Modiano, Memori, dan Identitas Diri

Ketika panitia Nobel 2014 mengumumkan pemenang penghargaan tersebut untuk kategori literatur, dunia internasional cukup terhenyak. “Patrick Modiano, siapa dia?” mungkin begitu gumam sebagian besar penikmat sastra.

Nama Modiano (69 tahun) memang jauh kalah tenar dibandingkan Alice Munro (pemenang 2013) ataupun Mo Yan (2012) yang karya-karya tulisnya mendunia dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Tentu ada faktor khusus yang menarik untuk kita ketahui bersama sehingga panitia Nobel memutuskan Modiano berhak mendapatkan hadiah Nobel.

Nyatanya, Modiano sebagai seorang novelis hingga saat ini baru menulis sekitar 30-an judul. Cukup banyak, tetapi tidak terlalu banyak dibandingkan Mo Yan dan Munro. Dari jumlah itu, masih kurang dari 10 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Wajar jika publik tidak terlalu mengenal namanya. Tapi, jangan salah kira dulu. Coba Anda bertanya kepada orang Prancis, “Siapa Modiano?” Hampir bisa dipastikan orang-orang Prancis tahu namanya meski sebelum pengumuman pemenang penghargaan Nobel.

Beberapa karya tulis Modiano (gambar dari sfgate.com).
Beberapa karya tulis Modiano (gambar dari sfgate.com).

Apa sebenarnya yang membuat karya-karya Modiano cukup istimewa? Memori dan identitas diri. Dua kata kunci ini bisa menjadi jawabannya. Dalam seluruh karya tulisnya, Modiano selalu bertutur mengenai persoalan identitas diri sang tokoh utama, yang ingin selalu menelusuri kembali memori masa lalu untuk mengetahui kebenaran jati dirinya.

Modiano menganggap selalu ada misteri dalam setiap individu manusia ketika ia merujuk pada memori masa lalu. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti mengapa orang tua kita memberi nama yang kita punya saat ini, mengapa teman-teman kita punya sikap tertentu pada kita, terkadang pertanyaan-pertanyaan ini dapat mengejutkan ketika diketahui jawaban sebenarnya.

Konflik batin dan permusuhan kerap muncul dalam penelusuran memori masa lalu. Namun, Modiano kemudian memandang pentingnya penghargaan nilai-nilai kemanusiaan untuk mengurangi tekanan dari konflik-konflik yang ada. Sering diduga bahwa plot khas Modiano ini muncul sebagai hasil dari obsesi Modiano sendiri dalam memandang masa lalu.

Meskipun dalam nyaris seluruh tulisannya Modiano mengambil plot waktu dan tempat yang terkait dengan Prancis di masa perang, pesan-pesan yang dibawanya bersifat universal. Ia selalu ingin menyampaikan pentingnya pengetahuan identitas di masa lalu untuk membentuk pribadi di masa sekarang maupun masa depan. Dalam hal ini, Modiano dianggap lebih unggul dari sejarawan profesional sekalipun untuk menerangkan detail-detail penelusuran masa lalu dari suatu tokoh yang sebenarnya menjadi fiktif di dalam novelnya.

Gaya bercerita Modiano merupakan gaya tutur mundur. Setiap novelnya selalu memiliki tokoh narator yang sekaligus menjadi tokoh utama atau bercerita tokoh utama lainnya. Narator ini akan bercerita misteri identitas yang ada pada tokoh utama sehingga perlu melakukan penelusuran kisah-kisah masa lalu, baik itu yang melibatkan dirinya sendiri maupun orang lain. Sering ditemui, memori masa lalu itu tersembunyi rapat karena tekanan dari lingkungan sekitar.

Arthur Goldhammer, seorang profesor dari Harvard University yang kerap menerjemahkan literatur Prancis ke dalam bahasa Inggris berkomentar bahwa Modiano, meskipun tidak mengenyam pendidikan tinggi formal, adalah seorang psikoanalis handal. Modiano mampu menyampaikan dengan sangat gamblang mengenai pentingnya seseorang menelusuri identitas dirinya agar dapat membentuk kepribadian yang tangguh.

Untuk benar-benar mengerti kedalaman gaya tutur Modiano, disarankan oleh Goldhammer agar kita membaca seluruh karyanya. Namun, tentu saja itu sulit bagi kita yang tidak bisa berbahasa Prancis. Goldhammer lantas merekomendasikan satu novel Modiano yang berjudul Dora Bruder, yang berkisah seputar perjalanan pencarian identitas seorang anak pelarian perang.

Dari keberhasilan Modiano untuk Nobel Sastra pada tahun ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa mengingat setiap tahap kehidupan kita, baik ataupun buruk, merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Selain itu, dari sisi latar belakang Modiano yang tidak memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi, kita bisa mengerti nilai rasa sastra yang tinggi itu justru sering muncul dari pengalaman kehidupan sehingga menjadi spesialisasi tersendiri.

Tidak ada salahnya jika kita mulai saat ini mengasah selalu kemampuan menulis dalam bentuk apapun, dalam bahasa apapun. Tentunya juga bukan dengan motif untuk mendapatkan penghargaan. Ingat sebuah ungkapan Arab yang sangat terkenal, “Ajarkan sastra pada anak-anakmu, agar anak yang pengecut jadi pemberani.” Ya, dengan sastra dan keindahan tulisan, seorang penulis akan mampu menyuarakan ide-idenya kepada publik secara luas.

Bahan bacaan:

Penulis:
Retno Ninggalih, ibu rumah tangga, alumnus Fakultas Psikologi Undip, saat ini bertempat tinggal di Sendai, Jepang.
Kontak: r.ninggalih(at)gmail(dot)com.

Back To Top