Seringkah Anda mendengar Indonesia mengikuti olimpiade internasional? Ya, banyak kali Indonesia memperoleh medali emas di ajang olimpiade sains dunia. Namun, mengapa kemajuan negara kita seolah jalan di tempat? Apa yang salah dengan generasi bangsa? Atau cara guru mengajarkan yang kurang tepat?
Materi yang dibebankan pada siswa Indonesia terkesan menitikberatkan pada hafalan teori. Penguasaan teori tanpa menerapkannya adalah hal ‘muspro’. Jika kita pandai berteori namun tak mengerti penggunaan teori tersebut, hasilnya sama dengan nol. Kita ambil contoh materi geografi. Dalam materi kelas X semester genap siswa Indonesia dituntut mempelajari jenis-jenis letusan gunung. Contoh materinya ditunjukkan pada tabel.
Haruskah siswa menghafalkannya? Hampir semua mata pelajaran menuntut siswa untuk menghafal. Jika guru mewajibkan siswa untuk menghafal pada tiap mata pelajaran, akankah mereka akan menjadi ahli pada semua bidang mata pelajaran tersebut? Setiap kemampuan siswa nantinya pasti akan dispesifikasi saat mereka memasuki perguruan tinggi. Akan sangat membebani jika siswa harus menghafal semua materi.
Sejak pendidikan dasar hingga menengah, siswa dituntut untuk menghafal materi. Menghafal materi seolah-olah menjadi indikasi kepandaian siswa. Menghafal seolah menjadi satu-satunya cara untuk mengasah otak. Padahal, menurut Bloom, kemampuan menghafal/mengingat merupakan kemampuan berpikir terendah yang dilakukan siswa.
Mengasah otak tidak hanya dengan menghafal. Otak dapat diasah dengan PTT (pertanyaan tingkat tinggi). Setiap materi sangat berpotensi memunculkan PTT. Sekali lagi hanya berpotensi. Potensi tidak akan muncul jika guru tidak menggalinya. Berikut beberapa pertanyaan dari contoh materi di atas.
- Sebutkan dua jenis letusan gunung secara umum beserta ciri-cirinya! (Menghafal)
- Mengapa letusan Merapi lebih banyak memakan korban jiwa dibandingkan letusan Kelud yang lebih dahsyat? (Menganalisis)
- Mengapa letusan Kelud lebih banyak merugikan manusia secara ekonomis daripada Merapi?
Soal nomor 2 dan 3 menuntut siswa berpikir tingkat tinggi (analisis). Siswa dituntut mengaitkan jenis letusan Kelud dan pengaruhnya terhadap manusia, sementara soal nomor 1 hanya menuntut siswa untuk mengingat. Dengan menggunakan PTT, target “menghafal” bahkan bisa otomatis tercapai dengan sendirinya karena PTT membuat siswa harus membaca lebih banyak untuk bisa memberikan analisis yang tepat.
Lebih jauh lagi, andaikan siswa diizinkan membuka catatan ketika menjawab soal dengan PTT, tingkat kecurangan karena “menyontek” bisa lebih ditekan. Mengapa demikian? Karena jawaban dari PTT tidak akan langsung ditemukan saat membuka catatan, tetapi harus mengaitkan teori dengan hal tertentu (aplikatif).
Lalu, dapatkah PTT diterapkan pada setiap mata pelajaran? Tentu bisa. Berikut beberapa contoh PTT dari beberapa mata pelajaran.
Pertanyaan tingkat tinggi dapat berupa menganalisis, mengevaluasi, maupun berkreasi. Kata paling sederhana untuk menjelaskan kegiatan menganalisis ialah mengaitkan. Jika sebuah soal menuntut siswa untuk mengaitkan teori dengan hal tertentu, sudah dapat dikatakan menganalisis. Mengevaluasi ialah melakukan penilaian. Penilaian yang dilakukan tidak harus hal-hal yang rumit, cukup hal-hal yang sederhana terkait materi yang dipelajari.
Kemampuan berkreasi tidak harus untuk sesuatu yang besar, cukup hal-hal yang sederhana. Kenyataannya, banyak penemuan kecil dan sederhana yang hingga saat ini masih banyak digunakan, seperti sandal jepit, konsep lampu merah, lego, dll. Dengan melatih kemampuan kreatif siswa, sangat mungkin mencetak generasi-generasi kreatif yang memajukan bangsa.
Kemampuan berkreasi lebih umum dilakukan dalam bentuk melakukan aktivitas daripada menjawab pertanyaan. Sebagai contoh, siswa membuat beberapa kubus dengan kawat yang disediakan. Akankah panjang rusuk tiap kubus yang tercipta sama persis? Siswa membuat rangkaian listrik campuran seri dan paralel dari 2 m kawat, 3 bola lampu, dan 2 baterai. Akankah setiap siswa akan menghasilkan bentuk rangkaian yang sama persis? Sangat kecil kemungkinan terbentuk hal yang sama, karena ide pemikiran tiap orang atau siswa memang berbeda.
Mengapa perlu melatih siswa berpikir tingkat tinggi? Perlukah berpikir tingkat tinggi diterapkan dalam pembelajaran? Setiap siswa nantinya pasti akan menghadapi dunia kerja. Tahukah Anda bahwa setiap pekerjaan menuntut berpikir tingkat tinggi? Seorang petani akan menanam jagung saat kemarau dan padi saat penghujan.
Apakah petani hanya menghafal jenis tanaman pada musim tertentu? Tentu tidak, petani mengaitkan musim dan ketersediaan air terhadap jenis tanaman yang akan ditanam. Saat akan melakukan penyerangan, tentara akan memilih melalui hutan daripada padang rumput. Apakah tentara menghafal hal itu? Tentu tidak, tentara menilai hutan lebih menyamarkan posisi mereka daripada melalui padang rumput.
Dua profesi di atas adalah contoh penerapan berpikir tingkat tinggi secara sederhana dalam dunia kerja. Masih sangat banyak contoh profesi yang menuntut berpikir tingkat tinggi yang bahkan lebih rumit. Sebagai contoh seorang insinyur akan mengaitkan jenis dan kekuatan bahan, bentuk bangunan terhadap kekuatan bangunan, dan mengaitkan semua itu dengan biaya yang dibutuhkan.
Berpikir tingkat tinggi perlu dibiasakan pada seseorang sejak di bangku sekolah. Jika itu benar-benar diterapkan, kita tentu sangat berharap sumber daya manusia Indonesia kelak akan lebih baik lagi. Metode PTT dapat diupayakan untuk mencetak generasi yang analitis, evaluatif dan kreatif, sehingga manusia Indonesia tidak hanya menang secara kuantitas, tetapi juga dalam hal kualitasnya.
Penulis:
Muhammad Luthfi Arrohman, guru MAS Bustanul Ulum Dlanggu, Kabupaten Mojokerto.