Jika masyarakat awam mendengar kata “NUKLIR”, sebagian besar mungkin akan berpikir mengenai bom nuklir seperti yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Ketakutan terhadap bahaya nuklir seakan semakin bertambah manakala mengingat kembali insiden yang terjadi di Chernobyl, Ukraina, pada tahun 1986. Pada saat itu terjadi ledakan pada reaktor yang mengakibatkan kebocoran radiasi tingkat tinggi.
Hal yang hampir sama juga terjadi di Jepang, Fukushima pada tahun 2011, setelah bencana gempa dan tsunami, salah satu reaktor di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima mengalami masalah dengan sistim pendingin yang mengakibatkan ledakan akibat tekanan hidrogen yang meningkat, sehingga terjadi kebocoran radiasi, meskipun tingkat bahayanya tidak separah seperti yang terjadi di Chernobyl.
Jepang, yang notabene pernah merasakan dahsyatnya ledakan bom atom pada saat perang dunia, nampaknya tidak jera menggunakan teknologi nuklir sebagai salah satu sumber energi. Banyak PLTN yang jumlahnya mencapai ratusan didirikan oleh negara tersebut, yang seolah-olah menggambarkan bahwa mayoritas masyarakat Jepang tidak fobia terhadap nuklir, justru merasa terbantu dengan pemanfaatan energi nuklir ini.
Manfaat energi nuklir ini memang dapat diandalkan untuk kebaikan umat manusia, selama tidak disalahgunakan dan digunakan dengan tingkat keamanan yang tinggi. Selain PLTN, energi nuklir ini banyak dimanfaatkan di dunia kesehatan. Kedokteran adalah salah satu bidang yang memanfaatkan energi nuklir ini. Radiologi, radioterapi, dan kedokteran nuklir merupakan sebagian besar cabang spesialisasi kedokteran yang menggunakan energi radiasi dari nuklir ini dalam melayani pasien. Pada tulisan ini, mari kita simak lebih lanjut mengenai kedokteran nuklir.
Menurut World Health Organization (WHO) dan International Atomic Energy Agency (IAEA), kedokteran nuklir merupakan suatu spesialisasi kedokteran yang menggunakan energi radiasi terbuka dari nuklir untuk menilai fungsi dari suatu organ, mendiagnosis, dan mengobati penyakit. Energi radiasi terbuka ini diberikan dalam bentuk obat radioaktif yang dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara diminum atau disuntik.
Obat radioaktif yang digunakan di bagian kedokteran nuklir terdiri dari sinar gamma, beta, dan alfa. Saat ini, kedokteran nuklir telah rutin menggunakan sinar gamma untuk prosedur diagnostik, sedangkan sinar beta untuk prosedur terapi. Sinar alfa masih dalam tahap penelitian dengan prospek yang menjanjikan untuk digunakan di bidang kedokteran.
Pada prosedur diagnostik di kedokteran nuklir, sinar gamma digunakan karena memiliki jarak penetrasi yang panjang sehingga dapat menembus jaringan tubuh manusia yang akan direkam distribusinya di dalam tubuh dengan menggunakan kamera yang disebut kamera gamma. Obat radioaktif yang mengandung sinar gamma ini bersifat fisiologis dan akan disebarkan di dalam tubuh dan terakumulasi pada organ yang ditarget.
Ada banyak obat radioaktif di kedokteran nuklir yang dapat digunakan untuk menilai metabolisme atau fungsi dari organ yang ada di dalam tubuh. Pada prosedur terapi di kedokteran nuklir, sinar atau partikel beta digunakan karena memiliki energi yang sangat tinggi walaupun memiliki jarak penetrasi yang sangat pendek.
Partikel beta mampu menimbulkan kematian sel dengan cara mendestruksi atau memutus rantai DNA yang ada di dalam inti sel. Dengan demikian, metabolisme di dalam sel akan menjadi terganggu dan menyebabkan kematian sel pada akhir prosesnya. Kematian sel juga dapat terjadi akibat proses apoptosis yang dipicu oleh energi radiasi. Apoptosis adalah kematian sel yang dilakukan secara terprogram sehingga sel akan mati secara otomatis.
