Cerdas dan Berbudaya melalui Pembelajaran Etnosains

Indonesia merupakan negara yang indah dan mengagumkan. Laut biru membentang luas. Rumput hijau terhampar bak permadani. Cahaya matahari yang cemerlang jatuh pada kelopak bunga yang berwarna-warni. Selain terkenal atas keindahan alamnya, Indonesia juga kaya akan berbagai kearifan lokal. Keanekaragaman pakaian adat, lagu daerah, makanan tradisional, kesenian daerah, cerita rakyat, hingga permainan tradisional, bagaikan pelangi yang mewarnai Bumi Pertiwi.

Kearifan lokal yang merupakan bagian dari budaya bangsa menjadi salah satu kekayaan dan kebanggaan bangsa Indonesia haruslah dilestarikan. Kearifan lokal tersebut menjadi pedoman hidup dan dijalankan oleh masyarakat karena dipercaya sebagai suatu hal yang baik dan penuh kebijaksanaan (Fuad dan Misbah, 2019). Selain itu, Novitasari, Agustina, Sukesti, Nazri, dan Hadhika (2017) menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan wujud pemahaman masyarakat terhadap alam dan budayanya. Kearifan lokal juga merupakan cerminan dari etnosains yang dimiliki oleh suatu komunitas budaya tertentu.

Indonesia kaya akan berbagai kearifan lokal yang dapat menjadi sumber belajar dalam memahami sains dan menjadikan siswa mencintai budayanya sendiri.

Kata etnosains (ethnoscience) berasal dari kata ethnos yang dalam bahasa Yunani berarti bangsa dan scientia yang dalam bahasa Latin berarti pengetahuan (Harefa, 2017). Jadi, etnosains adalah pengetahuan yang dimiliki oleh suatu bangsa, khususnya suatu suku bangsa atau kelompok sosial tertentu (Sudarmin, 2014). Selanjutnya, Khusniati (2014) menyebutkan etnosains sebagai suatu ilmu yang mempelajari bagaimana sains diperoleh berdasarkan budaya yang ada di dalam suatu bangsa. Etnosains lahir dari proses menerjemahkan fenomena yang dialami masyarakat sesuai dengan kepercayaan yang berkembang di lingkungan masyarakat tersebut.

Dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang. Penggalian ilmu pengetahuan guna mengembangkan teknologi bersandar pada sains modern (sains Barat). Selain itu, pengembangan tersebut juga hendaknya dilakukan dengan menggali sains asli masyarakat (indigenous science) yang berkembang di masyarakat. Namun, penggalian tersebut haruslah diiringi dengan pemahaman logis agar tidak terjadi salah tafsir yang akhirnya justru melahirkan miskonsepsi pada sains itu sendiri. Di sinilah diperlukan pembelajaran etnosains yang mengajarkan sains yang terkandung pada kearifan lokal yang ada di masyarakat.

Etnosains dapat dipelajari di sekolah melalui pembelajaran sains, yaitu pada mata pelajaran kimia, fisika, biologi, dan IPA secara umum. Harefa (2017) menyatakan pembelajaran sains di sekolah perlu mengajarkan etnosains kepada siswa agar dapat menyeimbangkan antara sains Barat (sains modern) dengan sains asli masyarakat (sains tradisional) menggunakan pendekatan lintas budaya (cross-culture).

Apabila sains modern dapat diajarkan di sekolah secara harmonis dengan sains tradisional, pembelajaran sains akan memperkuat pandangan dan pemikiran siswa tentang alam semesta dan lingkungan sekitarnya sehingga terjadi proses pembelajaran yang bersifat enculturation (inkulturasi). Aji (2017) mengungkapkan bahwa pembelajaran inkulturasi adalah pembelajaran yang dapat menyelaraskan apa sedang dipelajari siswa di kelas dengan pengetahuan budaya siswa sehari-hari.

Pembelajaran etnosains di sekolah yang mampu mengintegrasikan sains modern dan sains tradisional dapat menjadikan proses belajar siswa berjalan efektif. Hal ini dikarenakan siswa diajak memahami lingkungannya secara ilmiah. Jadi, pembelajaran ini bersifat fenomenologi didaktis (didactical phenomenology) yang berarti siswa mempelajari konsep, prinsip, dan materi sains yang bertolak dari berbagai fenomena kontekstual yang sering ditemui di kehidupan sekitarnya. Ini akan menjadikan stigma negatif terhadap pelajaran sains yang dianggap sebagai pelajaran yang sulit dipahami, membosankan, dan menakutkan beralih menjadi stigma positif, yakni pelajaran tersebut menyenangkan, bermanfaat, dan benar-benar ada di lingkungan siswa.

