Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal pada Era Revolusi Industri 4.0

Kemajuan zaman telah membawa manusia memasuki era revolusi industri 4.0. Pada revolusi industri ini terjadi penggabungan antara domain biologis, digital, dan fisik sehingga disebut sebagai era disrupsi teknologi (Schwab, 2016). Era ini juga ditandai dengan masifnya perkembangan teknologi yang meliputi artificial intelligence, autonomus vehicles, biotechnology, cyber physical systems, nanotechnology, dan 3D printing (Maulidah, 2019).

Revolusi industri 4.0 dapat memberikan pengaruh positif bagi masyarakat Indonesia. Pengaruh positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat di antaranya adalah jutaan manusia dari berbagai penjuru negeri bisa terhubung dalam waktu singkat. Semua orang dapat mengakses informasi dengan mudah dan cepat hanya dengan menggunakan smartphone. Selain itu, perdagangan dan transportasi juga dibalut oleh kecanggihan internet sehingga bermunculan lapangan usaha baru berbasis daring.

Dunia pendidikan turut merasakan manfaat dari kecanggihan yang dibawa oleh revolusi ini, seperti penggunaan e-learning yang menjadikan guru dan siswa tidak perlu bertatap muka dalam melakukan pembelajaran. Kehidupan sosial tidak lepas dari pengaruh revolusi industri. Zidniyati menyatakan bahwa revolusi menimbulkan akulturasi budaya karena semua manusia dari berbagai belahan bumi dapat berinteraksi secara mudah dengan membawa berbagai nilai kulturnya (2019).

Di samping memberikan pengaruh positif, revolusi industri 4.0 dapat memberikan pengaruh negatif bagi masyarakat. Salah satu dampak negatif adalah pengikisan karakter yang merebak di seantero nusantara. Krisis identitas nasional menjadi persoalan serius di tengah arus modernitas. Hal ini diungkap oleh berbagai berita yang mewartakan banyaknya persoalan dekadensi karakter, seperti pergaulan bebas, penggunaan narkoba, prostitusi online anak di bawah umur, kekerasan verbal dan fisik (bullying), radikalisme, pelecehan seksual, kecanduan game online, hingga penyebaran berita bohong.

Gambaran situasi masyarakat yang semakin jauh dari karakter luhur bangsa menjadi motivasi pengimplementasian pendidikan karakter di Indonesia. Pendidikan karakter tidak lain merupakan revolusi mental yang menjadi solusi untuk memperbaiki mental bangsa dan mengembalikan jati diri bangsa pada nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh nenek moyang.

Ir. Soekarno, salah satu bapak pendiri bangsa, menegaskan tentang pentingnya pendidikan karakter, “Bangsa harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena character building yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, dan jaya, serta bermartabat. Jika character building tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli.” Jadi, nampak jelas bahwa pendidikan karakter dengan tujuan utama memperbaiki karakter bangsa menjadi tonggak dimulainya gerakan moral menuju Indonesia yang maju, beragama, berbudaya, dan bermartabat.

Pada tahun 2017 pemerintah melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 menegaskan suatu gerakan pendidikan yang berada di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai tri pusat pendidikan. Gerakan tersebut dinamakan Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).

Gerakan PPK merupakan kelanjutan dari Gerakan Nasional Pendidikan Karakter Bangsa yang dicanangkan pada tahun 2010 dan merupakan bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Gerakan ini juga merupakan upaya untuk menjadikan masyarakat Indonesia berkarakter kuat dan tangguh dalam memegang falsafah bangsanya di tengah era yang berbagai orang bisa saling memengaruhi dengan mudah.

Tim Penyusun PPK (2016) menyatakan lima nilai utama karakter yang menjadi fokus dari Gerakan PPK, yaitu sebagai berikut:

  1. Religius, yaitu sikap dan perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki toleransi terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Subnilai ini di antaranya adalah cinta damai, toleransi, menghargai perbedaan, dan persahabatan.
  2. Nasionalis, yaitu sikap dan perilaku yang setia terhadap bangsa dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri sendiri dan golongan. Subnilai ini di antaranya adalah rela berkorban, cinta tanah air, peduli lingkungan, dan menghargai keanekaragaman suku, budaya, dan agama.
  3. Mandiri, yaitu sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Subnilai ini di antaranya adalah kerja keras, kreatif, dan profesional.
  4. Gotong royong, yaitu sikap dan perilaku yang menghargai semangat kerja sama, menyelesaikan persoalan secara bersama-sama, menjalin komunikasi dan persahabatan, dan saling menolong. Subnilai ini di antaranya adalah kerja sama, musyawarah untuk mufakat, tolong-menolong, dan peduli sosial.
  5. Integritas, yaitu sikap dan perilaku yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan dan perbuatan. Subnilai ini di antaranya adalah jujur, setia, dan bertanggung jawab.

