Topik ini adalah lanjutan dari artikel penulis berjudul Filosofi Kimia Koordinasi yang diterbitkan Majalah 1000guru pada edisi April 2016. Pada artikel kali ini, penulis akan memaparkan satu pola untuk menganalisis suatu senyawa koordinasi yang banyak dipublikasikan pada jurnal-jurnal ilmiah terkemuka di dunia. Beberapa referensi menunjukkan adanya fenomena langka atau penemuan baru. Penemuan-penemuan tersebut berskala mikroskopis dan belum secara langsung berdampak nyata bagi perkembangan dunia teknologi. Akan tetapi, penelitian di tingkat lanjut yang sangat masif bukan tidak mungkin akan membawa penemuan tersebut ke ranah makroskopis atau applied chemistry.
Suatu penelitian untuk menginvestigasi struktur senyawa koordinasi memiliki konsep yang sama dengan penelitian ilmiah lainnya. Metode yang digunakan adalah membandingkan senyawa awal (reaktan) dengan senyawa produk (berbentuk kristal). Kemudian, kristal tersebut dikarakterisasi menggunakan beberapa instrumen yang hasilnya dianalisis kembali untuk menentukan rumus kimia yang akurat.
Analisis tambahan kerap dilakukan untuk mengetahui sifat fisika maupun kimia dari suatu senyawa koordinasi. Penelitian bertajuk senyawa koordinasi, khususnya di Coordination Chemistry Laboratory, Osaka University (tempat penulis pernah belajar), tidak menggunakan metode sintesis yang rumit. Namun, analisis kristal tersebut akan melewati rute yang cukup panjang. Dalam artikel ini, penulis akan mengupas salah satu publikasi dari laboratorium tersebut dengan bahasa yang lebih mudah dipahami (tentunya dalam bahasa Indonesia).
Salah satu publikasi yang cukup banyak disitasi berjudul ‘Close Correlation between Metal Oxidation States and Molecular Structures in a Cobalt-Gold Multinuclear Coordination System with Mixed D-Penicillaminate and Tripodal Triphosphine’, oleh Konno dkk. yang diterbitkan di Eur. J. Inorg. Chem. pada tahun 2014. Isi dari penelitian tersebut menitikberatkan pada rute sintesis beberapa senyawa koordinasi yang unik. Senyawa koordinasi biasanya terbentuk antara ion pusat dan ligan, dengan ligan dalam bentuk senyawa organik atau heterosiklik. Namun, alih-alih menggunakan senyawa organik atau heterosiklik, Konno dkk. memperkenalkan penggunaan metalloligan.
Definisi metalloligan adalah produk reaksi antara ion logam berbilangan koordinasi rendah (seperti ion Au(I) dan Ag(I) yang mengadopsi geometri planar) dan ligan organik yang memiliki gugus fungsi aktif lebih dari satu (seperti kelompok asam amino, D-penicillaminate (D-pen)). Dari reaksi tersebut, produk berupa metalloligan (bisa juga disebut pula senyawa koordinasi reaktan) menyisakan gugus fungsi kosong yang dapat direaksikan kembali dengan ion pusat lain guna memperoleh senyawa koordinasi yang lebih kompleks. Senyawa metalloligan dalam publikasi Konno dkk. adalah [Au3(tdme)(D-Hpen)3] (tdme = 1,1,1-tris(difenilfosfinometil)etana) yang berperan sebagai salah satu reaktan. Berdasarkan tahapan sintesisnya, metalloligan ini akan dikombinasikan bersama dengan ion Co(II) atau Co(III). Rute sintesis pada publikasi tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.
Rute sintesis pada Gambar 1 menunjukkan bahwa reaksi antara metalloligan dan ion Co(II) akan menghasilkan kristal dengan atom pusat gabungan yang tersusun dari 6 ion Au(I) dan 3 ion Co(II), atau disingkat dengan AuI6CoII3 ([2]). Di sisi lain, senyawa koordinasi AuI3CoIII ([3]) terbentuk jika ion Co(III) bereaksi dengan metalloligan. Pada mulanya, hasil tersebut mengindikasikan bahwa reaksi antara metalloligan dan ion Co(II) atau Co(III) akan menghasilkan dua produk dengan struktur molekul yang berbeda. Ternyata, reaksi oksidasi terhadap senyawa AuI6CoII3 ([2]) dengan suatu oksidator kuat (seperti ceric ammonium nitrate atau CAN) akan menghasilkan senyawa AuI6CoIII3 ([2]3+).
