Beberapa waktu lalu telah diselenggarakan kompetisi sepak bola antar negara terbesar sejagat, apalagi kalau bukan Piala Dunia 2018 di Rusia. Di kompetisi empat tahunan tersebut, 32 negara dibagi ke delapan grup yang nantinya juara dan runner-up dari masing-masing grup akan menuju ke babak knock out dan akan saling beradu dalam sistem turnamen. Total pertandingan seluruhnya dari babak grup sampai babak final ada 64 pertandingan termasuk perebutan juara ke-3. Kali ini Prancis menjadi pemenang dengan mengalahkan Kroasia di pertandingan final dengan skor 4-2.
Lain halnya dengan kompetisi klub yang bergulir sepanjang tahun dengan sistem kompetisi di mana jangka waktu antara satu pertandingan dengan pertandingan selanjutnya cukup panjang, Piala Dunia diselenggarakan hanya dalam waktu sebulan. Total jumlah pertandingan yang akan dimainkan oleh empat negara yang berhasil menembus semifinal adalah 7 pertandingan. Artinya hanya dalam jangka waktu rata-rata empat hari mereka akan bertanding kembali. Meskipun para pemain yang berlaga di Piala Dunia adalah profesional, jadwal yang padat membuat para pemain kelelahan. Oleh karena itu, untuk menjaga pemain-pemain tetap bugar, tim dari setiap negara melakukan segala cara, yang terkadang meninggalkan noda hitam dalam sejarah kompetisi olahraga internasional: Doping.
Di dalam kemeriahan yang dibawa oleh Piala Dunia, berita tidak sedap yang diterima oleh tuan rumah perhelatan kali ini yaitu Rusia. Skuat Rusia dicurigai menggunakan doping atau obat-obatan untuk meningkatkan tenaga dan kebugaran atlet. Hal ini mulai dicurigai melihat statistik pemain-pemain Rusia yang rata-rata berlari lebih banyak dari pemain-pemain negara lain dengan angka yang membuat para ahli statistika mengangkat alis. Rusia sendiri sebelumnya telah terbukti menggunakan doping pada skuatnya di beberapa kompetisi internasional. Yang paling baru dan menggemparkan adalah di Olimpiade Musim Dingin 2014 lalu. Pada kompetisi itu banyak atlet Rusia yang akhirnya didiskualifikasi setelah menyumbangkan medali bagi negaranya yang menjadi juara umum pada saat itu.
Doping dilarang penggunaannya dalam kompetisi olahraga karena dianggap mencederai sportivitas. Sebenarnya senyawa apa yang diklasifikasikan sebagai doping? Apa efek yang ditimbulkan dan bagaimana mekanisme sampai senyawa tersebut bisa memengaruhi kebugaran dan prestasi atlet? Terdapat berbagai jenis doping yang tercatat digunakan dalam kompetisi olahraga. Beberapa di antaranya adalah kelompok senyawa steroid, stimulan, dan steroid anabolik. Masing-masing senyawa memiliki efek berbeda terhadap tubuh. Steroid anabolik yang membangun otot dan tulang, sedangkan stimulan bekerja pada kondisi mental atlet.
Di antara senyawa-senyawa tersebut, yang paling awal penggunaannya adalah steroid. Contoh senyawa steroid adalah Strychnine yang merupakan salah satu jenis neurotoksin dan dipakai untuk meningkatkan performa atlet pada periode akhir abad 19 sampai awal abad 20. Strychnine bertindak sebagai kontradiksi dari senyawa anti-kejang dengan mempengaruhi saraf motorik di saraf tulang belakang yang bertanggung jawab atas kontraksi otot. Strychnine bersaing dengan senyawa inhibitor glisin yang berakibat pada rangsangan berlebihan. Dalam dosis yang salah, strychnine ini juga bias bertindak sebagai racun yang membuat otot kejang dan bisa berujung kematian.
Yang paling terkenal dari senyawa-senyawa doping adalah steroid anabolik. Senyawa-senyawa yang terdapat dalam kelas steroid anabolik ini dapat meningkatkan massa otot dan kekuatan fisik. Steroid anabolik atau Anabolic-androgenic steroids (AAS) mulai digunakan sekitar pertengahan abad 20. Penggunannya dimulai pada atlet angkat beban dan meluas hingga ke olahraga lain hingga akhirnya pada saat ini dilarang hampir di seluruh badan olahraga internasional. Pemakaian zat ini juga mempunyai efek samping seperti peningkatan kadar kolesterol, darah tinggi, bahkan kerusakan liver.
Doping jenis lain adalah senyawa stimulan yang dapat meningkatkan sensasi senang dan menurunkan sensasi kelelahan. Beberapa zat yang termasuk senyawa stimulan adalah kafein, kokain, dan amfetamin. Di antara zat-zat tersebut, hanya kafein saja yang tidak dilarang penggunaannya terhitung sejak tahun 2004 oleh komite olimpiade internasional.
Amfetamin yang mempunyai nama dagang Benzedrine, adalah salah satu stimulan yang penggunaannya cukup awal dan digunakan juga oleh tentara Inggris pada Perang Dunia II. Amfetamin meski membuat penggunaannya merasakan sensasi senang berlebihan yang membuat performa di kompetisi meningkat, ia juga berisiko menurunkan kemampuan pengambilan keputusan. Setelah regulasi mengenai senyawa stimulan dalam olah raga menjadi lebih ketat dari sebelumnya, muncul senyawa-senyawa stimulan baru seperti mephendrone dan ephendrone yang memiliki efek sama dengan amfetamin dan juga struktur yang mirip.
Saat ini peraturan penggunaan doping dalam olah raga sudah sangat ketat dan jika terbukti menggunakan doping, seorang atlet mendapatkan sanksi seperti pemboikotan keikutsertaan pada kompetisi selanjutnya. Meski begitu, perkembangan ilmu kimia, ilmu farmasi, dan ilmu keolahragaan menghasilkan berbagai celah dalam peraturan doping sehingga regulasinya harus diperbarui seiring ditemukannya senyawa-senyawa baru.
Bahan bacaan:
- https://en.wikipedia.org/wiki/Doping_in_sport
- https://en.wikipedia.org/wiki/Performance-enhancing_substance
- https://www.drugs.com/amphetamine.html
- https://www.sciencedirect.com/topics/neuroscience/strychnine
- http://www.latimes.com/sports/soccer/la-sp-world-cup-notes-20180705-story.html
Penulis:
Ahmad Faiz Ibadurrahman, Mahasiswa di Osaka University. Kontak: ahmad21faiz(at)yahoo(dot)com.