Irama Batanghari Sembilan

Irama Batanghari Sembilan adalah istilah atau penamaan untuk musik dengan petikan gitar tunggal yang tumbuh di Sumatera Selatan (Sumsel). Irama Batanghari Sembilan merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional berupa vokal manusia (lantunan) yang diringi gitar tunggal (akustik).

Irama Batanghari Sembilan berkembang pada kebudayaan agraris yang selaras dengan alam berbasis pada sungai. Layaknya aliran sungai besar di Sumsel, irama Batanghari Sembilan meliuk-liuk dan lantunannya berupa pantun khas bahasa daerah yang panjang yang menceritakan nasihat-nasihat keagamaan, nilai-nilai adat istiadat, hingga pengalaman pribadi.

Pada umumnya, lantunan irama Batanghari Sembilan bersifat melankolis. Lantunannya mendayu-dayu penuh ratapan. Hal ini berkaitan erat dengan struktur masyarakat Sumsel yang memiliki rasa persaudaraan dan kekeluargaan serta kecintaan akan kampung halaman. Kadang kala lantunan irama Batanghari Sembilan dibawakan dengan cara berkelakar atau jenaka (lucu).

Batanghari Sembilan merupakan penamaan untuk sembilan anak sungai Musi, sungai terbesar yang membelah kota Palembang. Sembilan buah sungai besar tersebut adalah sungai Beliti, sungai Kelingi, sungai Komering, sungai Lakitan, sungai Leko, sungai Lematang, sungai Ogan, sungai Rawas dan sungai Rupit. Dalam bahasa Rambang (Prabumulih) dan bahasa Bindu (Kecamatan Peninjauan), kata batanghari memiliki arti sungai.

Ada juga yang mengatakan istilah Batanghari Sembilan mengacu pada sebutan untuk kawasan Sumatera Bagian Selatan (Bengkulu, Jambi, Lampung dan Sumsel) yang memiliki sembilan sungai yang berukuran besar. Karena itu, Batanghari Sembilan berkedudukan sama dengan seni musik tradisi yang lahir dan berkembang di wilayah Indonesia lainnya seperti Campur Sari, Gambang Kromong, Langgam Jawa dan Tarling.

Menurut Ahmad Bastari Suan, budayawan Sumsel, irama Batanghari Sembilan diperkirakan muncul sekitar tahun 1950-an. Masa keemasan irama Batanghari Sembilan diperkirakan sekitar tahun 1960 dan 1970-an. Sejak era keemasan itulah pertunjukan irama Batanghari Sembilan hanya mempergunakan satu gitar untuk mengiringi lantunan irama Batanghari Sembilan.

Masih menurut Ahmad Bastari Suan, musik dengan petikan gitar tunggal awalnya dikenal dengan “Petikan Dawi”. Dawi adalah nama pemetik gitar tunggal yang berasal dari daerah Besemah. Pemakaian gitar tunggal untuk mengiringi lantunan yang berupa pantun ini akhirnya melekat untuk menyebutkan musik atau lagu irama Batanghari Sembilan dengan sebutkan gitar tunggal. Ada juga yang menyebut irama Batanghari Sembilan dengan istilah gitar tunggalan atau berejung.

Ada juga pendapat bahwa irama Batanghari Sembilan berakar dari pantun atau sastra tutur di Besemah yang disebut dengan rejung. Awalnya, rejung tidak menggunakan instrumen musik sebagai alat pengiring bunyi. Hanya dituturkan secara lisan dengan irama yang khas. Pada masa perkembangannya, rejung mulai diharmonisasikan dengan alat bunyi perkusi  yang terbuat dari bambu (getuk, getak-getung), kulit binatang (redap) dan terbuat dari besi (gung, kenung). Penggunaan alat musik modern seperti akordion, terompet, biola, dan khususnya gitar, mulai marak sebagai pengiring rejung sejak bangsa Barat masuk ke Indonesia.

Seiring masuknya alat modern, alat musik tradisional pengiring rejung mulai ditinggalkan. Setelah tahun 1945, sesuai dengan dinamika perkembangannya, irama Batanghari Sembilan menjadi beberapa bagian, di antaranya rejung, tige serangkay (tiga serangkai), antan delapan gitar tunggal.

Menurut Sahilin, sebagai maestro dan maskot irama Batanghari Sembilan yang masih eksis, istilah irama Batanghari Sembilan pertama kali diperkenalkan oleh Djaafar Malik, seorang seniman asal dari dusun Jambat Bale, Pagaralam. Pernyataan ini tentu memperkuat anggapan bahwa irama Batanghari Sembilan berasal dari daerah Lahat Sumatra selatan (sebelum terpisah tahun 2001, Pagaralam termasuk bagian dari wilayah Kabupaten Lahat).

Masyarakat biasanya memainkan dan menikmati irama Batanghari Sembilan pada malam hari pascakerja seharian guna melepas lelah dan kepenatan hidup. Irama Batanghari Sembilan juga sering dijadikan sebagai seni pertunjukan di panggung hiburan. Irama Batanghari Sembilan ditampilkan dalam bentuk tampilnya satu-dua penyanyi yang melantunkan pantun bersahut, dengan iringan petikan gitar tunggal.