Senyawa kompleks seperti itu tidak dapat diperoleh melalui reaksi langsung (direct synthesis), tetapi melalui beberapa tahapan reaksi (post synthesis). Ditemukannya tahap reaksi ini adalah salah satu keunggulan dalam bidang sintesis senyawa koordinasi atau kristalografi. Keterbaruan rute sintesis semacam ini diunggul-unggulkan para peneliti di belahan dunia yang lain untuk dipublikasikan pada jurnal-jurnal ilmiah dengan impact factor tinggi.
Setelah memahami rute sintesis pada gambar 1, penulis akan lebih menitikberatkan pada karakterisasi senyawa koordinasi dan bagaimana cara menganalisisnya. Selain itu, penulis mengajak para pembaca untuk menyikapi hasil analisis yang telah diperoleh, apakah sesuai dengan teori atau tidak. Hasil analisis adalah kunci penting untuk menentukan keakuratan rumus kimia dan penentuan struktur molekulnya.
Dalam publikasi Konno dkk., karakterisasi kristal yang terbentuk menggunakan beberapa instrumen, seperti 1H NMR, 31P NMR, FT-IR, elemental analysis (EA), SQUID untuk analisis kemagnetan, dan akhirnya single-crystal x-ray diffraction (SCXRD). Dalam artikel Majalah 1000guru ini, penulis akan memberikan beberapa contoh referensi instrumen lain yang biasa digunakan untuk melengkapi karakterisasi senyawa koordinasi.
Sama seperti karakterisasi senyawa kimia pada umumnya, NMR memiliki fungsi yang sama, baik 1H NMR atau 31P NMR. Di sini NMR berperan untuk memastikan apakah metalloligan sudah bereaksi dengan ion pusat atau belum. Berdasarkan hasil spektra NMR, jumlah dari puncak-puncak akan merepresentasikan keadaan atom pada lingkungan dalam senyawa koordinasinya.
Dengan membandingkan kedua spektra NMR antara metalloligan (sebagai reaktan) dan kristal (sebagai produk), kemiripan spektra tersebut menjadi salah satu indikasi keberhasilan reaksi. Perbedaan yang mendasar dari pengukuran senyawa organik dengan senyawa koordinasi yang mengandung ion logam adalah pergeseran kimia yang tidak sesuai dengan konsep dasarnya. Penyebabnya berasal dari medan magnet internal yang berasal ion pusat.
Besarnya medan magnet internal dari ion logam disimbolkan dan setara dengan kali Bohr magneton. Notasi ‘n’ merepresentasikan banyaknya elektron ion pusat yang tidak berpasangan. Selain itu, masih banyak formula lain untuk menentukan kemagnetan suatu senyawa koordinasi pada keadaan tertentu. Spektra NMR senyawa-senyawa pada publikasi Konno dkk. ditunjukkan pada gambar 2.
Selain itu, karakterisasi menggunakan NMR tidak hanya dilakukan pada atom hidrogen atau karbon saja, tetapi juga atom atau logam lain seperti litium, natrium, fosfor, perak dan masih banyak lagi. Tentu saja, standar pergeseran kimia δ = 0 ppm tidak lagi berpatokan pada puncak dari tetrametilsilan (TMS), tetapi menggunakan senyawa garam dari logam-logam yang dianalisis. Contohnya, standar untuk analisis 31P NMR menggunakan H3PO4(aq) 35%.
Analisis sederhana lain dapat menggunakan FT-IR. Peranan FT-IR berfungsi untuk menganalisis gugus fungsi dari kristal yang terbentuk. Sama seperti metode lainnya, spektra inframerah antara reaktan dan kristal dibandingkan setalah dilakukan proses normalisasi. Proses normalisasi ini adalah mengatur intensitas salah satu puncak yang dianggap memiliki nilai konstan atau sama pada spektra antara reaktan dan produk sehingga intensitas puncak-puncak lain dapat dibandingkan secara langsung. Kemunculan puncak pada bilangan gelombang yang sama antara reaktan dan produk adalah indikasi lain keberhasilan proses sintesisnya. Selain itu, puncak baru pada bilangan gelombang berbeda adalah indikasi adanya pembentukkan ikatan kovalen baru. Hasil analisis ini penting untuk mengungkap struktur molekul yang ada pada senyawa koordinasi.