Berbagai kearifan lokal bangsa Indonesia berupa motif kain tradisional, alat transportasi tradisional, tradisi masyarakat, dan makananan tradisional dapat menjadi sumber nilai penguatan pendidikan karakter. Sumber gambar: dokumentasi penulis.

Lalu, model pendidikan karakter yang seperti apakah yang diharapkan mampu memperbaiki dan membangun karakter bangsa? untuk menjawab pertanyaan ini telah dimiliki bangsa Indonesia sejak lama, yakni ajaran luhur yang telah merakar di sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ajaran luhur tersebut dapat digali dari kearifan lokal suku bangsa. Nilai-nilai bangsa merupakan basis kekuatan karakter bangsa Indonesia. Bahkan, UNESCO (2009) juga memberikan rekomendasi tentang hal ini. Menurut UNESCO, penggalian kearifan lokal sebagai dasar pendidikan karakter akan mendorong timbulnya sikap saling menghormati antaretnis, suku, bangsa, dan agama sehingga keberagaman terjaga (Wibowo dan Gunawan: 2015).

Kearifan lokal dapat dijadikan sebagai basis penguatan pendidikan karakter. Hal ini disebabkan oleh kearifan lokal memiliki sifat sebagai berikut: (1) mampu bertahan terhadap budaya luar, (2) mampu mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, (3) mampu mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, (4) mampu memberi arah pada perkembangan budaya, (4) mampu mengendalikan pengaruh budaya luar.

Penguatan pendidikan karakter berbasis pada kearifan lokal akan memberikan berbagai manfaat bagi siswa. Wibowo & Gunawan mengungkapkan ketiga manfaat tersebut, yaitu (1) siswa mudah dalam menginternalisasi nilai-nilai karakter sebagai dasar tingkah laku kehidupan sehari-hari karena mereka tidak asing lagi dengan nilai-nilai tersebut, (2) siswa akan menyadari betapa besarnya potensi bangsa ini dan merasa bangga terhadap bangsa Indonesia yang kaya akan keanekaragaman budaya dan (3) siswa akan memaknai keragaman budaya sebagai kekayaan yang luar biasa dan harus dilestarikan.

Kearifan lokal kaya akan berbagai nilai karakter yang bisa memberikan rambu-rambu bagi bangsa dalam mengarungi kehidupan di tengah era revolusi industri 4.0. Nilai-nilai luhur yang terkandung pada kearifan lokal tersebut bersesuaian dengan kelima nilai dan subnilai karakter yang menjadi prioritas dalam penguatan pendidikan karakter. Berikut contoh kearifan lokal yang ada di Indonesia yang bisa dijadikan sumber nilai bagi penguatan pendidikan karakter.

1. Ungkapan

Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki petatah-petitih atau petuah yang menjadi kendali dalam bertingkah laku, misalnya Wamena: weak hano lapukogo (susah senang sama-sama), Bugis: mali siparappe, rebba sipatokkong (saling mengingatkan, saling menghargai, saling memajukan), Minahasa: mapalus (gotong royong), Lore: sintuwu maroso (persatuan yang kuat), Banjar: kayuh baimbai (bekerja sama) dan gawi sabumi (gotong royong), Dayak Betani: janji baba’s ando (janji harus ditepati), dan Sasak: bareng anyong jari sekujung (bersama-sama lebur dalam satu) (Fajarini, 2014).

