“Center of Attention” (Pusat Perhatian) Pada Remaja

 “Center of attention” atau obsesi untuk menjadi pusat perhatian merupakan salah satu problematika remaja yang menjadi tanggung jawab kita semua, baik sebagai orangtua, guru/dosen (pendidik), khususnya guru Bimbingan dan Konseling. Center of attention bisa terjadi ke dua arah yakni positif dan negatif. Salah satu implementasi center of attention ke arah positif bisa dilihat ketika remaja mampu menunjukkan prestasi akademiknya, sedangkan untuk arah yang negatif bisa dilihat dari kasus semacam Awkarin atau Afi Nihaya. Kedua nama yang terakhir ini menghebohkan dunia media sosial. Pada kasus ini sangat jelas terlihat “center of attention” yang timbul dari proses aktualisasi diri.

Berikut ini penjelasan dari salah satu berita di dunia maya yang menyoroti tentang masalah center of attention: “Ada kecenderungan, memang suka jadi center of attention juga ya mereka ini,” kata psikolog anak dan remaja, Ratih, dari RaQQi-Human Development & Learning Centre saat berbincang dengan detikcom, Rabu (21/9/2016). “Sebenarnya mungkin kalau dibandingkan dengan remaja zaman dulu enggak ada jauh beda kalau soal eksistensi, cuma mungkin remaja zaman dulu bukan digital native, ya. Artinya mereka enggak serta merta langsung bisa menampilkan apa yang mau mereka tampilkan karena enggak ada medianya. Kalau remaja sekarang mereka punya medianya, mereka bisa langsung posting, sehingga mempermudah mereka untuk proses eksistensi,” jelas Ratih.

Dalam pencarian identitas yang baru, remaja harus menghadapi berbagai tantangan dan konflik pada dirinya. Konflik muncul antara upaya untuk berperilaku baik di mata orang tua dan berperilaku dalam cara yang dapat menjadikan mereka bahan olok-olokan teman sebayanya. Remaja memiliki imajinasi dan ambisi yang tidak terbatas dan bercita-cita untuk mencapai prestasi yang gemilang. Remaja yang diterima, dicintai, dan dihargai oleh keluarga dan teman sebaya umumnya memperoleh kepercayaan diri dan dapat mengembangkan potensi dan tujuan-tujuan positif untuk mencapai tingkat aktualisasi diri (Kozier, 2010). Center of attention pada remaja memberikan salah satu gambaran bagaimana remaja ingin diperhatikan keberadaannya.

Pandangan postmodern percaya pada realitas subjektif yang menganggap realitas itu tidak ada dan tidak dapat dengan bebas diobservasi. Social constructionism adalah salah satu paham yang berada dalam lingkup postmodernism yang memandang realitas subjek tanpa membantah apakah itu akurat atau rasional. Social constructionism didasarkan pada penggunaan bahasa dan fungsi dari situasi/lingkungan tempat klien tinggal. Realitas adalah sesuatu yang telah dibentuk secara sosial. Dalam paham ini, masalah ada karena klien/orang menganggapnya sebagai masalah dan butuh untuk diselesaikan.

Kasus-kasus yang dihadapi remaja pada saat ini memberikan gambaran bagaimana remaja berusaha menjadi center of attention. Guru, orang tua dan lingkungan harus bisa memosisikan diri sebagai individu yang terbuka dalam berbagai hal. Melihat sesuatu tidak hanya dari satu sudut pandang. Yang terpenting adalah membawa remaja agar bisa menjadi center of attention yang sesuai dengan kearifan lokal.

Bahan bacaan:

Penulis:

Elia Firda, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang.

 

Back To Top