Optogenetik: (Bukan) Tongkat-tongkat Cahaya

Seorang wanita tua bergaun biru mengayunkan tongkatnya. Secercah cahaya muncul dari tongkat, mengarah pada dua tikus yang sedari tadi bertengkar. Tiba-tiba, keduanya tersentak. Mereka tak lagi bicara dan kini berlari-lari tanpa bisa berhenti mengikuti ke mana cahaya biru itu diarahkan oleh empunya.

Ed46-biologi-1

Di tempat lain…

Seseorang berjas putih itu menatap serius kotak kaca di depannya. Tangannya siaga, bersiap, dan,  “Ctek!” Cahaya biru muncul dari seutas kabel panjang. Tikus di dalam kotak yang semula asyik bermain-main seketika berlarian mengitari bagian dalam kotak, membentuk pola lingkaran. “Ctek,” cahaya biru nan misterius menghilang dan bersamaan dengan itu si tikus kembali tenang, bermain-main.

Ctek…ctek…” Berulang-ulang, bergantian, cahaya biru muncul dan menghilang. Berulang-ulang pula si tikus berlari dalam pola lingkaran-terdiam-berlari-terdiam dan asyik kembali. Di belakang sana seulas senyum yang tak kalah misteriusnya terukir dari si empunya jas putih.

Teman-teman, tahukah kalian bahwa kejadian kedua benar-benar ada di dunia nyata? Ya, tentu berbeda dengan “tongkat cahaya” milik si wanita tua. Bukan juga fiksi seperti yang mungkin kalian duga. Pergerakan tikus dalam kotak itu murni dikontrol oleh cahaya, dengan teknologi abad ke-21 yang kita sebut optogenetik.

Optogenetik? Makanan jenis apa lagi itu? Ssst… Berhentilah memikirkan makanan dulu, kawan. Mari kita simak penjelasannya sekarang di artikel ini :)

Penantian panjang neurosaintis 

Kata optogenetik berasal dari gabungan kata “opto” (dari bahasa Yunani optos, berarti “terlihat”) dan genetik. Prinsip dari teknologi ini adalah memanfaatkan cahaya untuk mengatur fungsi sel-sel pengekspresi protein yang sensitif cahaya (light-sensitive protein). Untuk bisa mengekspresikan protein khusus tersebut, sel terlebih dahulu dimodifikasi secara genetik.

Metode optogenetik yang akan dibahas kali ini adalah metode yang dikembangkan oleh Karl Deisseroth dan Ed Boyden. Deisseroth adalah seorang neurosaintis (peneliti neurologi atau saraf) di Stanford University, sedangkan Ed Boyden merupakan anak didik Deisseroth ketika mereka  berdua mengembangkan metode tersebut.

Sejarah optogenetik sebenarnya telah dimulai berpuluh-puluh tahun yang lalu. Empat puluh tahun sebelum Deisseroth dan timnya menemukan metode ini, para ahli mikrobiologi sudah mengetahui bahwa beberapa mikroorganisme dapat memproduksi protein yang bisa diaktifkan oleh cahaya tampak. Protein tersebut mampu mengatur aliran ion melalui membran plasma pada sel secara langsung.

Di sisi lain, neurosainstis juga sudah amat paham bahwa untuk mengaktifkan sel-sel saraf dan otot diperlukan aliran ion tertentu yang melewati membran plasma. Namun, sadarkah mereka akan kemungkinan dihubungkannya kedua bidang ini—mikrobiologi dan neurosains? Jawabannya, ya. Sayangnya, terlalu banyak ilmuwan yang sangsi akan keberhasilan “perkawinan” dua bidang yang amat bertolak belakang ini, tentunya dengan banyak pertimbangan yang tidak sembarangan.

Revolusi optogenetik. Sumber: http://blogs.scientificamerican.com/
Revolusi optogenetik. Sumber: http://blogs.scientificamerican.com/

Berpuluh tahun kemudian, bermodalkan motivasi tinggi, pengetahuan mendalam, dan anggota tim bertalenta tinggi, tim bioengineering yang dipimpin oleh Deisseroth berusaha keras mewujudkan tantangan “protein mikroba + sel saraf”. Penelitian berisiko tinggi ini pun akhirnya berbuah hasil manis, seperti yang dilaporkan pada bulan Agustus 2005 di jurnal internasional terkemuka, Nature.

