Dalam artikel ini kembali akan diceritakan salah satu fenomena ajaib di dunia mikro. Sebagian dari kita mungkin telah mendengar bahwa cahaya tersusun atas partikel-partikel kecil yang tidak bisa dibelah lagi. Model cahaya seperti ini pertama kali dikemukakan oleh Newton. Setelah sempat ditinggalkan karena penemuan sifat interferensi cahaya yang menunjukkan bahwa cahaya punya sifat gelombang, model cahaya sebagai kumpulan partikel kembali diadopsi lagi oleh Einstein untuk menjelaskan efek fotolistrik. Partikel-partikel yang menyusun cahaya disebut sebagai foton.
Dengan konsep cahaya seperti itu, mari kita lakukan sebuah percobaan pikiran. Pertama, kita berkenalan dulu dengan sebuah alat yang disebut beam-splitter (pembagi berkas cahaya). Secara harfiah, “to split” berarti membelah. Istilah beam-splitter berasal dari sifatnya yang dapat dijelaskan melalui gambar di bawah ini.
Sesuai gambar tersebut, dari arah sebelah kiri kita tembakkan cahaya yang merupakan kumpulan foton. Dari sebelah kanan kita letakkan dua buah detektor. Tugas detektor adalah mencatat kalau ada foton yang lewat dengan menyerapnya. Ingat bahwa foton yang terserap oleh detektor akan hilang sehingga tidak bisa dipakai lagi. Setelah kita tembakkan foton satu per satu, jika detektor B mencatat ada satu foton yang lewat, di detektor C tidak ada foton yang tercatat. Begitu juga sebaliknya.
Hasil ini tentu sesuai dengan intuisi kita dengan asumsi bahwa foton tidak bisa membelah. Tidak ada yang aneh. Disebabkan sifatnya yang seperti itulah alat ini disebut sebagai beam-splitter. Kita bisa “berkesimpulan” bahwa separuh dari foton-foton yang datang itu akan diteruskan dan separuhnya yang lain dipantulkan. Oleh karena itu, beam-splitter disebut juga sebagai half-silvered mirror (cermin semitransparan).
Sekarang kita gunakan dua buah beam-splitter (disingkat B-S) dan dua buah cermin seperti pada gambar di bawah ini. Skema percobaan ini disebut sebagai interferometer Mach-Zehnder.
Sifat dari cermin adalah memantulkan semua foton yang datang kepadanya. Sekarang foton (dari sumber yang sama) ditembakkan satu per satu. Foton-foton itu awalnya akan melewati B-S A sehingga separuh dari foton akan diteruskan ke cermin B dan separuhnya dipantulkan ke cermin C. Oleh cermin B dan C, foton-foton itu dipantulkan ke B-S D. Selanjutnya, oleh B-S D, separuh dari foton yang datang dari cermin B akan diteruskan ke detektor F dan separuh yang lain akan dipantulkan ke detektor E.
Begitu pula separuh dari foton yang datang dari cermin C akan diteruskan oleh B-S D ke detektor E, sedangkan separuh yang lain akan dipantulkan ke detektor F. Pertanyaannya adalah, “Berapa perbandingan foton yang dicatat detektor E dan berapa yang dicatat detektor F?”
Misalkan kita tembakkan 6 triliun foton. Sesuai dengan sifat beam-splitter yang telah kita pelajari di awal, secara intuitif kita katakan 3 triliun foton akan diteruskan oleh B-S A ke arah cermin B dan 3 triliun foton lainnya akan dipantulkan ke cermin C. Cermin B dan C bersifat memantulkan secara sempurna sehingga kedua cermin itu akan mengirimkan 3 triliun foton yang datang kepadanya ke B-S D. Oleh B-S D, sebanyak 1,5 triliun foton yang datang dari cermin C akan diteruskan ke detektor E dan 1,5 triliun lainnya akan dipantulkan ke detektor F. Sementara itu, dari 3 triliun foton yang datang dari cermin B, setengahnya (1,5 triliun) akan dipantulkan ke detektor E dan 1,5 triliun sisanya akan diteruskan ke detektor F. Jadi, totalnya detektor E akan mencatat 3 triliun foton dan detektor F akan mencatat 3 triliun foton juga.
Sayangnya, hasil eksperimen sama sekali berlawanan dengan apa yang telah kita pikirkan! Menurut eksperimen yang sesungguhnya, apabila panjang jalan yang dilalui foton pada setiap jalur (A-C-D-E, A-C-D-F, A-B-D-E, A-B-D-F) semuanya sama, hasilnya detektor E tidak mencatat satupun foton (nol foton). Dengan kata lain, “Seluruh foton tercatat di detektor F!”Lho kok bisa? Apa yang terjadi? Adakah yang salah? Jawabannya ada di teori kuantum. Teori kuantum mengklaim bisa “menjelaskan” fenomena yang mirip dengan sihir ini dengan matematika yang tidak kalah ajaibnya. Einstein menyebut matematika teori kuantum sebagai the real black magic calculus.
Apakah ada di antara teman-teman yang punya ide bagian mana dari penjelasan di atas yang meragukan? Atau bahkan bisa menjelaskan fenomena tersebut tanpa belajar dulu mekanika kuantum? Ditunggu jawabannya! Kalau bisa menjelaskan fenomena ini tanpa mekanika kuantum tentunya akan jadi penemuan besar.
Bahan bacaan:
- http://en.wikipedia.org/wiki/Mach-Zehnder_interferometer
- http://www.upscale.utoronto.ca/GeneralInterest/Harrison/MachZehnder/MachZehnder.html
- J. S. Bell, Speakable and Unspeakable in Quantum Mechanics (Cambridge University Press, 1988).
Penulis:
Agung Budiyono, peneliti fisika independen dengan spesialisasi fondasi fisika kuantum dan mekanika statistik, saat ini bertempat tinggal di Juwana dan Sleman. Kontak: agungbymlati@gmail.com.