Mengatasi Stres pada Anak

Stres bisa menyerang siapa saja, tidak peduli usia dan jenis kelamin. Stres merupakan sebuah kondisi ketika seorang individu merasa tidak mampu memenuhi tuntutan besar yang dibebankan kepadanya. Tekanan tersebut bisa berasal dari orang lain, lingkungan, ataupun diri kita sendiri. Stres bisa juga terjadi karena ketidakmampuan beradaptasi dengan lingkungan. Awal stres bisa bersumber dari rasa tidak berarti, rasa tidak berdaya, hingga rasa terpisah dari orang yang dicintai.

Akibat adanya suatu tekanan dari luar dirinya, individu akan berusaha mengatasinya untuk mencapai keadaan seimbang/homeostatis. Bila gagal, ia akan merasakan kondisi psikologi dan fisik yang tidak menyenangkan (stres). Bagi anak-anak, beberapa hal yang sering membuat anak stres misalnya adalah keadaan keluarga (orangtua, perceraian, pola asuh) dan lingkungan sekolah ataupun lingkungan tempatnya bermain.

Stres pada anak

Stres tidak semuanya berarti negatif. Stres dapat membantu anak mengembangkan keterampilan yang mereka butuhkan untuk beradaptasi dengan situasi serta lingkungan baru dan mengasah keterampilan mereka dalam mengatasi masalah. Dukungan dari orang tua dan anggota keluarga lainnya sangat diperlukan anak-anak untuk belajar bagaimana merespon stres dengan cara yang sehat secara fisik dan psikologis.

Jika tidak dikelola dengan baik, stres akan menjadi stres negatif. Oleh karena itu, bagi teman-teman pembaca 1000guru yang berperan sebagai kakak yang memiliki adik, atau mungkin sudah menikah dan saat ini menjadi calon orang tua, mari kita kenali gejala-gejala stres yang mungkin menjangkiti anak-anak. Dengan demikian, mudah-mudahan kita dapat membantu mereka meredakan stresnya dan menjadikannya sebagai stres yang positif.

Pada anak 0-5 tahun gejala stres di antaranya:

  • Mengisolasi diri (menarik diri) dari anak-anak lain.
  • Mudah gelisah, mudah tersinggung, lesu, malas, atau agresif.
  • Tantrum dan kerap menangis.
  • Pertumbuhan badan kurang.
  • Regresi (mengalami kemunduran) dari tahapan perkembangan sebelumnya. Misalnya, biasanya tidak mengompol menjadi kerap mengompol
  • Duduk/berdiri di sudut tertentu.
  • Menggigit baju atau menggigit jari.
  • Malu tanpa alasan, takut.
  • Murung, mimpi buruk.

Sementara itu, pada anak usia 6-10 tahun gejala stres di antaranya adalah sering menangis, tidak mau sekolah, murung, berani berbohong, terlalu aktif, suka berkelahi, tidur terganggu, ingin kabur dari rumah, sulit mengalah, dan banyak mengeluh.

Anak terkadang belum mampu mengungkapkan apa yang dia rasakan, tetapi apa yang terjadi padanya bisa tampak dari perilaku sehari-hari. Salah satu hal yang penting adalah mengamati perubahan perilaku atau kebiasaan anak. Sebagai contoh, seorang anak yang ramah dan pendiam tiba-tiba menjadi suka berdebat dengan teman-temannya. Kemungkinan muncul perilaku tersebut karena dia sedang mengalami stres. Jika tidak diatasi, stres pada anak bisa berakibat buruk pada perkembangan anak selanjutnya.

Apa yang harus kita lakukan?

Pertama yang harus dilakukan adalah menerima perilaku anak. Sebagai contoh, tidak ada gunanya memarahi anak ketika ia menghisap ibu jari. Memarahi tidak akan menghentikan perilaku tersebut. Untuk menghentikannya diperlukan metode khusus, tetapi sebelumnya harus selesaikan stresnya terlebih dahulu. Anak akan tetap menghisap jari ketika dia merasa stres dan tertekan. Itu merupakan caranya untuk meredakan kecemasan dan ketakutan. Setelah sesaat menerima perilakunya, kita bisa perlahan berkomunikasi dan memberikan masukan.

Contoh lainnya, ketika stres seorang anak yang tidak ingin makan sebaiknya tidak dipaksa untuk makan. Jika dipaksa, hal itu tidak akan berefek ia makan dengan baik. Ketika kita melihat perilaku yang tidak biasa (gejala stres muncul), kita harus tetap dekat dengannya dan memberi kenyamanan kepadanya. Yakinkan, bahwa kita sangat peduli dengannya.

Hal-hal yang bisa membantu anak mengelola stres, antara lain:

  • Bantulah anak berbicara tentang apa yang mengganggu mereka.
  • Jangan memaksa mereka untuk berbicara, tetapi menawarkan kesempatan pada saat santai.
  • Tidak banyak mengkritik dan memarahi anak.
  • Membangun situasi rumah dan lingkungan yang hangat.
  • Mengajaknya beraktivitas fisik. Misalnya berlari di taman bersama orangtua ataupun kakak-kakaknya, mengajak jalan-jalan sembari bercerita.
  • Luangkan waktu khusus untuk menemani anak bermain/belajar, melakukan hal-hal yang disukainya.
  • Mendorong anak untuk makan sehat.
  • Ajarkan anak-anak dengan kata-kata positif.
  • Berikan pelukan hangat. Hal ini dapat meredakan stres pada anak.

Selain poin-poin di atas, kita bisa juga mengajak anak bermain peran yang di dalamnya ada cerita tentang menghadapi stres. Bisa juga dengan mendongeng yang mengandung unsur edukasi. Sebagai contoh, jika anak takut dengan situasi baru, kita bisa ceritakan kisah tentang bagaimana kita pernah merasa dalam situasi yang sama dan apa yang kita lakukan untuk mengatasinya.

Penting juga untuk mengubah pola asuh yang menyebabkan stres pada anak. Secara umum, pola asuh orang tua terdiri dari 3 macam:

  1. Otoriter, orang tua tidak memberi anak kebebasan dan memaksa anak agar memenuhi tuntutan orang tua bahkan menganiaya anaknya.
  2. Permisif, yaitu orang tua sangat membebaskan anaknya walaupun seorang anak belum dapat membuat keputusan dengan tepat dan membiarkan kesalahan anak.
  3. Otoritatif, yakni orang tua menentukan dengan jelas konsekuensi dari setiap tindakan yang diambil, mereka tidak mengekang anak secara berlebihan juga tidak membebaskannya, tetapi terus memberi perhatian pada anak dan berusaha membentuk anak yang mandiri.

Pola asuh otoritatif adalah cara yang paling baik untuk membentuk kepribadian anak. Stres dapat terjadi pada anak apabila dia merasa tidak dapat memenuhi tuntutan orang tuanya (yang bersikap otoriter) ataupun karena dia harus mengalami konsekuensi buruk akibat kesalahan keputusan yang diambilnya (karena orang tua terlalu permisif).

Bahan bacaan:

Penulis:
Retno Ninggalih, ibu rumah tangga, alumnus Fakultas Psikologi Undip, saat ini bertempat tinggal di Sendai, Jepang. Kontak: r.ninggalih(at)gmail(dot)com.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top