Lansia Jepang: Sisi Lain Jepang yang Jarang Diungkap

Jepang merupakan salah satu negara yang mempunyai usia harapan hidup  tertinggi di dunia, yang berarti masyarakatnya panjang umur. Data WHO yang dipublikasikan pada Mei 2016 menunjukkan bahwa angka rata-rata harapan hidup penduduk Jepang mencapai 83,7 tahun (bandingkan dengan Indonesia yang “hanya” 69,1 tahun). Khusus untuk wanita Jepang, angka harapan hidupnya malah lebih tinggi lagi, rata-rata 86,8 tahun.

Dalam konteks keyakinan pemeluk agama di Indonesia, umur terkait dengan jatah hidup dari Tuhan. Namun, di sisi lain, ada pula hubungannya dengan “ikhtiar” manusia terkait gaya hidup, diet makanan, pelayanan kesehatan, hingga dana pensiun di hari tua. Jepang termasuk negara maju yang sangat memerhatikan kesehatan serta kesejahteraan masyarakatnya sehingga cukup wajar jika warga Jepang memiliki angka harapan hidup tertinggi di dunia.

Sepintas fakta ini tampak “menggiurkan” dan mungkin akan membuat kita “iri” pada orang Jepang. Namun, ada juga beberapa masalah yang muncul dari angka harapan hidup yang tinggi ini. Perlu diketahui bahwa dengan angka harapan hidup yang tinggi disertai rendahnya jumlah kelahiran saat ini, distribusi penduduk Jepang pada tahun 2050 akan berbentuk piramida terbalik! Artinya, populasi lansia Jepang jauh lebih banyak daripada kelompok usia lainnya. Dengan piramida terbalik, beban pemerintah dan warga Jepang usia produktif akan sangat besar untuk memenuhi kebutuhan pensiun dari para lansia.

Prediksi distribusi penduduk Jepang pada 2050 dengan mengacu pada angka harapan hidup serta jumlah kelahiran saat ini.

Saking banyaknya lansia di Jepang, mereka kerap hidup seperti layaknya orang-orang di usia produktif. Usia 80 tahun di Jepang bisa tampak seperti usia 60 tahun di negara lainnya. Alhasil, lansia Jepang masih membutuhkan beragam aktivitas untuk menunjang kehidupan mereka.

Bekerja paruh waktu

Kalau teman-teman pergi ke Jepang, silakan coba amati, sopir taksi bahkan bus kota cukup banyak yang berusia lanjut. Tidak jarang kita akan menemui pula petugas keamanan, kebersihan, ataupun pelayan di rumah makan yang berusia lanjut. Mereka bekerja paruh waktu untuk mengisi waktu luangnya daripada bengong di rumah. Usia muda mereka digunakan untuk bekerja di kantor sementara hari tua diisi dengan kerja paruh waktu. Jika merasa gengsi dengan pekerjaan paruh waktu yang dianggap “murahan”, ada juga lansia yang masih tetap bekerja di tempat yang sama seperti sebelum pensiun, dengan gaji yang lebih kecil atau malah tidak digaji, hanya mengandalkan tabungan pensiun.

Lansia yang sudah sangat tua dan tidak sanggup lagi untuk bekerja cukup banyak yang mengisi waktu luangnya dengan pergi ke sarana rekreasi, tempat hiburan, ataupun pusat perbelanjaan. Jangan heran jika area permainan anak-anak dipenuhi oleh para lansia dari pagi hingga siang hari. Transportasi umum di Jepang juga memfasilitasi para lansia dengan tiket gratis bagi lansia di atas 80 tahun sehingga kita bisa melihat bus kota dipenuhi lansia yang sedang jalan-jalan.

Hidup mandiri yang cenderung menyendiri

Nah ini yang mungkin jadi masalah utama dan sisi lain dari “berkah” umur panjang yang kemudian bisa berdampak negatif. Kebanyakan lansia di Jepang hidup mandiri dan bahkan menyendiri. Jika pasangan masih hidup, mereka hidup berdua. Jika pasangan sudah meninggal, hidup lansia Jepang akan cenderung sangat menyendiri.

Di Jepang, anak perempuan yang sudah menikah mesti mengikuti marga suaminya. Tidak banyak kewajiban yang harus dia tunaikan kepada orang tuanya. Anak laki-laki sulung memang menjadi penerus keluarga. Namun, kebanyakan dari mereka tinggal terpisah jauh dari orang tuanya (di luar kota). Dikarenakan kesibukan pekerjaan, para anak jarang mengunjungi orang tuanya yang sudah lansia. Kondisi ini membuat para lansia Jepang menjadi sangat mandiri.

Penulis pernah punya pengalaman menunggu bus bersama seorang nenek yang duduk sendirian. Kami pun terlibat obrolan singkat. Si nenek bertanya berapa umur saya. Saat itu saya berumur 23 tahun. Si nenek bilang, “Muda sekali!” Saya pun bertanya berapa usia nenek, si nenek menjawab sambil tersenyum, “93 tahun!” Beliau melanjutkan, “Kita beda 70 tahun!” Saya hanya bisa melongo mendengarnya.

