Globalisasi: Kritik dari Dua Kacamata Berbeda

Istilah globalisasi telah lama terdengar. Terlebih setelah Perang Dingin dimenangkan blok kapitalis yang dimotori oleh Amerika, istilah globalisasi serasa tiada henti dikumandangkan dalam percaturan politik dan ekonomi dunia. Globalisasi membuat dunia menyempit tiada batas. Dulu sekali ketika penulis mendengar untuk pertama kalinya, istilah ini terdengar begitu keren. Namun, globalisasi ternyata bukanlah suatu sistem yang sempurna. Meskipun banyak hal positif dihasilkannya, banyak juga hal negatif yang diakibatkannya. Secara umum menurut Robert W Cox, terdapat dua teori dalam kritik globalisasi, yaitu teori pemecahan masalah (problem solving theory) dan teori kritis (critical theory).

Ilustrasi globalisasi: berbagai produk Amerika sampai ke hampir seluruh pelosok dunia.
Ilustrasi globalisasi: berbagai produk Amerika sampai ke hampir seluruh pelosok dunia.

Para pengamat yang menganut teori pemecahan masalah memahami globalisasi sebagai sesuatu yang tidak terelakkan dan pasti terjadi. Mereka memahami globalisasi dengan sederhana, praktis, dan sementara. Dalam jajaran ini biasanya adalah para birokrat, politisi, dan orang bisnis yang telah menanamkan modal mereka dalam arus sistem globalisasi. Mereka memilih untuk fokus kepada apa yang terjadi sekarang sebagai titik awal dalam memahami dan mencari solusi yang tepat akan masalah-masalah yang diakibatkan oleh globalisasi tanpa mempertimbangkan sejarah ke belakang.

Sebagai contoh penganut teori pemecahan masalah adalah Pemerintah Australia (dan termasuk juga sebagian besar pemerintah di belahan dunia lain termasuk Indonesia). Dalam laporan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Luar Negeri Australia 2003 dinyatakan bahwa fakta statistik membuktikan globalisasi membantu pertumbuhan ekonomi dan penyetaraan ekonomi antar negara. Menurut laporan tersebut, globalisasi menarik investor dari luar negeri melalui penanaman modal asing (Foreign Direct Investment) yang mempromosikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi di negara tujuan investasi. Biasanya, negara dunia ketiga menjadi sasaran dengan alasan upah tenaga kerja masih rendah. Dampak yang diharapkan dari penanaman modal asing ini adalah untuk mengurangi kesenjangan antara negara maju dan negara dunia ketiga. Tetapi, menurut penganut teori pemecahan masalah ini, masalah masih saja terjadi. Ketika kesenjangan ekonomi antar negara menyempit, ternyata kesenjangan ekonomi dalam negara melebar sehingga di negara berkembang yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.

Bertolak dari keadaan inilah, para penganut teori pemecahan masalah mengkritik sistem globalisasi dengan mengajukan penguatan tata kelola yang baik (good governance) sebagai penyeimbang bagi tujuan penyetaraan ekonomi. Singkat kata, penganut teori pemecahan masalah tidak skeptis terhadap globalisasi dan memilih pro status quo. Mereka menyadari banyak hal harus dibenahi, tetapi meyakini bahwa sistem ini bisa berjalan tanpa harus mencari sistem baru sebagai gantinya.

Sangat berbeda dengan para penganut teori pemecahan masalah, penganut teori kritis memahami dan mengkritik globalisasi dengan melihat bagaimana sejarah terbentuknya sistem ini, menggarisbawahi kompleksitasnya dalam konteks sosial, dan mengkritik para pemain globalisasi, yang notabene adalah perusahaan raksasa dan negara-negara maju. Salah satu contoh penganut teori kritis adalah Stephen Gill yang berpendapat bahwa: jika dilihat dari sejarah, globalisasi terjadi sebagai aspirasi dari perusahaan raksasa bermodal luar biasa, segelintir negara-negara kaya yang tergabung dalam OECD, dan para pemimpin negara dunia ketiga yang percaya bahwa hanya dengan menyerap investasi asing lah negara dunia ketiga mampu mengejar ketertinggalan. Menurut Gill, globalisasi akhirnya bukan hanya untuk kesetaraan ekonomi, tetapi berakibat pada realitas sosial, yaitu budaya global menjangkiti segala aspek kehidupan (lihat saja botol Coca Cola yang berserakan di pelosok Indonesia). Selanjutnya, Gill menuturkan bahwa kekuatan global yang mempunyai pengaruh pada hampir seluruh denyut nadi penduduk dunia itu hanya dikuasai oleh segelintir kelompok dan segelintir negara yang melegitimasi kekuatan mereka melalui Badan-badan Dunia seperti Bank Dunia, IMF, WTO, dan persekutuan regional seperti APEC, AFTA dan NAFTA.

