Permasalahan Kesehatan Pascabencana

Awal Agustus 2018, Indonesia dirundung duka akibat bencana gempa yang menimpa Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gempa berkekuatan 7 skala richter ini berhasil melumpuhkan kota Lombok dari berbagai aktivitasnya. Yang lebih meresahkan masyarakat khususnya warga Lombok adalah gempa susulan lainnya yang masih terus terjadi setelah gempa utama tanggal 5 Agustus. Kemudian, tidak lama kemudian, di akhir September 2018, gempa bumi dan tsunami kembali hadir, kali ini menghantam wilayah Sulawesi Tengah, tepatnya di Kota Palu dan Donggala.

Selain membawa kedukaan, bencana alam juga membawa permasalahan dalam banyak aspek kehidupan salah satunya kesehatan. Patah tulang baik terbuka maupun tertutup, luka sobek baik besar maupun kecil, hingga kematian adalah sebagian permasalahan-permasalahan yang dapat disaksikan langsung ketika bencana terjadi atau dapat disebut sebagai immediate health impact. Namun, ada hal lain yang juga perlu disadari. Bencana tidak hanya membawa permasalahan kesehatan secara langsung seperti yang sudah disebutkan di atas, tetapi juga secara tidak langsung atau lebih dikenal sebagai secondary health problem related to disaster, baik dalam jangka waktu menengah (medium term) maupun panjang.

Di sini kita akan bahas beberapa permasalahan kesehatan terkait bencana. Tujuannya agar kita mengenali dan dapat menghindari masalah-masalah tersebut di masa mendatang. Tentunya kita mengharapkan agar pemerintah dan masyarakat dapat bersama-sama siaga menghadapi bencana alam yang bagaimanapun tidak bisa dihindari akan selalu muncul di waktu tertentu. Dengan kesiagaan, mudah-mudahan bencana alam yang terjadi itu tidak menjadi bencana besar bagi kehidupan kita.

Permasalahan kesehatan secara langsung

Permasalahan kesehatan secara langsung yang diakibatkan oleh bencana beraneka ragam sesuai dengan jenis bencananya. Pada bencana akibat gempa, permasalahan yang banyak dijumpai adalah luka, baik luka lecet, luka sobek, dan memar. Permasalahan kesehatan lain yang juga ditimbulkan oleh gempa dan bersifat langsung adalah patah tulang, mulai dari patah tulang tertutup, terbuka, hingga multiple fracture. Permasalahan kesehatan yang serupa dapat ditemukan juga pada bencana banjir dan tsunami, namun tidak seumum kematian akibat tenggelam.

Permasalahan kesehatan sekunder pascabencana

Luka infeksi akibat perawatan luka yang tidak optimal dan berkembangnya penyakit menular pada tenda-tenda pengungsian adalah sebagian permasalahan kesehatan yang muncul secara tidak langsung akibat bencana. Permasalahan-permasalahan ini muncul diakibatkan oleh beberapa faktor.

  1. Sanitasi yang buruk

Setiap orang setidaknya membutuhkan air bersih sebanyak 15-20 liter sehari untuk keperluan domestiknya. Tentunya hal ini tidak mudah untuk dicapai dalam keadaan bencana. Terbatasnya sumber air bersih yang tersedia dan tidak tersedianya tempat pembuangan limbah baik yang berasal dari manusia maupun dari rumah tangga membuat penyakit menular mudah berkembang di tempat-tempat pengungsian. Sanitasi yang buruk ini membuat penyakit seperti diare dan infeksi saluran pernapasan mudah terjadi.

  1. Tempat pengungsian yang padat

Di dalam tempat pengungsian setiap orang seharusnya mendapatkan area seluas 3,5 meter persegi. Tetapi pada kenyataannya, kondisi seperti ini sulit kita temukan terlebih lagi pada bencana yang mengakibatkan kerusakan infrastruktur bangunan yang parah. Tempat yang biasa dijadikan pengungsian oleh masyarakat antara lain sekolah dan bangunan umum lainnya. Pada bencana dengan kerusakan infrastruktur yang massif (lebih dari 25% tempat tinggal warga rusak parah), dibangunlah tenda-tenda pengungsian (shelter) sebagai tempat tinggal sementara. Namun, shelter ini juga membawa dampak buruk sosial jangka panjang. Shelter dapat menarik orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal untuk menetap di sana. Padahal, shelter dibangun secara sementara dan tentunya kondisinya tidak sesuai standar rumah tinggal.

Permasalahan kesehatan lain yang dapat kita temukan adalah permasalahan psikologis pascabencana. Kehilangan rumah, harta benda, bahkan orang terkasih secara tiba-tiba menjadi pemicu munculnya gangguan psikologis pada korban bencana. Beberapa reaksi yang diperlihatkan oleh korban bencana yang mengalami gangguan psikologis misalnya merasa sendiri dan tidak ada orang lain yang bernasib serupa, gangguan tidur misalnya sulit tidur atau malah banyak tidur, merasa lelah dan tidak berenergi, cemas, sakit kepala, hingga penyalahgunaan zat adiktif untuk menghilangkan stres.

Pada kondisi ini, korban bencana harus mendapat dukungan psikologis yang memadai baik oleh relawan, tenaga kesehatan, maupun sesama korban. Kondisi stress di pengungsian juga dapat menimbulkan permasalahan psikologis pada korban bencana baik yang dewasa maupun anak-anak. Dukungan yang dapat diberikan misalnya memberikan informasi yang terpercaya mengenai bencana tersebut tanpa melebih-lebihkan, membantu meyakinkan korban bencana bahwa kesedihan yang dialaminya akan berlalu, dan menjelaskan bagaimana caranya untuk berdamai dengan tragedi yang sudah terjadi.

Inilah hal-hal yang perlu kita sadari bersama. Bencana tidak hanya menimbulkan kerugian besar dalam hal infrastruktur dan perekonomian, tetapi juga persamasalahan kesehatan yang banyak. Pemerintah sudah memiliki standar minimal penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan penanganan pengungsi. Dengan adanya standar ini, diharapkan permasalahan-permasalahan pascabencana khususnya dalam bidang kesehatan dapat diminimalkan.

Bahan bacaan:

  • Eric KN: Public health issues in disasters. Crit Care Med 2005; 33: S29-S33

Penulis:
dr. Nisa Karima
Alumnus Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Gerakan 1000guru adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bersifat nonprofit, nonpartisan, independen, dan terbuka. Semangat dari lembaga ini adalah “gerakan” atau “tindakan” bahwa semua orang, siapapun itu, bisa menjadi guru dengan berbagai bentuknya, serta berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Back To Top