Tim Deisseroth berhasil mengisolasi DNA yang mengodekan kemampuan menangkap dan memanfaatkan cahaya (photoreceptive) dari alga dan memindahkan gen tersebut ke dalam sel saraf tikus. Selanjutnya, opsin, protein yang dapat mengubah cahaya menjadi sinyal listrik, pun diproduksi dari gen-gen tersebut. Ketika opsin dipaparkan pada cahaya tertentu, opsin akan menyebabkan neuron tereksitasi.

Fvoila! Ini dia yang dinanti-nantikan para neurosaintis sejak lama. Salah satu dokumentasi videonya bisa disaksikan di Youtube.

 

Enam langkah menuju optogenetik

Bagaimana para peneliti melakukannya? Pertama, para peneliti mengisolasi DNA yang mengodekan kemampuan fotoreseptif tersebut dan membentuk konstruksi gen terlebih dahulu. Konstruksi gen ini terdiri dari promoter (untuk mendorong ekspresi gen) dan gen yang mengkode opsin (protein yang sensitif terhadap cahaya).

Setelah konstruksi gen berhasil dilakukan, konstruksi tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tubuh virus untuk diinjeksikan pada otak tikus. Di dalam sel saraf tikus, gen tersebut memproduksi opsin. Langkah keempat, ‘optrode’ alias gabungan kabel serat optik plus elektrode dihubungkan dengan otak tikus. Terakhir, setelah semua peranti terpasang, sel saraf diberi paparan cahaya dengan panjang gelombang tertentu. Cahaya tersebut menyebabkan kanal ion pada sel saraf dan memungkinkan masuknya aliran ion natrium. Sel pun akhirnya tereksitasi (menghantarkan sinyal).

Enam langkah dalam pengaplikasian optogenetik pada tikus. Sumber: http://www.etudogentemorta.com/wp-content/uploads/2010/05/optogenetics.jpg
Enam langkah dalam pengaplikasian optogenetik pada tikus. Sumber: http://www.etudogentemorta.com/wp-content/uploads/2010/05/optogenetics.jpg

Pemeran utama

Teman-teman, penasaran tidak sih dengan pemeran utama dari teknologi optogenetik ini? Yuk perkenalkan, di sini sudah ada channelrhodopsin yang berasal dari alga hijau, halorhodopsin dari archae, dan tak lupa bacteriorhodopsin dari bakteri. Mereka semua adalah kelompok opsin, protein yang sensitif pada cahaya (photoreceptive proteins) yang berasal baik dari alga maupun bakteria.

Protein dari jenis yang berbeda dapat distimulasi dengan cahaya yang berbeda. Channelrhodopsin distimulasi dengan cahaya biru untuk mengeksitasi sel sedangkan halorhodopsin distimulasi dengan cahaya kuning untuk menonaktifkan sel. Sumber: http://www.nature.com/nmeth/journal/v8/n1/full/nmeth.f.324.html
Protein dari jenis yang berbeda dapat distimulasi dengan cahaya yang berbeda. Channelrhodopsin distimulasi dengan cahaya biru untuk mengeksitasi sel sedangkan halorhodopsin distimulasi dengan cahaya kuning untuk menonaktifkan sel. Sumber: http://www.nature.com/nmeth/journal/v8/n1/full/nmeth.f.324.html

Setiap protein tersebut diaktifkan oleh cahaya yang berbeda dan memberikan efek yang berbeda pula — eksitasi atau inhibisi. Channelrhodopsin dapat diaktifkan dengan cahaya biru dan menyebabkan sel tereksitasi. Halorhodopsin dan bacteriorhodopsin diaktifkan oleh cahaya yang berbeda, kuning dan hijau, tetapi menghasilkan efek yang sama, inhibisi (sel inaktif).

Ada apa dengan sel yang on dan off?

Ketika sel saraf atau otot tereksitasi, kita menyebut keadaan tersebut sebagai keadaan on atau menjalarkan sinyal. Sementara itu, ketika penghantaran sinyal dihambat (inhibisi), sel berada dalam keadaan off sehingga sel tidak berfungsi.

Dalam penelitian tentang fungsi otak, membuat sel tertentu dalam keadaan on atau off menjadi sangat penting. Mengapa? Karena dengan meng-on-kan sel peneliti dapat melihat fungsi apa yang diinisiasi atau disokong oleh sel tersebut. Di sisi lain, ketika sel dalam keadaan off atau kehilangan fungsinya, dengan mengamati perilaku atau fungsi yang hilang dari target maka kita dapat memahami fungsi penting dari sel tersebut.

Apa hebatnya?