Nenek itu membawa belanjaannya sendiri di tangan kanan dan kiri, jalannya pun sangat cepat. Saya ketinggalan di belakangnya sehingga bisa mengamati gaya berjalan si nenek. Padahal jalanan itu berupa tanjakan tinggi. Si nenek kuat sekali! Sejak saat itu saya malu mengeluh ketika bawa barang berat sendirian. Jangan mau kalah dengan nenek-nenek lansia yang masih sangat sehat bisa mandiri!

Suatu waktu penulis pernah harus bolak-balik ke rumah sakit. Seorang kakek keluar bersamaan dari tempat administrasi dan beliau masih menghirup dan membawa tabung oksigen portabel. Di hidungnya masih terpasang selang tersebut. Sesampainya di parkiran sepeda, saya mengambil sepeda dan si kakek ternyata juga mengambil sepedanya. Kemudian, beliau melepas selang oksigen dan meletakkan si tabung oksigen tersebut di keranjang sepeda. Saya kembali melongo melihat kakek berlalu mengayuh sepedanya di depan saya.

Masih di rumah sakit, di waktu yang lain, ada seorang kakek yang sudah sangat tua mendorong  koper besar dan barang-barang lainnya menggunakan troli menuju ruang rawat inap. Beliau sendirian! Datang ke rumah sakit sendiri, membawa barang sendiri, dan rawat inap sendiri! Lagi-lagi saya melongo, antara kagum dan kasihan melihat kejadian itu. Dalam hati ingin protes kenapa tidak ada keluarganya yang menemani, tetapi tentunya pilihan hidup mereka tidak bisa kita campuri.

Cerita-cerita semacam itu merupakan kejadian yang lazim dijumpai di Jepang. Para lansia yang sudah sangat tua belanja ke supermarket, ke dokter, jalan-jalan, semua aktivitas tersebut mereka lakukan sendiri. Kadang memang ada juga sih sejumlah lansia yang beraktivitas dalam kelompok sesama lansia, misalnya hiking ke gunung atau tempat wisata alam.

Meninggal sendirian

Sebagai ekses dari hidup mandiri dan menyendiri, belakangan ini tidak jarang ada kasus lansia yang ditemukan meninggal di dalam rumahnya sendirian dan baru diketahui kondisinya beberapa hari kemudian. Mereka tinggal seorang diri sampai akhirnya meninggal pun tidak ada yang tahu. Para tetangga baru menyadari kejadian jika si nenek atau si kakek tidak kelihatan keluar rumah dalam beberapa hari, atau ketika bau busuk tercium dari rumahnya. Frekuensi kasus meninggal sendirian yang meningkat ini sampai menghasilkan “bisnis” baru berupa perusahaan swasta yang spesialisasinya membersihkan rumah yang ditinggal wafat lansia Jepang.

Panti jompo

Kisah sedih lansia yang masih “mending” daripada meninggal sendirian adalah meninggal di panti jompo atau pusat-pusat perawatan lansia, meskipun tetap saja tidak ditemani anak-anak maupun keluarganya. Jepang saat ini memiliki banyak panti jompo, bahkan dengan perawat-perawat yang “diimpor” dari luar negeri, termasuk Indonesia. Kelompok usia produktif Jepang yang terlalu sibuk bekerja biasanya mengirimkan orang tuanya yang lansia ke panti jompo agar “tidak merepotkan”.

Kita tentu tidak ingin menjadi lansia yang tidak diperhatikan oleh anak cucu kita. Misalnya terjadi di Indonesia ada lansia jalan-jalan sendirian tanpa ada yang menemani, pasti orang yang melihat sudah ramai bertanya, “Di mana anaknya, di mana cucunya?” Untunglah kita diajarkan dan diwajibkan untuk berbakti kepada orang tua.

Lingkaran setan?

Angka harapan hidup yang tinggi di Jepang belakangan ini tampak seperti “lingkaran setan” seiring dengan rendahnya tingkat kelahiran bayi. Kedua-duanya seperti saling memengaruhi satu sama lain dan berkontribusi pada pertumbuhan penduduk Jepang yang rendah dan malah cenderung negatif.

Di Jepang kerap muncul ketakutan suatu saat populasi penduduknya akan habis. Anak muda Jepang tidak punya minat yang tinggi untuk menikah. Sudah menikah pun malas punya anak karena biaya pendidikan anak yang sangat mahal. Ada juga yang beralasan kalau punya anak nantinya si istri harus menghentikan kariernya sebagai tuntutan budaya Jepang untuk sepenuh waktu merawat anak. Dan bagi yang memutuskan punya anak, ternyata tidak ada jaminan untuk bisa diperhatikan oleh anak-anaknya ketika hari tua menjadi lansia.

Bagaimana dengan Indonesia? Semoga saja pertumbuhan penduduk kita yang cukup tinggi, disertai dengan keberadaan populasi kelompok usia produktif yang menunjang, kelak dapat menjadikan Indonesia sebagai negeri makmur yang disegani dunia. Sambil tentunya tetap menjaga budaya luhur bangsa kita yang dikenal memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi dan tidak akan tega membiarkan orang tua kita bersusah payah di masa lansianya.

Bahan bacaan:

Penulis:
Retno Ninggalih, ibu rumah tangga, alumnus Fakultas Psikologi Undip, pernah tinggal di Sendai, Jepang.
Kontak: r.ninggalih(at)gmail(dot)com.

Back To Top