Contoh lain penganut teori kritis adalah Andre G. Frank yang melontarkan teori ketergantungan. Frank menyatakan bahwa globalisasi adalah hasil dari mekanisme ketergatungan yang berawal sejak periode kolonialisme saat pembangunan di negara dunia ketiga hanyalah instrumen penguasaaan oleh penguasa (conquest of conquerors). Oleh karena itu, pembangunan di negara dunia ketiga pada akhirnya tidak pernah mencapai kata kesetaraan. Negara dunia ketiga tetaplah menjadi negara penghasil komoditas bernilai rendah, bahan mentah, dan menjadi sapi perah, sedangkan kunci pengetahuan bernilai tinggi masih akan dipegang oleh negara maju.

Penganut teori kritis membuka perdebatan bahwa globalisasi tidaklah tidak terelakkan. Tidak seperti penganut teori Pemecahan Masalah yang cenderung berpendapat bahwa sistem globalisasi ini secara fundamental sudah mapan dan hanya perlu membenahi masalah-masalah yang timbul dan memodifikasinya, penganut teori kritis cenderung membuka wacana untuk mencari alternatif sistem baru atau merestrukturisasi secara total sistem yang sudah ada.

Yang paling menarik adalah kedua penganut teori pemecahan masalah dan teori kritis sama-sama menyatakan bahwa globalisasi masih jauh dari harapan maupun tujuan untuk menyetarakan penduduk dunia. Penganut teori pemecahan masalah di antaranya menggelontorkan ide tata kelola yang baik (good governance) di negara dunia ketiga untuk menjembatani ketimpangan, sedangkan penganut teori Kritis menggolontorkan ide baru seperti ‘lokalisme’ (localism) atau mengkonsumsi produksi lokal. Dengan kata lain, masih banyak pekerjaan rumah di depan mata, mau memodifikasi atau merombak total.

Sebelum mengakhiri, penulis ingin bercerita satu paragraf saja. Penulis pernah pulang kampung ke desa di Kediri. Penulis pergi ke pasar dekat rumah dan mendapati harga bahan-bahan yang masih sangat murah. Tidak didapati satupun sayur mayur yang dijual oleh mbok-mbok yang telah penulis kenal sejak kecil itu yang diproduksi di Cina, Peru, atau Afrika Selatan seperti yang penulis jumpai di pasar tradisional di Australia. Bahkan salah satu teman SD berjualan alat-alat rumah tangga yang begitu sederhana dan tidak ada satupun yang ‘made in China’. Di desa, tidak dijumpai burger atau fried chicken yang banyak kita jumpai di Jakarta atau Surabaya atau bahkan di Kediri. Dari sini dapat disimpulkan, orang-orang di desa tidak pernah mengenal kosa kata lokalisme, namun mereka telah bertindak secara lokal sebelum ide ini dilayangkan oleh para pemikir dunia yang  mengkritisi globalisasi. Jadi mari kita kembali pada kearifan lokal budaya kita sendiri.

Bahan bacaan:

  • Cox, Robert W. (1996) ‘On perspective and purposes’ dalam Cox, Robert W. with Sinclair, Timothy J., Approaches to world order, Cambridge and New York: Cambridge University Press, pp. 87-91
  • Department of Foreign Affairs and Trade (2003) ‘Globalisation: Keeping the Gains’, Canberra: Commonwealth of Australia, pp. 1-17
  • Gill, Stephen (2003) ‘Globalisation, Market Civilization and Disciplinary Neo-Liberalism’ dalam Power and Resistence in New World Order, Basingstoke and New York: Palgrave Macmillan, pp. 116-142
  • Frank, Andre Gunder (1973) ‘The Development of Underdevelopment’, dalam Wilber, Charles (ed), The Political Economy of Development and Under-development, (1st edition), New York: Random House, pp. 94-104

Penulis:
Ahmad Zaenudin, pegawai Ditjen Bea Cukai RI. Kontak: ahmad_zaenudin(at)hotmail(dot)com.

Back To Top