Semua obat radioaktif yang digunakan di kedokteran nuklir menggunakan dosis aktivitas yang sangat rendah. Dokter spesialis kedokteran nuklir menggunakan prinsip ALARA (as low as reasonable achieve), yaitu dengan menggunakan dosis radiasi sekecil mungkin dengan tetap dapat memberikan tingkat akurasi yang tinggi melalui gambar yang dihasilkan atau efektivitas yang tinggi dari terapi. Dengan begitu, prosesdur yang dilakukan di kedokteran nuklir, baik itu diagnostik maupun terapi, merupakan prosedur yang sangat aman untuk dilakukan.
Dosis paparan radiasi dari prosedur diagnostik yang dilakukan di kedokteran nuklir relatif tidak berbeda jauh dengan dosis paparan radiasi dari prosedur di radiologi. Perbedaannya terletak pada prosedur terapi yang menggunakan obat iodium radioaktif untuk kanker tiroid, dosis yang cukup besar sehingga pasien perlu dirawat isolasi di ruangan khusus sampai paparan radiasi turun ke dalam batas normal.
Prosedur kedokteran nuklir tidak boleh dilakukan hanya pada ibu hamil dan menyusui, dan pasien yang keadaan umumnya kurang baik. Pada pasien seperti itu dikhawatirkan bahwa analisis dan hasil prosedur kedokteran nuklir akan terganggu.
Obat radioaktif yang digunakan di kedokteran nuklir, baik itu diagnostik maupun terapi, memiliki waktu paruh yaitu waktu usia dari obat radioaktif untuk meluruh menjadi setengah dari aktivitas energi radiasi sebelumnya. Umumnya, waktu paruh dari obat radioaktif yang digunakan di kedokteran nuklir tidak panjang sehingga radiasi yang ada di dalam tubuh dapat cepat hilang. Selain itu, obat radioaktif biasanya dikeluarkan di dalam tubuh melalui cairan urin atau kotoran sehingga pasien disarankan untuk banyak minum atau makan setelah prosedur dilakukan untuk mempercepat penurunan radiasi.
Secara umum, prosedur di kedokteran nuklir sangat berbeda dengan prosedur di radiologi. Dari definisi pun jelas berbeda. Dalam kedokteran nuklir, energi radiasi yang digunakan adalah sumber radiasi terbuka sedangkan dalam radiologi yang digunakan adalah sumber radiasi tertutup (yang memancarkan radiasi adalah kameranya, bukan pasiennya seperti yang terjadi di kedokteran nuklir). Sinar yang digunakan pun berbeda, di kedokteran nuklir sinar radiasi yang digunakan adalah sinar nuklir (inti) yaitu sinar gamma, beta, dan alfa, sedangkan radiologi hanya menggunakan sinar-X.
Kedokteran nuklir memberikan informasi mengenai metabolisme atau aspek fungsional dari suatu organ (bagaimana kinerja suatu organ), sementara radiologi diagnostik memberikan informasi mengenai morfologi atau anatomi dari organ tersebut (bagaimana bentuknya, ukurannya, atau lokasinya). Lain lagi dengan proses terapinya, pada kedokteran nuklir digunakan prinsip radiasi internal yaitu memasukkan obat radioaktif sebagai sumber radiasi ke dalam tubuh pasien yang akan diakumulasi secara spesifik oleh organ yang ditarget (targeted therapy), sedangkan pada radioterapi digunakan prinsip radiasi eksternal yaitu dengan menembakkan sumber radiasi dari pesawat ke tubuh pasien yang ditarget.
Berdasarkan patofisiologi terjadinya suatu penyakit, kedokteran nuklir tidak hanya dapat memberikan informasi suatu organ pada tingkat metabolisme atau fungsional, tetapi juga secara tidak langsung dapat memberikan informasi di tingkat molekuler atau gen dari suatu organ. Bahkan beberapa prosedur diagnostik di kedokteran nuklir dapat memberikan informasi mengenai kondisi molekuler dari suatu organ. Maka, dapat dikatakan bahwa kedokteran nuklir dapat mendeteksi adanya satu kelainan atau penyakit jauh lebih awal sebelum ditemukannya kelainan pada tingkat anatomi (radiologi).
Prosedur diagnostik di kedokteran nuklir memang telah dikenal sebagai pemeriksaan diagnostik yang sangat sensitif namun kurang spesifik. Sangat sensitif, karena kemampuan kedokteran nuklir dalam mendeteksi adanya suatu penyakit jauh lebih awal sebelum pemeriksaan lain mendeteksi adanya suatu kelainan. Namun, dikatakan kurang spesifik karena kedokteran nuklir tidak dapat membedakan kelainan apa yang dimaksud sehingga dibutuhkan pemeriksaan yang lain dengan spesifikasi yang tinggi untuk mengkonfirmasi kelainan tersebut.
