Pernahkah kamu mendengar istilah “jet lag”? Atau mungkin kamu pernah mengalaminya sendiri? Jet lag adalah perubahan waktu tidur, rasa kelelahan, atau kebingungan yang terjadi setelah melewati zona waktu yang berbeda. Misalkan suatu waktu kita mengunjungi Amerika dan saat itu masih siang hari, sedangkan di Indonesia di waktu yang sama sudah malam hari seharusnya kita tidur. Sebagai hasilnya, kita akan merasakan kantuk yang luar biasa padahal kita seharusnya masih terjaga. Ini adalah sebuah fenomena ketika jam biologis kita berada dalam waktu yang berbeda dengan lingkungan sekitar.
Fenomena jet lag adalah salah satu contoh adanya circadian rhythm (irama sirkadian) dan jam biologis dalam tubuh kita. Wah, apa tuh irama sirkadian? Secara bahasa “sirkadian” berasal dari bahasa Latin “circa” yang berarti “keliling/sekitar” dan “dies” yang berarti “hari”. Irama sirkadian adalah perubahan reguler yang terjadi pada fisik, mental, dan fisiologis terhadap 24 jam siklus harian di lingkungan. Yang paling utama, irama sirkadian ini merespons perubahan siang dan malam. Contoh paling sederhana adalah hewan diurnal (giat siang), termasuk manusia, yang secara alami aktif di siang hari dan beristirahat di malam hari. Kebalikannya, hewan nocturnal beraktivitas di malam hari dan tidur ketika hari terang, seperti kelelawar.
Apa yang mengontrol irama sirkardian?
Fenomena jam biologis dan irama sirkadian pada makhluk hidup (tidak terbatas pada hewan atau tumbuhan) sejak dulu telah diamati oleh banyak ilmuwan. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan, apakah irama sirkadian dipengaruhi oleh faktor dari luar (eksogen) atau dari dalam (endogen) organisme tersebut? Apa yang mengontrol irama sirkadian?
Pada tahun 1729, seorang astronom Prancis, Jean Jacques d’Ortous de Mairan, melakukan percobaan menggunakan tumbuhan putri malu (Mimosa pudica) untuk mencari petunjuk tentang irama sirkadian. Daun putri malu terbuka di siang hari dan menutup ketika senja tiba. Maka, de Mairan melakukan percobaan dengan menempatkan tumbuhan putri malu di ruangan gelap tanpa cahaya matahari kemudian mengamati perilakunya. Ternyata tumbuhan itu tetap menutup daunnya ketika senja meskipun di ruangan itu tidak ada perbedaan cahaya. Perilaku ini terjadi selama beberapa hari pengamatan. Tampaknya perilaku daun putri malu ini berasal dari rangsangan dalam (jam endogen) yang dapat mempertahankan perilaku tersebut meskipun berada dalam kondisi tanpa fluktuasi sinar matahari.
Terungkapnya mekanisme di balik irama sirkadian
Hingga awal abad ke-20 mekanisme yang menggerakkan irama sirkadian masih menjadi misteri besar. Sejarah awal terungkapnya mekanisme ini berawal dari penemuan mutan lalat buah (Drosophila melanogaster) yang mengalami mutasi pada gen pengatur irama sirkadiannya. Pada tahun 1970-an Seymour Bezner dan muridnya, Ronald Konopka mengidentifikasi 3 galur (strain) berbeda dari 2000 lalat yang dimutasi dengan mutagen kimia. Mereka menemukan mutan aritmik (tanpa irama sirkadian), mutan dengan irama sirkadian 19 jam, dan mutan dengan irama sirkadian 28 jam.
Hasil pemetaan genetik dengan teknik yang berkembang pada saat itu menunjukkan bahwa mutasi pada ketiga galur tersebut disebabkan oleh gen yang sama, yang dinamakan sebagai period. Gen ini pada 1980-an berhasil diisolasi, dikloning, dan dibaca urutan DNA-nya oleh Jeffrey C. Hall, Michael Roshbash, dan Michael W. Young yang menerima penghargaan Nobel Fisiologi tahun 2017. Meskipun begitu, urutan DNA saja tidak menjelaskan apapun. Masih banyak percobaan lain yang dibutuhkan untuk mengungkap mekanisme irama sirkadian ini.
Setelah gen period dapat dikloning, para ahli kronobiologi (chronobiology) pun mengajukan beberapa model mekanisme berkaitan dengan PER (protein yang dikode oleh gen period). Salah satunya, Hall dan Roshbach mengamati fenomena naik turunnya kadar PER secara teratur dalam siklus 24 jam. Mereka menemukan adanya akumulasi PER pada neuron di otak lalat buah yang mencapai puncaknya pada malam hari. Sebaliknya, pada siang hari PER akan terurai. Penelitian lanjutan menunjukkan adanya fenomena naik turun yang serupa pada mRNA (transkrip awal gen dari proses transkripsi) yang dikode oleh period.
