan lain sebagainya. Terbukti dengan adanya beberapa ilmuwan terkenal yang terdapat di House of Wisdom, di antaranya adalah al-Khawarizmi.
Al-Khawarizmi merupakan salah seorang ilmuwan di House of Wisdom yang pakar dalam bidang matematika. Ia mengembangkan basis bilangan matematika baru menggantikan sistem lama yang saat itu masih menggunakan basis bilangan Romawi sehingga sangat sulit untuk melakukan operasi bilangan. Ia melakukan perjalanan di negeri India dan bersinggungan dengan konsep bilangan India yang memiliki konsep bilangan 0 dan bilangan yang sangat memudahkan dalam proses operasi bilangan yang digunakan hingga saat ini. Adapun beberapa dasar matematika yang dikembangkan pada saat itu adalah operasi matematika Al-Jabar dan Algoritma yang manfaatnya sangat terasa hingga sekarang seperti pada teknologi digital komputer, handphone, dan lain sebagainya.
Sayangnya, perkembangan ilmu pengetahuan di Kekhalifahan Islam tidaklah bertahan begitu lama. Hal ini disebabkan karena serangan bangsa Mongol pada saat itu yang memporak-porandakan kekhalifahan, hingga buku-buku hasil dari penelitian yang terdapat di House of Wisdom dibakar habis dan para ilmuwan pada saat itu dibunuh. Tragedi tersebut membuat perkembangan ilmu pengetahuan di kekhalifahan Arab yang berpusat di Baghdad terhenti (Nasr, 2001).
Selain itu, banyak terjadi pemberontakan di wilayah-wilayah kecil membuat kekhalifahan menjadi terpecah-pecah menjadi bentuk negara kota, dengan demikian perkembangan ilmu pengetahuan menjadi sangat lamban. Namun, sisa kekhalifahan di Cordoba yang saat ini terletak di Spanyol Selatan menghasilkan interaksi dengan bangsa Eropa. Interaksi dengan peradaban Cordoba membuat bangsa Eropa tertarik dengan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh peradaban Islam pada saat itu.
Bangsa Barat
Pada awalnya wilayah Cordoba merupakan wilayah milik kerajaan Kristen Romawi di Eropa. Seiring dengan perluasan wilayah kekhalifahan Islam, wilayah Cordoba berhasil dikuasai oleh kekhalifahan Islam sehingga saat itu masyarakat Cordoba mulai berinteraksi dengan budaya dan teknologi yang sedang berkembang (Will & Durant, 1965).
Di abad pertengahan ketika kekhalifahan Islam sudah memiliki teknologi untuk menciptakan kertas—yang diakuisisi dari teknologi yang digunakan oleh bangsa China—bangsa Barat masih dirundung oleh abad kegelapan atau sering disebut sebagai Dark Age. Saat itu, segala ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan ajaran gereja Romawi akan dianggap sebagai ajaran sesat dan harus dieksekusi oleh pihak inkuisisi.
Interaksi masyarakat Eropa pada masa abad kegelapan dengan Kekhalifahan Islam di Cordoba pada saat itu membuat masyarakat Eropa berkomunikasi dengan peradaban Islam. Banyak karya dari pemikir Cordoba seperti Averroes sangat terasa pengaruhnya pada nalar bangsa Eropa seperti Dennis Diderot, Rene Descartes, Voltaire. Interaksi dengan budaya Islam tersebut menjadi cikal bakal masa Renaissance (pencerahan). Hal ini disebabkan cita-cita bangsa Eropa untuk terbebas dari dogma Kristen Romawi pada saat itu yang sangat kuat.
Setelah bangsa Eropa mampu membebaskan diri dari kungkungan dogma tersebut, bangsa Eropa mengembangkan beberapa filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi dari warisan peradaban Yunani, kekhalifahan Islam dan Mesir. Seperti halnya mengembangkan fisafat ilmu pengetahuan dari Francis Bacon, yang memberikan dasar dalam penelitian ilmiah dengan cara melakukan proses induksi melalui pengumpulan berupa fakta-fakta secara partikular menuju suatu kesimpulan umum. Negeri Prancis secara khusus lebih cenderung mengembangkan metode ilmiah rasional analitis yang menekankan pada kemampuan nalar seperti metode deduksi yaitu dengan melalui pernyataan umum menuju ke fakta-fakta partikular yang mendukung pernyataan tersebut.
Seiring dengan padatnya benua Eropa, masyarakat Eropa bertujuan untuk mengadu nasib di negeri Amerika (hasil dari penjelajahan yang agak salah jalur). Adapun sains yang berkembang di Eropa juga dibawa ke benua Amerika yang berguna untuk melakukan pengolahan sumber daya alam sesuai dengan situasi ekologi Amerika. Sehingga dapat diketahui bahwa corak sains Amerika lebih cenderung pragmatis atau berorientasi pada manfaat dari sains tersebut.