Kelemahan lainnya dari kedokteran nuklir adalah kurangnya informasi anatomi khususnya mengenai lokasi dari kelainan yang dapat dideteksi kedokteran nuklir. Kelemahan ini dapat diatasi dengan menggunakan teknologi hybrid imaging, yaitu kombinasi antara pemeriksaan kedokteran nuklir yang memberikan informasi metabolisme atau fungsional dengan informasi dari anatomi, khususnya lokasi.
Informasi anatomi pada teknologi hybrid imaging menggunakan dosis radiasi yang rendah sehingga hanya dapat memberikan informasi lokasi saja, tanpa dapat memberikan informasi mengenai anatomi lainnya seperti bentuk, ukuran, dan parameter anatomi lainnya dengan baik. Dengan demikian, informasi anatomi (lokasi) yang dikombinasikan dengan informasi metabolisme atau fungsional di kedokteran nuklir tidak dapat menggantikan peranan dari radiologi diagnostik. Apabila diperlukan informasi mengenai anatomi atau struktur organ secara detil, radiologi diagnostik tetap perlu dilakukan secara terpisah.
Dalam kedokteran nuklir, kamera yang digunakan adalah kamera gamma, yaitu kamera yang mampu menangkap dan menganalisis sinar gamma yang dipancarkan dari dalam tubuh pasien. Terdapat 2 macam kamera gamma yang digunakan, yaitu single photon emission computed tomography (SPECT) dan positron emission tomography (PET). Perbedaan mendasar dari kedua kamera ini adalah jenis obat radioaktif yang digunakannya.
Pada SPECT, obat radioaktif yang digunakan hanya memancarkan sinar gamma ke satu arah (single photon), sedangkan pada PET obat radioaktif yang digunakan mampu memancarkan sinar gamma pada dua arah yang berlawanan sekaligus (double photon = positron). Oleh karena itu, gambar yang dihasilkan oleh PET relatif lebih baik bila dibandingkan dengan SPECT. Pada teknologi hybrid imaging, kamera gamma ini dikombinasikan dengan computed tomography (CT) dosis rendah sehingga dapat membantu memperbaiki atenuasi yang dihasilkan oleh kamera gamma.
Dengan hybrid imaging, hasil gambar yang dihasilkan oleh PET/CT atau SPECT/CT menjadi lebih baik karena tingkat resolusi citra yang lebih tinggi melalui bantuan CT. Selain itu, hybrid imaging juga dapat membantu dalam menentukan lokasi anatomi. Dengan teknologi hybrid imaging ini, nilai diagnostik dari prosedur diagnostik di kedokteran nuklir menjadi semakin tinggi dengan memperbaiki spesifikasi dan akurasi dari pemeriksaan diagnostik tersebut.
Dengan semakin berkembangnya kedokteran nuklir ini, sudah sewajarnya penanganan pasien menjadi lebih baik. Deteksi awal dari suatu penyakit dapat dilakukan sejak awal, bahkan sebelum kelainan anatomi atau keluhan dari pasien muncul. Pemberian terapi dapat lebih spesifik pada organ yang ditarget tanpa memberikan dampak yang buruk pada organ lain yang bukan target dari terapi. Saat ini, paradigma kedokteran sudah mulai bergeser dari tingkat anatomi menjadi lebih fokus pada tingkat metabolisme atau fungsional, dan bahkan genetik atau molekuler. Semakin awal suatu penyakit dapat terdeteksi, semakin cepat jenis terapi yang tepat dapat direncanakan sehingga memperbesar peluang untuk sembuh.
Namun, perlu disadari bahwa hingga saat ini tidak ada satupun jenis pemeriksaan diangostik di kedokteran yang mampu memberikan tingkat akurasi 100%. Bahkan pemeriksaan diagnostik yang dianggap sebagai gold standard pun memliki kekurangan dan masih mungkin untuk salah. Semua pemeriksaan diagnostik memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Berbagai pemeriksaan diagnostik itu selayaknya digunakan untuk saling melengkapi satu sama lain.
Penulis:
Ryan Yudistiro, dokter spesialis kedokteran nuklir, RS Siloam, Jakarta.
Kontak: http://dokternuklir.blogspot.com/