Masih Adakah Tontonan Untuk Tuntunan di Era Generasi Z?

Globalisasi budaya menyebar secara cepat dan meluas di berbagai negara dengan adanya teknologi. Kecanggihan teknologi membuat dunia seakan tidak memiliki batas lagi. Namun, kecanggihan teknologi juga membuat semua mudah diadopsi, ditiru tanpa adanya penyaringan atau filter.

Perubahan teknologi turut berperan dalam perubahan selera tontonan masyarakat, terutama selera para remaja saat ini. Semua tontonan yang diinginkan kalangan dari berbagai usia, termasuk remaja, dapat dilihat dan didengar tanpa ada batasannya, mulai dari musik, sinetron, drama Korea, reality show, hingga infotainment, dari televisi maupun internet.

Kemudahan-kemudahan yang disediakan oleh teknologi tidak sepenuhnya dimanfaatkan secara bijak. Banyak hal negatif yang turut dibawa dan menjadi dampak dalam perkembangan teknologi saat ini. Sebut saja salah satunya perihal musik yang saat ini dapat disebut dengan invisible teacher. Musik yang didengar para remaja turut menjadi pendidik yang menanamkan moralitas, karakter, dan kemudian memengaruhi perilaku remaja-remaja (Lestari dan Puji, 2017:59-61).

Cara berpikir dan bertingkah laku yang diwarnai oleh music, baik secara langsung dan tidak, akan mengakses ke lapisan bawah sadar otak manusia. Apabila peranan musik dimanfaatkan sebagai media hiburan yang berlebihan kemungkinan dapat menghasilkan perilaku kurang baik. Remaja yang melihat tindakan tidak pantas yang termuat dalam video music atau live show bisa saja meniru tindakan tersebut.

Banyak orangtua yang kurang menyadari bahwa musik yang didengarkan oleh anaknya tidak sesuai dengan usia dan dapat memicu hal-hal yang tidak diinginkan. Anak yang terlanjur menyukai lagu yang tidak sesuai dengan usianya dan mengidolakan penyanyi yang notabene adalah orang dewasa, akan cenderung menjadikan orang tersebut sebagai role model-nya.

Lagu dan musik populer masyarakat masa kini cenderung berorientasi pada lagu percintaan antara orang dewasa. Gempuran lagu bertemakan cinta pada orang dewasa menjadi salah satu faktor yang berhubungan erat dengan masalah tersebut sehingga remaja menjadi seperti orang dewasa dalam sikap dan tingkah lakunya. Meskipun masih dipandang belum mengkhawatirkan oleh beberapa pihak, jika pola menonton pada remaja tersebut dilanjutkan, akan berakibat fatal di masa yang akan dating (Tavini, 2018: 64).

Bagaimana tidak, remaja kini mengetahui dan fasih menyanyikan lagu-lagu dewasa bertemakan cinta. Walaupun dapat diketahui bahwa pengetahuan remaja tentang lagu dewasa sangat bagus, umumnya remaja tidak memahami makna lagu sepenuhnya atau tidak semua tahu arti istilah-istilah orang dewasa yang ada dalam lirik lagu tersebut (Gushevinalti, 2011). Hanya beberapa istilah seperti pacaran, jatuh cinta, kekasih merupakan istilah-istilah yang dimengerti remaja.

Mirisnya, sebagian remaja dapat dengan mudah menghafal lirik-lirik lagu dewasa bertemakan cinta, patah hati dan lain-lain, tetapi gagap ketika ditanya tentang sejarah bangsa. Kenyataan ini seharusnya tetap menjadi perhatian dari berbagai pihak.

Selain mendengarkan musik, remaja juga cenderung menyukai tayangan drama atau sinetron. Terdapat beberapa tontonan yang tidak sesuai kategori umur remaja, seperti sinetron yang vulgar dan mengandung unsur pornografi. Padahal, pesan-pesan dalam film ataupun sinetron secara langsung dan tidak langsung dapat memengaruhi kinerja otak dan berdampak pada tingkah laku yang dimiliki oleh seseorang.

Kegiatan otak bisa dipantau dengan menggunakan alat pendeteksi khusus yang disebut Elektroensefalograf (EEG) yang bertugas merekam gelombang otak. Saat gelombang β (beta) dikeluarkan, otak sedang aktif untuk berpikir, misalnya menyaring informasi yang sedang masuk ke dalam otak melalui alat indra. Otak juga akan mengeluarkan gelombang α (alfa) jika sedang tidak aktif (pasif) sehingga dapat merekam semua informasi yang masuk tanpa menyaringnya.

