Kilau Tumbuhan Senggang (Hornstedtia reticulata) pada Anyaman Suku Dayak

Aktivitas anyaman merupakan salah satu budaya kearifan lokal masyarakat suku Dayak yang telah diakui secara nasional hingga ranah internasional. Tak jarang, beragam produk yang dihasilkan memiliki nilai fantastis. Para pegiat seni anyaman menilai produk anyaman masyarakat Dayak tidak hanya memiliki unsur kerapian dan keindahan yang memukau, tetapi juga memiliki nilai budaya yang mengandung ragam cerita kearifan lokal hingga informasi keanekaragaman flora dan fauna yang dituangkan dalam motif dan pola anyaman.

Pemukiman masyarakat suku Dayak yang masih menempati daerah hutan dan pegunungan mendukung pemanfaatan aneka jenis tumbuhan hutan ke dalam produk anyaman yang dihasilkan. Tumbuhan yang lazim digunakan adalah rotan. Rotan merupakan sebutan untuk beberapa marga dari suku palem-paleman atau Arecaceae yang memiliki persebaran luas di pulau Kalimantan dan juga di Sumatera. Tercatat sejumlah ± 350 jenis rotan dapat dijumpai di Indonesia.

Jenis tumbuhan lainnya yang sering digunakan sebagai bahan anyaman oleh masyarakat suku Dayak adalah bambu, pandan dan bemban. Walaupun demikian, tak jarang beberapa jenis tumbuhan yang tidak lazim digunakan sebagai bahan baku anyaman ternyata dimanfaatkan oleh masyarakat suku Dayak sebagai bahan anyaman. Salah satunya adalah Hornstedtia reticulata, yang merupakan salah satu tumbuhan dari suku jahe-jahean atau Zingiberaceae.

Hornstedtia reticulata digunakan sebagai anyaman oleh suku Dayak Iban-Desa, yaitu salah satu subsuku dari kelompok suku Dayak Iban yang tersebar di wilayah Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Tumbuhan yang merupakan jenis endemik dari Kalimantan ini memiliki beberapa nama daerah, antara lain “senggang” (bahasa Dayak Iban) dan “songang” (bahasa daerah Melawi).

Tumbuhan senggang (Hornstedtia reticulata).

Seperti pada umumnya jenis jahe-jahean, tumbuhan ini tumbuh berumpun dengan tinggi mencapai 3 meter. Menyukai daerah terbuka dengan paparan sinar matahari penuh, tumbuhan senggang biasanya ditanam di pekarangan rumah, kebun, dan tepi ladang. Beberapa bagian tumbuhan dapat dimakan (edible) seperti batang muda yang dapat disayur dan biji dari bunga. Sementara bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan anyaman adalah pelepah daun.

Keunikan dari pelepah daun senggang adalah warna kuning keemasan yang muncul ketika pelepah daun senggang telah kering sempurna. Berkebalikan dengan anyaman berbahan daun pandan yang harus dianyam ketika daun masih dalam kondisi segar untuk mencegah robeknya daun, pelepah daun senggang hanya boleh dianyam setelah dikeringkan. Proses pengeringan dapat dengan dijemur di bawah sinar matahari, atau dengan dikering-anginkan di daerah ternaungi seperti di bawah atap atau di atas perapian.

Persiapan pelepah daun tumbuhan senggang sebagai bahan baku anyaman.

Masyarakat suku Dayak Iban-Desa memiliki aneka ragam produk anyaman yang diperuntukkan bagi beberapa kegunaan. Akan tetapi, tidak semua kategori kegunaan produk anyaman itu dapat dihasilkan dengan bahan baku anyaman tumbuhan senggang. Pelepah daun senggang umumnya digunakan pada bagian tubuh produk anyaman. Penempatan anyamannya biasanya sebagai badan utama produk anyaman atau sebagai lapisan dalam produk anyaman. Pola anyaman yang digunakan adalah pola anyam tunggal, anyam dua diri, dan anyam dua gali’.


Anyaman pelepah daun tumbuhan senggang pada lapisan dalam anyaman (kiri) dan sebagai badan utama anyaman (kanan), diindikasikan oleh tanda panah.
Pola anyaman yang biasa digunakan untuk menganyam pelepah daun senggang: (a) pola anyam tunggal, (b) pola anyam dua diri, dan (c) pola anyam dua gali’.