Agar PER bisa mempengaruhi produksi mRNA period, protein tersebut harus berada di nukleus. Lantas, bagaimanakah mekanisme berpindahnya PER dari sitoplasama ke nukleus? Pertanyaan ini mendorong ditemukannya gen lain, timeless. Gen timeless adalah gen pengkode protein TIM yang menjadi ‘teman gandengan” PER. TIM akan menempel pada PER sehingga gabungan dari keduanya membantu PER sampai ke nukleus dan melaksanakan tugasnya.
Selain kedua gen yang sudah disebutkan di atas, pada tahun 1994 Michael Young menemukan gen lain, yakni doubletime pengkode protein DBT. Protein DBT berperan penting untuk memfosforilasi (menambahkan gugus fosfor) PER agar dapat terdegradasi sesuai waktunya. Proses degradasi PER dengan bantuan DBT menjadi alasan adanya jeda waktu antara akumulasi mRNA period dan protein PER.
Seiring berjalannya waktu, penemuan gen lain turut melengkapi peta mekanisme ritme sirkadian ini. Beberapa di antaranya berperan sebagai regulator dari transkripsi gen period dan timeless. Di antara gen-gen tersebut adalah clock dan cycle yang memproduksi protein CLK dan CYC. Kedua protein ini berinteraksi dan menempel pada bagian spesifik dari gen period dan timeless untuk kemudian menjadi regulator positif. Produksi mRNA period dan timeless akan meningkat dengan menempelnya CLK dan CYC. Selain itu, terdapat juga protein CRY yang dikode oleh gen cryptochrome. Protein CRY teraktivasi oleh sinar matahari dan memicu penempelan CRY pada TIM, yang kemudian mendorong degradasi TIM di proteosome. Dengan ketiadaan TIM, DBT jadi lebih mudah memfosforilasi PER, menginisiasi degradasi dari PER dan proses-proses selanjutnya.
Mekanisme di atas adalah mekanisme yang berdasarkan organisme uji lalat buah. Namun, mekanisme irama sirkadian yang biasa disebut dengan TTFL (Transcription-Translation Feedback Loop) ini pada prinsipnya serupa dengan mekanisme irama sirkardian di organisme multiseluler lain.
Seberapa penting penemuan ini?
Penemuan ini fundamental untuk mempelajari bagaimana kelak manusia dapat merancang aktivitas yang lebih efisien sesuai dengan irama jam biologis. Kronobiologi adalah cabang ilmu yang mempelajari irama sirkadian terhadap kondisi fisiologis tubuh manusia, misalnya regulasi hormonal, pola tidur, pola makan, tekanan darah, dan juga suhu tubuh. Di Prancis sedang dijajaki aplikasi kronobiologi dalam pengobatan kanker. Pasien kanker menjalani kemoterapi dengan mempertimbangkan jam biologis organ tubuh karena organ memiliki jam biologisnya sendiri. Hasilnya, pasien merasakan berkurangnya rasa tidak nyaman dan rasa sakit akibat kemoterapi yang dijalaninya.
Para ilmuwan juga menemukan bahwa mutasi pada CRY1 menyebabkan seseorang dapat memiliki irama sirkadian dengan periode 24,5 jam. Hal ini membuat penderita seolah-olah mengalami jet-lag setiap hari. Jam di dalam tubuh mereka tidak paralel dengan rotasi bumi yang menentukan siang dan malam. Akibatnya, waktu tidur dan bangun mereka tidak seiring dengan periode terang dan gelap di bumi sehingga mereka tampak seperti burung hantu, tidur hanya 2 jam di malam hari dan tidur panjang di siang hari. Penelitian lain bahkan menyebutkan adanya hubungan antara kanker, penyakit neurodegeneratif, gangguan metabolis, serta inflamasi dengan ketidaksesuaian antara jam sirkadian tubuh yang didikte oleh faktor endogen dan gaya hidup kita.
Ingin tahu lebih lanjut tentang jam biologis atau masih penasaran dengan pengaruh jam biologis pada tubuh manusia? Silakan buka seluruh tautan pada bahan bacaan.
Bahan bacaan:
- “BBC Documentary: The Secret Life of Your Bodyclock” (https://youtu.be/9zVsvZjD5DM)
- “What Makes You Tick: Circadian Rhytms” (https://youtu.be/2BoLqqNuqwA)
- “The 2017 Nobel Prize in Physiology or Medicine – Press Release”. http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/medicine/laureates/2017/press.html
- https://www.nigms.nih.gov/education/pages/Factsheet_CircadianRhythms.aspx
- https://www.nbcnews.com/health/health-news/gene-mutation-affects-sleep-turning-people-martians-n743526
- https://uad.ac.id/id/memahami-tidur-dan-irama-sirkadian
Penulis:
Annisa Firdaus Winta Damarsya, alumnus program S-1 internasional di Jurusan Ilmu Biologi, Nagoya University, Jepang. Kontak: annisafirdauswd(at)yahoo(dot)co(dot)id.