2. Lagu daerah

Lagu daerah di Indonesia sangat bervariasi. Pada umumnya lagu daerah dinyanyikan untuk bermain, belajar bernyanyi, ataupun bersosialisasi dengan teman (Hartiningsih, 2015). Lagu daerah juga sarat dengan nilai-nilai karakter, misalnya lagu Ilir-ilir dari Jawa Tengah mengajarkan untuk beriman dan bertakwa kepada Allah, lagu Es Lilin Cabbhi dari Madura mengajarkan untuk bekerja dengan ulet dan gigih (Azhar, 2009), dan Sapu Tangan Babuncu Ampat dari Kalimantan Selatan mengajarkan untuk berbuat baik kepada sesama.

3. Motif kain

Motif kain khas etnik dari suku tertentu ternyata juga mengandung nilai-nilai karakter. Leha (2017) mengungkapkan nilai-nilai karakter dari kain sasirangan yang merupakan kain khas etnik Banjar di Kalimantan Selatan, misalnya motif bintang menggambarkan nilai religius, motif laju bakayuh menggambarkan nasionalisme, motif ombak sinapur karang menggambarkan kemandirian, motif kambang kacang menggambarkan gotong royong, dan motif gigi haruan menggambarkan integritas.

4. Makanan tradisional

Indonesia merupakan surga kuliner tradisional. Kuliner ternyata menyimpan makna filosofis yang indah, misalnya ketupat. Ketupat memiliki berbagai varian dengan rasa yang khas di tiap daerah, seperti ketupek sayua dari Minang, kupat glabed dari Tegal, ketupat babanci dari Betawi, dan tipat dari Bali. Ketupat mengandung makna filosofis kesucian hati, saling memaafkan, dan kesempurnaan (Exstrilia dkk., 2017).

5. Cerita rakyat

Cerita rakyat umumnya dituturkan secara lisan kepada setiap generasi untuk dijadikan pelajaran hidup. Nilai-nilai karakter yang terkandung, misalnya pada cerita Maling Kundang yang berasal dari Sumatera Barat mengajarkan nilai kasih sayang dan rasa hormat kepada orang tua (Indriani, 2018). Selain itu, cerita Asal Usul Desa Lengkong dari Jawa Tengah mengajarkan nilai religius, toleransi antarumat beragama, rasa ingin tahu, tanggung jawab, dan jujur (Melasarianti, Martha, dan Krisnawati, 2018).

6. Tradisi

Tradisi seperti upacara adat ataupun pesta rakyat merupakan bagian dari kearifan lokal yang sarat akan nilai-nilai karakter. Contoh tradisi tersebut adalah upacara adat Tabot di Kota Bengkulu yang mengandung nilai religius. Selain itu, pesta rakyat seperti Legu Gam di Maluku Utara mengandung nilai persatuan (Fajarini, 2014). Di Lombok Barat terdapat pula tradisi Perang Topat yang mengandung nilai religius, kerukunan antarumat beragama, dan toleransi (Marjan dan Hariati, 2018).

Selanjutnya, siapakah yang bertanggung jawab dalam proses pemberian penguatan pendidikan karakter? Salah satu lembaga yang menjadi wadah dalam memberikan penguatan pendidikan karakter kepada siswa adalah sekolah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal merupakan wahana untuk menginternalisasi nilai-nilai karakter kepada generasi muda. Oleh karena itu, Gerakan PPK dilakukan melalui pengintegrasian nilai-nilai karakter ke dalam berbagai kegiatan sekolah.

Strategi yang efektif diperlukan agar penguatan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal dapat berjalan optimal. Sehingga nilai-nilai karakter dapat diimplementasikan di kehidupan nyata. Berikut contoh strategi implementasi penguatan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal di sekolah:

  1. Penerapan pendekatan saintifik di dalam pembelajaran, yaitu pembelajaran melalui kegiatan mengamati, bertanya, mencoba, menalar, dan mengomunikasikan. Para siswa didekatkan dengan kearifan lokal yang hidup dan berkembang di masyarakat baik melalui pengamatan langsung maupun melalui video. Hal ini akan menjadi awal penanaman nilai-nilai.
  2. Penerapan pembelajaran etnosains, yaitu pengintegrasian kearifan lokal ke dalam setiap mata pelajaran dengan menjadikan kearifan lokal tersebut sebagai objek kajian, misalnya mempelajari konsep fisika dari prinsip kerja alat transportasi tradisional seperti jukung atau mempelajari morfologi tumbuh-tumbuhan lokal seperti pohon kasturi yang berasal dari Kalimantan Selatan.
  3. Penerapan pembelajaran multikultural, yaitu penerapan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keberagaman yang ada di masyarakat, seperti keberagaman suku, budaya, bahasa, dan ras.
  4. Penerapan metode karya wisata, misalnya berkunjung ke museum, festival budaya, tempat pembuatan kain tradisional, tempat pembuatan alat transportasi tradisional, dan objek wisata lokal. Dengan demikian, siswa dapat melihat langsung kearifan lokal yang menjadi sumber dan media pembelajarannya.
  5. Penyusunan bahan ajar seperti buku, modul, dan lembar kerja siswa bermuatan kearifan lokal sehingga siswa dapat mempelajari kearifan lokal melalui bahan ajar tersebut.
  6. Pengadaan kegiatan lomba di sekolah yang bertema kearifan lokal, misalnya lomba menyanyi lagu daerah, lomba bercerita dengan bahasa daerah, lomba foto kearifan lokal, lomba peragaan pakaian daerah, lomba mading, lomba menulis, dan lomba pidato yang bertema kearifan lokal.

Demikianlah penjelasan mengenai penguatan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal pada era revolusi industri 4.0 di sekolah. Hanya dengan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur bangsa yang bersumber pada kearifan lokal Nusantara masyarakat tidak akan terjebak dalam krisis identitas yang terjadi di era revolusi 4.0. Oleh karena itu, penguatan pendidikan karakter di sekolah sebaiknya menjadikan kearifan lokal sebagai basis penggalian nilai-nilai karakter bangsa sehingga Indonesia mampu menjadi bangsa yang besar, maju, jaya, dan bermartabat.

Bahan bacaan:

  • Azhar, I. N. (2009). Karakter Masyarakat Madura dalam Syair-Syair Lagu Daerah Madura. Atavisme, 12(2), 217-227.
  • Exstrilia, V. C., Yolanda, G., & Puspita, M. (2017). Transformasi Budaya dalam Perancangan Ruang dan Produk Interior. Prosiding Seminar Nasional Seni dan Desain (pp. 113-123), Surabaya.
  • Fajarini, U. (2014). Peranan Kearifan Lokal dalam Pendidikan Karakter. Sosio Didaktika, 1(2), 123–130.
  • Hartiningsih, S. (2015). Revitalisasi Lagu Dolanan Anak dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini. Atavisme, 18(2), 247-259.
  • Indriani, Y. (2018). Respons Anak terhadap Cerita Rakyat Malin Kundang. Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra, 5(2), 95-102.
  • Kementerian Hukum dan HAM RI. (2017). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM RI.
  • Leha, N. (2017). Representasi pendidikan Karakter pada Motif Kain Sasirangan Khas Etnik Banjar di Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Lembaga Kebudayaan (pp. 132-140). Malang.
  • , & Hariati, S. (2018). Tradisi Perang Topat sebagai Akulturasi Agama dan Budaya. Jurnal Ilmu Hukum, 33(1), 1-8.
  • Maulidah, E. (2019). Character Building dan Keterampilan Abad 21 dalam Pembelajaran di Era Revolusi Indutri 4.0. Prosiding Seminar Nasional PGSD UST (pp. 138-146). Yogyakarta.
  • Melasarianti, L., Martha, N. U., & Krisnawati, V. (2018). Analisis Nilai Pendidikan Karakter pada Cerita Rakyat Banjarnegara dan Relevansinya sebagai Buku Penunjang Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Kelas X SMA. Prosiding Seminar Nasional (pp. 292-299). Purwokerto.
  • Schwab, K. (2016). The Global Competitiveness Report 2016-2017. Geneva: World Economic Forum.
  • Tim Penyusun PPK. (2016). Panduan Penilaian Penguatan Pendidikan Karakter Tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
  • Wibowo, A., & Gunawan. (2015). Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal di Sekolah (Konsep, Strategi, dan Implementasi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • (2019). Penguatan Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar di Era revolusi Industri 4.0. Jurnal Tarbiyatuna, 3(1), 39-55.

Penulis:
Lutfiyanti Fitriah, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Antasari Banjarmasin Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Program Studi Tadris Fisika Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kontak: lutfiyanti(at)uin-antasari.ac.id

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top