Oleh masyarakat suku Dayak Iban-Desa, tumbuhan anyaman lazim digunakan pada tiga belas jenis produk anyaman dengan empat kategori pemanfaatan yaitu sebagai alat berladang, perlengkapan rumah tangga, perlengkapan ritual adat, dan alat mainan anak. Alat berladang yang digunakan dengan anyaman tumbuhan senggang adalah tudung (dikenal dengan nama topi caping dalam bahasa Indonesia), cupai (keranjang kecil yang diikat ke pinggang, untuk menempatkan benih padi yang akan ditabur di ladang pada masa tanam padi), takin (keranjang untuk mengumpulkan butiran padi yang sudah rontok dari tangkai padi), empajang (keranjang dengan tinggi setengah dari tinggi badan manusia, digunakan untuk mengangkut butiran padi dari ladang ke rumah), capan dan pengindang (dikenal dengan penampi atau nyiru dalam bahasa Indonesia), dan kelayak (tikar untuk menjemur padi).

Alat berladang dari anyaman pelepah daun senggang: (a) empajang, (b) tudung, (c) capan, (d) pengindang, (e) cupai, (f) kelayak,dan (g) takin.

 

Pada kategori pemanfaatan lainnya, tumbuhan anyaman masing-masing digunakan untuk membuat anyaman ketapu laung (topi yang digunakan dalam upacara adat), buah raga’ (sejenis mainan anak berbentuk bola), tikar, tabung bulat dan tabung pipih (biasa digunakan sebagai tas sekolah untuk anak-anak), dan engkidung (wadah kecil, biasanya untuk menyimpan benang dan gunting untuk menenun)  yang merupakan peralatan rumah  tangga. Anyaman pelepah daun senggang tidak memiliki kekuatan dan daya tahan seperti anyaman dari rotan maupun bambu. Oleh karena itu tumbuhan ini lebih sering digunakan untuk membuat anyaman yang tidak diperuntukkan untuk membawa beban berat.

Pada anyaman-anyaman berbentuk keranjang seperti empajang dan takin, tumbuhan senggang digunakan pada lapisan dalam keranjang yang berfungsi untuk menguatkan keranjang yang dibuat. Selain itu, tumbuhan senggang juga digunakan untuk menganyam lapisan dalam produk anyaman yang dibuat dengan motif. Hal ini dikarenakan pelepah daun senggang tidak dapat mengikat warna seperti bambu yang digunakan untuk membuat produk anyaman dengan motif.

Produk anyaman pelepah daun senggang dari kategori pemanfaatan peralatan rumah tangga, perlengkapan ritual adat, dan permainan anak: (a) tikar, (b) ketapu laung, (c) buah raga’, (d) tabung pipih, (e) tabung bulat, dan (f) engkidung.

Hingga saat ini, anyaman masih terus menjadi kegiatan harian yang dapat dijumpai pada kelompok masyarakat Dayak. Beberapa produk anyaman tersebut lebih banyak digunakan untuk kebutuhan pribadi, walaupun beberapa di antaranya ada yang dijual ke pasar maupun distributor seperti koperasi dan Dekranasda yang membantu pemasaran produk anyaman yang dijual.

Kendati demikian, kendala yang kini dihadapi oleh para pengrajin anyaman adalah kurangnya minat generasi muda untuk meneruskan budaya menganyam tersebut sehingga rawan untuk tergerus zaman. Oleh karena itu perlu dipikirkan upaya untuk dapat melestarikan budaya menganyam yang menjadi salah satu budaya asli masyarakat suku Dayak dan aset penting bagi kebudayaan Indonesia.

Bahan bacaan:

  • Poulsen A. D. 2006. Gingers of Sarawak. Sabah: Natural History Publication (Borneo) Sdn. Bhd.
  • Sellato B. 2012. Plaited Arts from The Borneo Rainforest. Jakarta: The Lontar Foundation.

Penulis:
Asih Perwita Dewi, Peneliti di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Kontak: perwita09(at)gmail.com

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top