Elemental analysis (EA) adalah salah satu instrumen penting untuk menentukan rumus kimia suatu kristal secara akurat. Prinsip pengukuran instrumen ini berdasar pada persentase atom karbon, hidrogen, dan nitrogen dari berat totalnya. Persentase ini akan menjadi standar untuk membandingkan keabsahan antara rumus kimia hasil akhir perhitungan (anal. calcd.) dengan persentase yang ditemukan (Found) pada instrumen. Data dinyatakan masih dalam batas akurat apabila selisih persentase ketiga atom tersebut tidak lebih atau kurang dari 0.3%. Bagian Supporting Information atau data pendukung (referensi nomor 8 pada publikasi tersebut) dilampirkan hasil-hasil analisis senyawa menggunakan EA. Berikut kutipan dari informasi dari senyawa-senyawa tersebut.
Perbedaan antara anal. calcd. dan found dari senyawa-senyawa koordinasi di atas tidak melebihi 0.3%. Perlu dicermati bahwa perhitungan anal. calcd. mula-mula tidak mempertimbangkan keberadaan pelarut atau senyawa reaktan sisa yang mungkin ada di permukaan atau di bagian pori kristal. Oleh karena itu, apabila kedua hasil tersebut mulanya tidak tepat pada kisaran lebih atau kurang dari 0.3%, peneliti dapat berasumsi bahwa adanya kemungkinan untuk pelarut atau senyawa reaktan tersisa yang bertahan pada posisi-posisi tertentu. Tentunya, hal itu akan mempengaruhi persentase tersebut. Oleh karena itu, anal. calcd. mula-mula perlu direvisi dengan menambahkan sejumlah molekul pelarut atau senyawa reaktan tersisa hingga diperoleh perbedaan persentase di kisaran 0.3%.
Pada publikasi Konno dkk., senyawa-senyawa di atas mengikat beberapa molekul air. Fenomena tersebut ditunjukkan dengan munculnya hidrat atau molekul H2O. Selanjutnya, pembuktian adanya molekul pelarut atau senyawa reaktan tersisa dapat dideteksi menggunakan instrumen termogravimetri (TG). Kenaikan suhu yang dibebankan pada sampel menyebabkan dekomposisi senyawa mulai dari gugus dengan titik didih yang paling rendah. Dalam kasus ini adalah pelarut air karena molekulnya akan menguap pada suhu antara 100-200°C yang bergantung pada posisinya di dalam suatu kristal senyawa koordinasi. Dari hasil analisis TG, grafik penurunan persentase berat terhadap suhu dapat memprediksi jumlah molekul air yang hilang. Dari sinilah keabsahan rumus kimia senyawa koordinasi dapat ditentukan.
Hasil analisis kemagnetan tidak kalah pentingnya dengan analisis-analisis lain sebab senyawa koordinasi terbentuk dari ion logam. Beberapa ion logam bersifat magnet yang nilainya dapat dihitung dari persamaan pada paragraf sebelumnya. Pengukuran ini biasa dilakukan untuk mengetahui pengaruh ligan terhadap kemagnetan ion pusat dalam senyawanya. Salah satu fenomena yang kerap kali teramati adalah spin-crossover (SCO), yaitu perubahan orientasi konfigurasi spin yang akan sedikit dijabarkan pada paragraf terakhir.
Prinsip dalam mengukur kemagnetan senyawa adalah dengan memberikan medan magnet eksternal yang akan berpengaruh pada spin elektron ion pusatnya. Hasil karakterisasi ini akan menunjukkan titik-titik bagian terakhir kurva tersusun menjadi suatu garis lurus (konstan). Hal tersebut menandakan kemagnetannya telah jenuh dan nilainya dapat dirujuk sebagai besar kemagnetan terukur dari senyawa yang terekam pada kurva histerisis antara medan magnet eksternal vs. besar magnetan terukur.