Ada beberapa kalangan (baik akademisi maupun lembaga) yang mempelajari dan meneliti tentang irama Batanghari Sembilan, khususnya meneliti keberadaan irama Batanghari Sembilan yang dimainkan oleh Sahilin, seperti Philip Yampolsky dari Ford Foundations yang pernah melakukan survei di tahun 1992. Hanafi dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Sumatra Barat) menjelaskan bahwa permainan gitar tunggal Sahilin memang unik.

Pada lagu “Nasib Muara Kuang”, Sahilin bermain pada metrum (satuan irama yang ditentukan oleh jumlah dan tekanan suku kata dalam setiap baris puisi) yang berbeda-beda. Metrum awal mempunyai hitungan 4, pada bagian-bagian tertentu ia memainkan gitar pada hitungan 6 dan 10. Bahkan, ada yang muncul pada hitungan ganjil, seperti hitungan 5. Sahilin tak mau terikat dengan pola-pola birama konvensional. Dia bermain dengan mengikuti frase-frase melodi yang pada dasarnya memiliki metrum berbeda walaupun pada bagian awal dinyatakan dengan hitungan 4 atau metrum empat per empat (4/4).

Lantunan irama Batanghari Sembilan yang didominasi oleh gitar tunggal biasanya hanyalah berupa pantun empat kerat bersajak a-b a-b, bahasa yang dipergunakan adalah bahasa khas daerah Sumsel. Irama dan nada yang muncul dari lantunan irama Baranghari Sembilan memiliki nuansa estetika natural yang membawakan suara alam semesta yang pada dasarnya jarang orang tidak dapat mengapresiasinya. Nada irama Batanghari Sembilan tidak hanya sekadar memenuhi konsumsi pemikiran energis, tetapi lebih kepada unsur kalbu sentimental.

Jubing Kristianto dan Iwan Tanzil (pakar gitar tunggal) berpendapat bahwa bagi mereka, gitar adalah alat bunyi tunggal dalam bermusik. Sedangkan pengertian gitar tunggal dalam mainstream Batanghari Sembilan, selain sebagai alat musik, adalah juga warna musik. Secara teoretis, teknik memetik gitar tunggal irama Batanghari sembilan umumnya pentatonis (bertangga nada lima, bandingkan dengan musik produk Barat yang umumnya diatonis, bertangga nada tujuh). Petikannya dominan memanfaatkan melodi bas (senar 4, 5, dan 6).

Setiap ganti lagu, acap kali pemusik nyetem (menyetel) gitarnya sehingga menghasilkan irama yang berbeda. Dari delapan nada dasar pada gitar, kerap hanya mengandalkan lima nada. Nada-nada itu dipadukan secara pentatonis, mirip gamelan atau ketukan perkusi yang ritmis dan agak monoton, baik melodi maupun harmoni.

Walaupun ada fakta irama Batanghari Sembilan tetap hadir dan mengalir seperti di Pagaralam, ini belum dapat dijadikan barometer ada perkembangan yang signifikan untuk pelestarian irama Batanghari Sembilan. Saat ini banyak masyarakat Sumsel sendiri, khususnya generasi muda, yang tidak kenal dengan irama Batanghari Sembilan. Lebih miris lagi sangat sedikit informasi yang membahas maupun mendokumentasikan irama Batanghari Sembilan secara audio, visual dan audio visual. Oleh karena itu, masyarakat Sumsel yang cinta kesenian daerah berharap ada pihak yang mau dan mampu menggembangkan irama Batanghari Sembilan yang menjadi ciri masyarakat sumsel.

Ada upaya-upaya nyata yang harus dilakukan untuk melestarikan irama Batanghari Sembilan, bukan hanya oleh dan dari budayawan atau seniman musik daerah, masyarakat pun dapat berkontribusi. Sesuatu yang tepat apabila pemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Provinsi, Kabupaten dan Kota) menjadikan irama Batanghari sembilan sebagai mata pelajaran muatan lokal. Tidak ada salahnya juga apabila di setiap acara perkawinan maupun panggung hiburan dibudayakan kehadiran irama Batanghari Sembilan.

Melihat adanya kasus klaim kesenian asli Indonesia oleh negara lain, tidak menutup kemungkinan irama Batanghari Sembilan punya potensi untuk “dicuri” oleh negara lain sebagai kesenian milik mereka. Ke depannya, lantunan irama Batanghari Sembilan, diharapkan selain digunakan sebagai media hiburan yang murah (tapi tidak murahan), dapat menjadi media seluruh lapisan masyarakat untuk mengucapkan terima kasih dan menyambut para tamu seperti gubernur, walikota/bupati dan camat di Sumsel. Irama Batanghari Sembilan juga dapat digunakan sebagai sarana komunikasi bagi masyarakat Sumsel untuk menyampaikan aspirasi dan kritik kepada pemerintah.

Bahan bacaan:

Penulis:
Noperman Subhi, Guru PPKn danWakil Kepala Sekolah di SMA PGRI 5 Palembang.
Kontak: nopermansubhi(at)gmail(dot)com.

Back To Top