Optogenetik yang dikembangkan oleh Deisseroth dan Boyden mendapatkan anugerah “Method of the Year” dari jurnal Nature (saksikan videonya di Youtube). Optogenetik juga dielu-elukan dan diprediksikan akan membawa perubahan besar pada dunia neurosains, terutama aplikasinya pada penelitian tentang penyakit dan kesehatan. Memangnya, apa hebatnya sih?

Tahukah teman-teman, bahwa dengan menggunakan optogenetik para ilmuwan dapat menghantarkan kontrol optik dengan presisi tinggi (spesifik pada tipe sel tertentu sesuai keinginan) dan kecepatan tinggi (skala milidetik).  Coba bandingkan dengan penggunaan elektrode yang ribet —menstimulasi semua sel dalam sirkuit tanpa membedakan jenis selnya—atau hantaran obat yang tidak spesifik serta lambat. Dengan kelebihan-kelebihan tersebut, para peneliti bisa dengan mudah melakukan observasi terhadap sistem yang kompleks seperti otak pada mamalia bergerak.

Kekuatan cahaya di masa depan

Seperti yang telah didemonstrasikan oleh para ilmuwan, opsin mikroba ternyata dapat ditoleransi oleh otak mamalia hidup tanpa gangguan berarti. Oleh karena itulah, banyak penelitian optogenetik difokuskan pada penyakit saraf.  Hal ini merupakan potensi yang menjanjikan untuk pengobatan penyakit saraf.

1. Epilepsi

Para ilmuwan meramalkan, di masa depan optogenetik dapat digunakan untuk menyembuhkan epilepsi (ayan). Sel-sel neuron yang mengalami kerusakan dan menyebabkan kejang dapat “dibungkam” dan dikontrol dengan opsin. Sejauh ini, percobaan telah dilakukan pada rodensia dan sedang diujicobakan pada primata.

2. Memulihkan penglihatan

Degenerasi retina yang diwarisi dari orangtua (inherited retinal degeneration) yang menyebabkan kebutaan total maupun parsial mempengaruhi 1 dari 3000 orang di seluruh dunia. Meskipun terapi obat tersedia bagi penyakit degeneratif terkait usia, tidak ada satu pun yang sudah terbukti dapat mengatasi penyakit yang dikarenakan genetik seperti retinitis pigmentosa.

Perbandingan retina normal (kiri) dan retina yang rusak karena retinitis pigmentosa (kanan). Sumber: http://www.visionaware.org/info/your-eye-condition/retinitis-pigmentosa/12
Perbandingan retina normal (kiri) dan retina yang rusak karena retinitis pigmentosa (kanan). Sumber: http://www.visionaware.org/info/your-eye-condition/retinitis-pigmentosa/12

Hingga saat ini belum ada pengobatan yang dapat mengembalikan penglihatan jika sel kerucut dan sel batang pada retina rusak. Dengan optogenetik, para ilmuwan ingin memanipulasi sel ganglion pada retina sehingga sel tersebut dapat peka terhadap cahaya, menggantikan fungsi sel kerucut dan batang yang rusak.

Pemandangan yang dilihat oleh orang dengan mata normal (kiri) dan penderita retinitis pigmentosa (kanan). Sumber: http://www.eyehealthweb.com/retinitis-pigmentosa/
Pemandangan yang dilihat oleh orang dengan mata normal (kiri) dan penderita retinitis pigmentosa (kanan). Sumber: http://www.eyehealthweb.com/retinitis-pigmentosa/

Selain yang sudah disebutkan di atas, optogenetik juga diprediksi dapat diaplikasikan untuk banyak hal lain seperti terapi gen, pemetaan fungsi otak, kultur sel, analisis jaringan saraf, hingga pengobatan Parkinson.  Nah, teman-teman bisa lihat kan kalau “tongkat-tongkat cahaya” kini bukan lagi khayalan khas dunia dongeng belaka.

Tuhan telah memberikan kita kemampuan untuk berpikir, memikirkan ciptaan-Nya di alam semesta untuk dipelajari dan dimanfaatkan. Dengan motivasi tinggi dan semangat pantang menyerah beberapa khayalan di dunia dongeng akan mungkin menjadi kenyataan. Salah satunya adalah optogenetik si (bukan) tongkat cahaya.

Bahan bacaan:

Penulis:
Annisa Firdaus Winta Damarsya, mahasiswi S1 Biological Science, School of Science, Nagoya University.
Penerima Beasiswa Unggulan Kemdikbud RI – Surya Institute.
Kontak: annisafirdauswd(at)yahoo(dot)co(dot)id.

Back To Top