Besar kemagnetan terukur dapat digunakan sebagai dasar informasi untuk mengetahui perubahan konfigurasi spin ion pusat atau fenomena lain seperti terjadinya pelepasan elektron (oksidasi) dan penangkapan elekton (reduksi) akibat dari pengaruh keberadaan ligan, khususnya ion pusat yang berikatan dengan gugus aktif dengan skala Pauli tinggi (kecenderungan untuk menarik elektron, elektronegativitas tinggi). Gugus dengan elektronegatifan tinggi ini dapat mempolarisasi awan elektron menuju kearah ligan. Sebaliknya, gugus fungsi yang bersifat elektropositif akan mendorong awan elektron menuju ke arah atom pusat. Dengan demikian, peristiwa reaksi oksidasi atau reduksi ion logam pada senyawa koordinasi tidak dapat dihindari.
Karakterisasi utama dalam penelitian senyawa koordinasi atau suatu kristal menggunakan SCXRD. Prinsip kerja instrumennya adalah merekam difraksi berdasarkan keteraturan pola penyusunan atom di dalam kristal. Semakin teratur pola atom dalam kristal maka spot-spot difraksi yang dihasilkan setiap frame menjadi semakin jelas. Kemudian, frame yang diperoleh akan dikonversi dengan bantuan perangkat lunak untuk mengekstrak informasi penting, seperti sistem kristal serta parameter kisi, sudut, volume dalam sistem kristal tersebut. Berdasarkan informasi tersebut, perangkat lunak lain (seperti YADOKARI®) membantu untuk memvisualisasikan struktur molekul dari kristal yang telah berhasil dikarakterisasi. Dalam perangkat lunak tersebut, ribuan titik akan muncul sebagai representasi dari atom-atom dalam senyawa koordinasi. Tugas para kristalografer adalah membedakan titik-titik tersebut dengan memberikan penamaan sesuai dengan jenis atomnya.
Cara untuk menentukan atom satu dengan atom yang lain berdasar pada densitas atomnya. Nomor atom yang besar memiliki jumlah elektron yang lebih banyak sehingga densitasnya juga lebih berat. Setelah dilakukan penamaan pada sejumlah titik, semacam opsi ‘geometry optimatization’ digunakan untuk memverifikasi ketepatan dalam penentuan atom. Parameter yang diacu serupa dengan nilai R2 pada persamaan garis linier. Jika nilai R2 pada persamaan garis linier mendekati 1, kevalidan titik-titik menjadi semakin tinggi. Metode tersebut sama dengan kasus penentuan struktur molekul ini, jika nilai r2 mendekati angka 0, penentuan struktur molekulnya semakin akurat. Setelah struktur molekul dirasa mendekati bentuk sempurna, beberapa informasi penting akan diperoleh, di antaranya jarak antar atom, sudut ikatan, analisis ikatan kimia antara dua atom, geometri ion pusat, dan informasi terkait struktur yang lainnya.
Panjang ikatan antara dua atom dapat memberikan informasi jenis ikatan kimia yang terbentuk dengan cara membandingkan jarak tersebut dengan jarak teoritisnya. Misal, jarak antara atom S-Au pada publikasi ini berkisar 2.354 Å. Kemudian, jarak tersebut dibandingkan dengan jarak ikatan normal S-Au yang berikatan secara kovalen, kovalen koordinasi, interaksi van der Waals dan ikatan yang lainnya. Untuk mencari data tersebut, suatu perangkat lunak seperti SciFinder® dapat digunakan untuk mencari informasi seluruh ikatan atom S-Au pada seluruh senyawa koordinasi yang berhasil ditemukan. Ikatan kimia sangat penting untuk dibahas karena hal itu adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kestabilan senyawa koordinasi. Dalam filosofi kimia, suatu ikatan dikatakan stabil apabila terbentuk dari interaksi yang maksimum dengan energi yang minimum. Salah satu contoh struktur kimia dari publikasi tersebut disajikan pada gambar 3.