Aji (2017) memaparkan bahwa pembelajaran etnosains relevan dengan landasan filosofi pengembangan kurikulum di Indonesia. Filosofi tersebut menyatakan bahwa pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa masa kini dan masa mendatang, siswa adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif, serta keberhasilan proses pembelajaran di sekolah sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang dimiliki oleh siswa atau masyarakat di mana sekolah itu berada. Dengan demikian, pembelajaran etnosains sesuai diterapkan di sekolah.

Indonesia merupakan negara kesatuan dengan beragam budaya. Oleh karena itu, Indonesia tidak akan kekurangan referensi dalam pembelajaran etnosains. Keragaman tersebut akan menjadikan siswa memiliki banyak pengetahuan. Selain itu, pembelajaran etnosains akan menjadikan siswa semakin mengenal budaya dan kearifan lokal bangsanya sehingga akan memunculkan rasa cinta dan bangga terhadap bangsanya.

Rasa cinta dan bangga ini penting untuk dimiliki generasi muda (siswa) untuk menjaga eksistensi bangsa, mempertahankan jati diri bangsa, dan menjaga kelestarian budaya bangsa. Dengan demikian, siswa kelak dapat menjadi pribadi yang berbudaya dan menjadi agen yang dapat mentransfer budaya ke generasi berikutnya.

Berikut ini berbagai manfaat dari pembelajaran etnosains yang dapat dirasakan oleh siswa berdasarkan berbagai hasil penelitian:

  1. Memperdalam pemanfaatan sumber daya alam dan mengubah persepsi sains asli masyarakat menjadi sebuah sains ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
  2. Menumbuhkan kecintaan terhadap sains asli masyarakat sebagai bagian dari budaya bangsa yang berimplikasi terhadap konservasi sumber daya alam sekitar dan keseimbangan lingkungan.
  3. Menjadikan pembelajaran yang berpusat pada siswa berjalan efektif karena terjadi proses asimilasi dan akomodasi.
  4. Mendukung siswa untuk memecahkan masalah khususnya yang bersifat kontektual.
  5. Mempermudahan siswa memahami materi sains.
  6. Membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan berpikir kreatif.
  7. Meningkatkan prestasi dan hasil belajar.
  8. Menjadikan siswa memiliki karakter mulia, khususnya karakter yang berakar dari budaya bangsa yang berguna dalam memfilter budaya asing yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.
  9. Menarik perhatian, menumbuhkan minat belajar, dan meningkatkan motivasi belajar siswa.
  10. Mengembangkan rasa cinta tanah air dan bangga terhadap budaya daerah dan nasional.

Selanjutnya, Sudarmin (2014) mengungkapkan ada 3 hal yang perlu dilakukan oleh guru dalam mengembangkan pembelajaran etnosains:

  1. Mengidentifikasi pengetahuan awal siswa tentang sains asli masyarakat (sains tradisional). Hal ini bertujuan untuk menggali konsepsi-konsepsi yang telah dimiliki siswa yang berakar pada budaya masyarakat tempat mereka tinggal.
  2. Menerapkan pembelajaran kelompok. Pembelajaran kelompok cocok diterapkan di kelas karena sesuai dengan kehidupan masyarakat tradisional Indonesia yang senang melakukan kegiatan secara berkelompok. Pembelajaran ini bersifat indigenous (asli).
  3. Menjadi penegosiasi sains modern dan sains tradisional. Hal ini dilakukan dengan cara (i) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan pikirannya, (ii) menyajikan contoh-contoh keganjilan (discrepant events) yang menurut sains modern merupakan hal biasa, (iii) menuntun siswa melintasi batas budaya, (iv) mendorong siswa untuk aktif bertanya, dan (v) memotivasi siswa agar menyadari akan pengaruh positif dan negatif sains modern dan teknologi yang dihasilkannya.