Indonesia
Bagaimana dengan Indonesia? Masyarakat Indonesia pernah mengalami persinggungan dengan bangsa asing yang sangat banyak. Bermula dari tibanya bangsa Belanda dengan Cornelious de Houtman yang menginjakkan kaki di pelabuhan Sunda Kelapa kemudian diikuti oleh bangsa Eropa lainnya. Persinggungan dengan bangsa asing yang sangat lama membuat Indonesia terpengaruh sangat banyak dalam ranah budaya. Pada awal mulanya bangsa asing berdatangan ke Indonesia bertujuan untuk berdagang rempah-rempah yang memiliki nilai jual yang tinggi di Eropa. Namun seiring berjalannya waktu, bangsa Eropa tersebut memiliki niat untuk menguasai kepulauan Indonesia dengan cara mulai dari memonopoli hingga tanam paksa.
Pengalaman penjajahan yang dirasakan sangat lama tersebut membuat membentuk jati diri bangsa Indonesia menjadi bangsa yang inferior. Menjadi bangsa yang merasa dirinya lebih rendah apabila dibandingkan dengan bangsa lain. Meskipun bangsa Indonesia telah merasa merdeka, akan tetapi jati diri inferior tersebut masih terdapat di dalam jati diri bangsa hingga saat ini, seperti halnya belum mampu mengembangkan corak sains Indonesia sendiri dan masih begitu sangat membanggakan sesuatu apa saja yang dihasilkan oleh bangsa asing (Higham, 2004). Padahal apabila bangsa Indonesia menyadari, potensi sains yang dapat digali dan dikembangkan di Indonesia cukup besar lho. Dapat dibuktikan dengan beberapa peneliti yang justru tertarik di Indonesia untuk melakukan penelitian pada saat melakukan kontak secara langsung dengan masyarakat Indonesia pada saat melakukan penjelajahan samudera dahulu.
Sebut saja Alfred Russel Wallace. Siapa yang tak kenal dia? Dia yang bertama kali membuat klasifikasi fauna yang terdapat di Indonesia. Ia kemudian membaginya menjadi tiga wilayah yaitu Autralis (wilayah regional paling timur meliputi Papua, Maluku dan Nusa Tenggara Timur yang memiliki fauna khas seperti halnya yang terdapat di Australia), wilayah tengah yang dipisahkan oleh garis Wallace (meliputi pulau Komodo dan sekitarnya yang merupakan fauna khas di Indonesia yang tidak terdapat di wilayah lainnya), serta yang ketiga adalah wilayah yang paling barat, termasuk pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Wallace membuat suatu kesimpulan bahwa dahulunya pulau tersebut adalah satu, yaitu pulau Jawa dan Sumatra menjadi bagian wilayah Asia sedangkan Papua dahulunya merupakan bagian dari Australia.
Dan yang perlu diketahui nih, bahwa bapak Wallace ini merupakan salah satu anggota Royal Society kerajaan Inggris, suatu komunitas yang bergerak dalam bidang penelitian ilmiah. Bapak Wallace merupakan salah satu kolega Charles Darwin. Rumornya Charles Darwin dalam autobiografinya mengatakan bahwa jurnal penelitian yang diperoleh oleh Wallace dalam penelitiannya di kepulauan Indonesia menjadi salah satu fondasi bagi teori evolusi Darwin. Menurut teorinya, perbedaan spesies di wilayah seperti fauna Australis seperti di Indonesia bagian timur berbeda dengan Australia disebabkan karena terjadi isolasi dari spesies tersebut.
Indonesia merupakan negara yang memiliki ragam budaya, agama, bahasa, dan budaya. Hal ini sangat jauh berbeda apabila dibandingkan dengan negara lainnya yang cenderung memiliki budaya yang seragam. Bapak bangsa kita, Ir. Soekarno, pembangun bangsa yang lain membangun suatu negara yang berlandaskan atas kesamaan nasib atas bangsa yang sama-sama pernah dijajah oleh bangsa lain.
Di peringatan kemerdekaan yang ke-71 ini sangat disayangkan apabila kita masih merasa bahwa bangsa Indonesia memiliki posisi yang lebih rendah daripada bangsa lain yang secara tidak langsung telah terbentuk dalam ketidaksadaran kolektif dalam masyarakat kita. Sehingga kita selalu merasa silau apabila melihat produk yang dibuat oleh bangsa lain.
Sebagai manusia yang memiliki kesadaran akan eksistensi dan sejarahnya di dunia, selayaknya pada kemerdekaan yang ke-71 ini bangsa Indonesia mampu mendefinisikan dirinya sendiri dan tidak lagi didefinisikan oleh bangsa lain sebagai bangsa yang kurang mengenal teknologi. Dengan demikian potensi ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis toleransi atas keragaman budaya, bahasa dan agama menjadi sains yang mampu menjadi suatu model miniatur sains yang kelak mampu untuk merangkul berbagai suku, budaya, bahasa yang terdapat di dunia.
Bahan bacaan:
- Heck, Paul L. (2002). Construction of Knowledge in Islamic Civilization. Boston: Koninklijke Brill.
- Higham, Charles F. (2004). Encyclopedia of Ancient Asian Civilizations. New York: Facst On File, Inc
- Nasr, Seyyed Hossein. (2001). Science and Civilization in Islam. Chicago: ABC International Group.
- Durant, A. (1965). The Story of Civilization: Part IX: The Age of Voltaire: History of Civilization in Western Europe from 1715 to 1756, with Special Emphasis on the Conflict between Religion and Philosophy. New York: Simon and Schuster.
Penulis:
Akbar Prasetyo Utomo, alumnus Jurusan Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang.
Kontak: prasetyakbar(at)gmail(dot)com