Di luar dari publikasi ini, umumnya, instrumen-instrumen lain untuk menganalisis sampel berfasa cair digunakan untuk mempertajam analisis sampel pada fasa padatnya/kristalnya, seperti spektrometer UV-Vis, circular dischroism (CD), dan cyclic voltammeter (CV) dan beberapa instrumen pendukung lainnya. Peranan instrumen-instrumen tersebut secara terpisah akan dijelaskan pada artikel selanjutnya.
Perkembangan ilmu kimia berlangsung sangat dinamis. Salah satu diantaranya adalah penemuan senyawa koordinasi baru beserta dengan aplikasinya. Penelitian ini yang ramai dikembangkan oleh negara-negara maju yang fokus pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Alasannya sangat jelas, ilmu kimia menempati posisi sebagai salah satu ilmu dasar dan sebagai referensi penting bagi para enginer yang bergerak di bagian aplikasi. Seperti yang saya jelaskan pada paragraf sebelumnya, fenomena SCO dapat digunakan sebagai bahan baku material sensor. Beberapa senyawa koordinasi yang terbentuk dari ion besi mengalami fenomena serupa. Fenomena SCO ditandai dengan perubahan sifat kemagnetan atau perubahan warna pada kristal serta perubahan fisika yang lainnya. Fenomena SCO diilustrasikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 4 menunjukkan bahwa energi dari luar (seperti sinar ultraviolet, suhu, atau tekanan) akan mengubah konfigurasi elektron dari keadaan low-spin menjadi high-spin. Dengan berubahnya konfigurasi spin, sifat kemagnetan tentunya akan berubah karena jumlah elektron tidak berpasangan akan bertambah dari keadaan awal ke keadaan akhir. Khusus untuk ion Fe(II), kemagnetan akan berubah secara drastis dari diamagnetik (tidak memiliki sifat magnet) menjadi ferromagnetik (memiliki sifat magnet). Oleh karena itu, banyak senyawa koordinasi yang sengaja dirancang menggunakan ion Fe(II) karena perubahan kemagnetannya sangat terasa.
Di sisi lain, perpindahan elektron dari tingkat energi dasar [(S = 0 untuk ion Fe(II) dan S = 1/2 untuk ion Fe(III)] menuju tingkat energi yang lebih tinggi [(S = 2 untuk ion Fe(II) dan S = 5/2 untuk ion Fe(III)] menyebabkan terjadinya perubahan warna pada kristal yang disebut dengan fenomena thermochroism. Fenomena ini biasanya terjadi di bawah suhu kamar. Namun, baru-baru ini, Lochenie dkk. di Jerman pada tahun 2017 telah menemukan senyawa koordinasi yang menunjukkan fenomena serupa tetapi berlangsung di atas suhu kamar. Penemuan ini mendorong aplikasi senyawa koordinasi menjadi lebih luas dan makin bervariasi. Memang masih skala laboratorium, tetapi bukan tidak mungkin jika percobaan tingkat laboratorium membuahkan suatu fenomena baru dan kelak dapat berfungsi sebagai suatu material canggih.
Bahan bacaan:
- Hashimoto, Y., Yoshinari, N., Matsushita, N., dan Konno, T., 2014, Close Correlation between Metal Oxidation States and Molecular Structures in a Cobalt-Gold Multinuclear Coordination System with Mixed D-Penicillaminate and Tripodal Triphosphine, J. Inorg. Chem., 3474-3478.
- Gamez, P., Costa, J.S., Quesada, M., Aromi, G., 2009, Iron Spin-Crossover compounds: from fundamental studies to practical application, Dalton Transaction, 38, 7845-7853.
- Lochenie, C., Schotz, K., Panzer, F., Kurz, H., Maier, B., Puchtler, F., Agarwal, S., Kohler, A., and Weber, B., 2017, Spin-Crossover Iron(II) Coordination Polymer with Fluorescent Properties: Correlation between Emission Properties and Spin State, JACS, 140, 2, 700-709.
- Halcrow, M.A., 2013, The foundation of modern spin-crossover, Commun., 49, 10890-10892.
Penulis:
Benny Wahyudianto, Mahasiswa Master di Osaka University, Jepang.
Kontak: benny.wahyudianto.a(at)gmail.com