Pada tabel ditunjukkan beberapa contoh konsep dan prinsip sains yang terkandung di dalamnya kearifan lokal bangsa Indonesia yang dapat dijadikan sumber belajar siswa dan digunakan oleh guru ke dalam pembelajaran etnosains di kelas.

Tabel ini hanya memuat sebagian kecil kearifan lokal yang bisa dikaji sebagai sumber belajar dalam pembelajaran etnosains. Tentu saja masih terdapat banyak kearifan lokal yang bisa dipelajari secara ilmiah. Semua kearifan lokal tersebut merupakan warisan leluhur yang dapat dilestarikan karena menjadi sumber ilmu yang berharga kita. Oleh karena itu, pembelajaran etnosains sebaiknya diterapkan di sekolah sehingga generasi penerus bangsa dapat menjadi insan yang cerdas, cinta tanah air, dan bangga terhadap budayanya.

Bahan Bacaan:

  • Aji, S. D. (2017). Etnosains dalam Membentuk Kemampuan Berpikir Kritis dan Kerja Ilmiah Siswa. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Fisika III, Program Studi Pendidikan Fisika, FKIP, Universitas PGRI Madiun
  • Arfianawati, S., Sudarmin, S., Sumarni, W. (2016). Model Pembelajaran Kimia Berbasis Etnosains untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Jurnal Pengajaran MIPA, 21(1), 46-51.
  • Damayanti, C., Rusilowati, A., & Linuwih, S. (2017). Pengembangan Model Pembelajaran IPA Terintegrasi Etnosains untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Kemampuan Berpikir Kreatif. Journal of Innovative Science Education, 6(1), 116-128.
  • Febriani, E. R., Sudarmin, S., & Alimah, S. (2020). Local Wisdom Learning Approach Towards Students Learning Outcomes. Journal of Primary Education, 9(2), 97-205.
  • Harefa, A. R. (2017). Pembelajaran Fisika di Sekolah melalui Pengembangan Etnosains. Jurnal Warta, 53.
  • Khoiri, A. & Sunarno, W. (2018). Pendekatan Etnosains Dalam Tinjauan Fisafat (Implementasi Model Pembelajaran STEM: Science, Technology, Enginering, and Mathematic). Spektra, 4(2), 145-153.
  • Khusniati, M. (2014). Model Pembelajaran Sains Berbasis Kearifan Lokal dalam Menumbuhkan Karakter Konservasi. Indonesian Journal of Conservation, 3(1), 67-74.
  • Misbah, M. & Fuad, Z. (2019). Pengintegrasian Kearifan Lokal Kalimantan Selaan dalam Pembelajaran Fisika. Seminar Nasional Pendidikan Program Studi Pendidikan Fisika FKIP ULM, 294-302.
  • Misbah, M., Hirani, M., Annur, S., Sulaeman, N. F., & Ibrahim, M. A. (2020). The Development and Validation of a Local Wisdom-Integrated Physics Module to Grow the Students’ Character of Sanggup Bagawi Gasan Masyarakat. Jurnal Ilmu Pendidikan Fisika, 5(1), 1-7.
  • Novitasari, L., Agustina, P. A., Sukesti, R., Nazri, M. F., dan Hadhika, F. (2017). Fisika, Etnosains, dan Kearifan Lokal dalam Pembelajaran. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Fisika III, Program Studi Pendidikan Fisika, FKIP, Universitas PGRI Madiun
  • Suastra, I. W. (2010). Model Pembelajaran Sains Berbasis Budaya Lokal untuk Mengembangkan Kompetensi Dasar Sains dan Nilai Kearifan Lokal Di SMP. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, 43(2), 8-16.
  • Sudarmin, S. (2014). Pendidikan Karakter, Etnosains dan Kearifan Lokal: Konsep dan Penerapannya dalam Penelitian dan Pembelajaran Sains. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
  • Tresnawati, N. (2018). Pembelajaran Sains Berbasis Kearifan Lokal dalam Upaya Peningkatan Konservasi Lingkungan pada Mahasiswa PGSD di Batik Tulis Ciwaringin Cirebon. Al-Ibtida: Jurnal Pendidikan Guru MI, 5(1), 69-82.

Penulis:
Lutfiyanti Fitriah, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Program Studi Tadris Fisika Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kontak: lutfiyanti(at)uin-antasari.ac.id

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top