Untuk mempelajari kegiatan otak sewaktu seseorang menonton, Dr. Thomas Mulholland merekam gelombang otak pada anak-anak yang sedang menonton tayangan favorit mereka. Sebelum penelitian dilakukan, dibuat satu asumsi bahwa gelombang otak seorang anak yang sedang melihat acara kesayangannya di televisi adalah gelombang beta karena dia aktif berpikir. Namun, bertentangan dengan asumsi ini, didapati bahwa setelah menonton selama 2-3 menit, gelombang otak berubah dari beta ke alfa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setelah menonton walaupun sebentar saja pikiran mereka tidak menunjukkan reaksi (pasif) atas apa yang ditontonnya sehingga otak merekam semua informasi tanpa tersaring oleh otak depan (Rizal, 2016).

Pada saat menonton, gelombang beta otak menghilang lalu digantikan oleh gelombang alfa, yang artinya tontonan telah menekan fungsi dari otak depan. Kejadian yang hampir serupa sewaktu seseorang dalam keadaan dihipnotis. Dapat dikatakan bahwa menonton memiliki dampak yang hampir sama dengan hipnotisme, yaitu dengan menekan fungsi otak depan.

Dr. F. Morris mengatakan bahwa “Pergantian sudut pandang pada gambar yang terus-menerus dalam waktu singkat tanpa kita atur dan kita kehendaki menghasilkan dampak hipnotis pada penonton televisi. Oleh karenanya, melihat acara yang tidak baik pada televisi dapat memberikan akses negatif dikarenakan informasi yang masuk dan terekam di dalam otak tanpa tersaring oleh penonton.

Efek negatif yang ditimbulkan secara tidak langsung mengakibatkan remaja terbiasa untuk mengambil nilai dari tontonan yang mereka lihat secara mentah, mengabaikan nilai-nilai moral dalam kebudayaan. Seringkali remaja akan meniru apa yang dilihat dan didengarnya tanpa memikirkan efek sampingnya.

Remaja ada pada masa mencari jati diri sehingga belum memiliki kemampuan untuk dapat membandingkan atau memilah tontonan yang sesuai dengan umurnya. Jika yang ditonton dapat menghibur dirinya, maka remaja akan melihat terus untuk mengikuti acara itu dan mengulanginya secara berkelanjutan, sampai dirinya mengalami titik kebosanan (Rizal, 2016).

Tindakan preventif atau antisipatif dibutuhkan untuk mencegah dampak-dampak negatif. Alternatif tontonan adalah film dokumenter atau materi pelajaran sekolah yang dikemas dalam bentuk video menarik. Guru sebagai pendidik bahkan dapat mendorong atau mengajak peserta didik untuk membuat konten kreatif yang mendidik.

Bukan tidak mungkin bahwa generasi Z yang umumnya telah banyak terpapar dengan tayangan di media sosial memiliki ide-ide yang lebih segar dan menarik. Dengan demikian, guru tidak hanya sibuk mewanti-wanti muridnya untuk memilah tayangan, tapi juga memicu kreativitas siswanya dengan memberi tuntunan.

 

Tulisan ini diadopsi dari tugas penulis dalam mata kuliah Perkembangan Peserta Didik SMP

 

Bahan bacaan:

  • Lestari, Anna Puji. 2017. Penonton Anak dan Remaja Terkait Program Acara Indonesian Idol Junior 2016: Studi Resepsi Pada Kontestan Anak yang Menyanyikan Lagu – Lagu Orang Dewasa. Jurnal The Messenger (9)1. 55-64
  • Tavini, Tissa. 2018. Dampak Krisis Apresiasi Musik Anak Bagi Pertumbuhan Moralitas. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta
  • 2011. Media Habit dan Intepretasi Anak Usia Dini Kota Bengkulu Tentang Tayangan Media. Bengkulu: Univesitas Bengkulu.
  • Rizal, Fahrul. 2016. Pengaruh Pola Menonton Iklan, Sinetron, dan Infotaiment Di Televisi Terhadap Globalisasi Budaya Pada Masyarakat Muslim Di Kota Medan. Sumatera Utara: UIN Sumatera Utara.
  • Iswahyuni, Etty. 2015. Pengaruh Kebiasaan Menonton Sinetron Terhadap Perkembangan Perilaku Anak Usia Sekolah di SDN Pao- Pao Kecamatan Somba Opu Kabupaten Goa.

 

Penulis:

Novita Tri Hapsari, Mahasiswa Jurusan Bimbingan dan Konseling, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top